Tulisan ini merupakan poin-poin dari tesis saya. Ide penelitian ini muncul ketika saya membaca artikel Andreas Gorke, dosen studi Islam Universitas Edinburgh menyangkut tafsir oral. Dalam artikelnya, ia bercerita bagaimana tafsir oral merupakan tafsir yang paling tua di dalam sejarah Islam (Andreas Gorke, Redefining the Borders of Tafsir: Oral Exegesis, Lay Exegesis, and Regional Partivularities, hal. 363). Orang yang melakukannya pertama kali adalah Nabi Muhammad SAW sendiri. Tafsiran Nabi Muhammad SAW ini yang belakangan disusun oleh generasi Islam setelahnya menjadi kumpulan Hadis Nabi SAW.
Praktik tafsir oral ini menurut Gorke bahkan dilakukan sampai abad 20 (hal. 364). Ia cukup banyak memberikan data menyangkut pandangannya itu. Ia mengetengahkan bagaimana penyusunan terjemahan Al-Qur`an yang dilakukan sangat jauh dengan abad ketujuh. Baginya sangat terlambat. Namun ia mewajarkannya karena dalam sejarah terdapat larangan penerjemahan Al-Qur`an ke bahasa lain. Oleh karena itu, orang-orang hanya melakukan terjemahan Al-Qur`an secara oral untuk menjelaskan maksud Al-Qur`an.
Di era modern hari ini, kita sangat banyak menemukan tafsir oral semacam ini. Dengan kecanggihan teknologi hari ini, tafsir oral bisa ditemukan di mana-mana seperti YouTube, Spotify, Podcast, televisi, dan lain sebagainya. Tafsir oral seperti menemukan masanya. Bagi saya, penafsiran ulama melalui tulisan salah satunya diketengahi oleh sedikitnya fasilitas yang ada di masa mereka.
Ide penelitian saya ini semakin dikuatkan dengan tulisan Talal Asad dengan gagasan tradisi diskursif. Secara sederhana, tradisi diskursif ini adalah karakter umat Islam yang selalu mengembalikan tindak tanduknya kepada teks agama (Talal Asad, The Idea of Anthrophology of Islam, hal. 16). Oleh karena itu, jika pun tidak bisa disebut tafsir, minimal masuk katagori resepsi seorang muslim terhadap Al-Qur`an. Dalam kaitan itu, Tuan Guru Zainuddin yang dikenal sebagai ulama di Lombok, saya pikir pasti memiliki penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an.
Penafsiran Tuan Guru Zainuddin terhadap QS. Al-Maidah Ayat 44-45
Sebelum saya lebih jauh, saya akan memperkenalkan siapa Tuan Guru Zainuddin? Mengapa ia layak diteliti? Tuan Guru Zainuddin merupakan tokoh berpengaruh dari NTB. Ia merupakan pendiri organisasi masyarakat yang paling besar di NTB, yakni Nahdlatul Wathan. Ia lahir pada tahun 1898 di Lombok Timur dan wafat pada tahun 1997 bertepatan dengan akan berakhirkanya orde baru. Pada tahun 2017, statusnya resmi dijadikan sebagai salah satu pahlawan Nasional berkat kontribusinya selama masa perjuangan kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Ulasan-ulasan singkat ini saya pikir mengapa ia pantas untuk diteliti.
Tafsir Oral Tuan Guru Zainuddin
Salah satu penafsiran yang saya temukan adalah penafsiran QS. Al-Maidah ayat 44-45. Penafsiran ini saya temukan di buku yang berjudul Visi Kebangsaan Religius (cetakan ketiga) di halaman 370-371. Berikut ini adalah QS. Al-Maidah ayat 44 dan 45.
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ ٤٤
Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ٤٥
Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.
Baik kata al-kâfirûn dan adz-dzâlimûn sama-sama ditafsirkan sebagai penjajah (Mohammad Noor, et.al., Visi Kebangsaan Religius, hal. 370-371). Keterangan ini oleh penulis buku ia dapatkan dari hasil wawancara murid Tuan Guru Zainuddin yang hadir pada waktu itu. Pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa ia menafsirkan dua kata tersebut dengan kata penjajah? Pertanyaan lainnya seperti apa dinamika konteks yang dialami Tuan Guru Zainuddin sehingga ia menafsirkan dua kata tersebut dengan penjajah? Asumsi saya waktu itu, tafsir tersebut lahir dalam konteks perlawanan terhadap penjajah.
Asumsi inilah yang kemudian saya teliti apakah benar atau tidak. Penelitian ini juga sejatinya soal bagaimana konteks memengaruhi penafsir terhadap teks yang akan ditafsirkan.
Adapun temuan saya memang menunjukkan bahwa tafsir oral ini diproduksi pada tahun 1946. Pada tahun tersebut, Belanda kembali datang ke Indonesia untuk berkuasa kembali seperti sebelumnya. Di Lombok pada tahun 1946 terjadi penyerangan terhadap Belanda di berbagai tempat sebagaimana umumnya perlawanan juga terjadi di tempat lain. Konteks Tuan Guru Zainuddin waktu itu adalah penyerangan markas Belanda di Selong Lombok Timur. Tafsir ini diproduksi oleh Tuan Guru Zainuddin untuk menguatkan murid-muridnya supaya semakin teguh dalam perlawanan terhadap Belanda. Inilah yang menjadi motif Tuan Guru Zainuddin dalam menafsirkan selain konteks perlawanan yang disebut di atas.
Selain temuan di atas, saya juga menemukan dua temuan lain menyangkut konteks tafsir oral tersebut. Temuan-temuan tersebut saya dapatkan berkat teori yang saya gunakan dalam penelitian ini: sosiologi pengetahuan Karl Manheim dan genealogi Michel Foucault. Kedua teori tersebut sangat membantu saya dalam mendapatkan temuan yang saya maksud. Silakan teman-teman baca dalam buku saya langsung. Hal lain dari penelitian ini adalah ia menegaskan kesimpulan Angelika Neuwrirth soal Al-Qur`an sebagai data sejarah (Angelika Neuwirth, The Qur`an and Late Antiquity, hal. 1). Dalam kaitan penelitian ini, saya berpandangan bahwa tafsir oral Tuan Guru Zainuddin merupakan data sejarah menyangkut Lombok tahun 1946.
Daftar Bacaan
Asad, Talal. The Idea of Anthropology Islam. North Carolina: Duke University Press, 2009.
Görke, Andreas. “Redifining the Boarders of Tafsîr: Oral Exegis, Lay Exegesis, and Particularities,” dalam Andreas Görke (ed.) dan Johanna Pink (ed.), Tafsîr and Islamic History Intellectual History: Exploring the Boundaries of a Genre, New York: Oxford University Press, 2014.
Neuwirth, Angelika. The Qur`an and Late Antiquity. Oxford: Oxford University Press, 2019.
Noor, Mohammad. et.al., Visi Kebangsaan Religius, Jakarta: Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta, 2014.