Pemahaman pertama dalam mengkaji al-Qur’an adalah pengenalan terhadap wahyu. Sebab wahyu adalah first understanding yang bersifat fundamental. Konstruk pemikiran dalam kajian al-Qur’an tidak akan tuntas apabila pemahaman tentang wahyu itu sendiri tidak matang.
Memahami wahyu Qur’ani artinya harus memperhatikan elemen-elemen ilahiah yang melekat padanya dan pada siapa diturunkan, yakni sisi kenabian. Jika tidak demikian, maka yang terjadi adalah kesalahpahaman dan fitnah ilmiah yang akan bermunculan.
Banyak sarjanawan barat yang mengkaji al-Qur’an dengan perspektif historis tanpa memperhatikan ruh spiritual yang melingkupi di dalamnya, hingga akhirnya terlepas dari motivasi mereka mengkaji al-Qur’an itu sendiri. Kebanyakan dari mereka justru menyimpulkan kajiannya pada posisi yang tidak semestinya. Tulisan ini akan menyajikan beberapa pendapat mereka secara umum tentang wahyu, baik yang mengatakannya secara langsung atau tidak.
Akan ada tiga tokoh yang dibahas secara singkat. Tokoh klasik, memang. Tapi ketiga tokoh tersebut memiliki kesamaan bahwa mereka adalah sarjana Barat yang berkontribusi dalam studi kritis terhadap Islam, khususnya kajian tentang Al-Qur’an. Namun, pendekatan, fokus, dan perspektif mereka berbeda-beda dalam mengkaji Islam dan teks Al-Qur’an. Mereka adalah Sir William Muir, John Wansbrough, dan Cristoph Luxenberg.
Sir William Muir (1819-1905)
Sir William Muir hidup pada masa kolonialisme Inggris di dunia Muslim, di mana banyak orientalis mengaitkan studi Islam dengan agenda politik dan agama. Dalam konteks ini, karya-karya seperti The Life of Mohammad sering kali dimaksudkan untuk mendiskreditkan Islam sebagai agama yang bersaing dengan Kristen.
Menurut Muir, dalam bukunya The Life of Mohammad, wahyu dalam Islam tidak lain hanyalah tipuan Muhammad. Pendapat ini didasarkan pada riwayat perjalanan Nabi ke negeri Syam dengan pamannya, dan perjalanan beliau ke Syam ketika mendapat pekerjaan dari Khadijah untuk berdagang.
Dalam perjalanan tersebut, Nabi melihat Rahib dan Pendeta sedang beribadah dengan khusyuk. Pengalaman inilah -yang pertama kali ia lihat- yang memberikan pengaruh sangat kuat kepada Nabi, sehingga ia berusaha dengan keras untuk menemukan agama yang benar.
Dalam usaha menemukan agama yang benar itu, Nabi mengaku telah menerima wahyu dari Allah. Sebagai buktinya ia telah berhasil berdagang dengan mendapatkan untung yang banyak. Kemudian Allah memerintahkannya untuk menikahi Khadijah.
Muir melihat bahwa wahyu dalam Islam tak lain dan tak bukan hanyalah tipuan Muhammad saja, dan tidak datang dari Tuhan. Dari sini para orientalis berpendapat bahwa wahyu dalam Islam tak lain dan tak bukan hanyalah buatan Muhammad. Menurut mereka Muhammad tidak menerima wahyu dari Tuhannya, tapi ia membuat sendiri kemudian menyampaikannya kepada pengikutnya bahwa itu adalah wahyu.
Pendapat Sir William Muir dalam The Life of Mohammad bahwa wahyu Islam adalah buatan Muhammad berdasarkan perjalanan Nabi ke Syam dan pengaruh dari para rahib atau pendeta mencerminkan perspektif orientalis abad ke-19 yang sering didorong oleh bias kolonial, apologetik Kristen, dan keterbatasan akses pada sumber primer Islam yang komprehensif.
Muir mereduksi pengalaman wahyu Muhammad menjadi fenomena psikologis atau manipulasi. Ia mengabaikan dimensi transendental wahyu yang diakui oleh Muslim sebagai intervensi ilahi. Dalam tradisi Islam, wahyu adalah pengalaman yang mendalam dan mengubah hidup Muhammad, bukan alat untuk memperoleh keuntungan duniawi.
Wahyu pertama yang diterima Nabi di Gua Hira, misalnya, digambarkan dalam tradisi Islam sebagai pengalaman yang penuh ketakutan dan kekaguman, yang bertentangan dengan narasi bahwa Nabi dengan sengaja “membuatnya.”
Pendapat Muir memberikan kontribusi pada pola pikir orientalis yang mendominasi studi Islam pada abad ke-19. Banyak kritik modern terhadap orientalisme, seperti yang diajukan Edward Said, menunjukkan bahwa pendekatan seperti Muir sering kali tidak adil karena cenderung bias terhadap Islam dan mengabaikan tradisi intelektual Muslim.
Kritik terhadap Muir telah mendorong banyak sarjana Muslim untuk menulis ulang biografi Nabi Muhammad dari perspektif Islam, seperti Sirah Nabawiyah oleh Ibn Hisyam atau Ar-Raheeq Al-Makhtum oleh Safiur Rahman Mubarakpuri.
John Wansbrough (1928-2002)
Di lain tempat, John Wansbrough dalam Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation menggunakan pendekatan sejarah ke dalam studi teks al-Qur’an. Wansbrough menyatakan pendapatnya bahwa kanonisasi teks al-Qur’an terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijrah.
Menurut Wansbrough untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Qur’an baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Pandangan ini secara langsung bertentangan dengan narasi tradisional Islam yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dikodifikasi pada masa Khalifah Utsman bin Affan (kurang dari 20 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad).
Wansbrough menggunakan pendekatan intertekstual, yaitu membandingkan teks Al-Qur’an dengan tradisi Yahudi dan Kristen. Ia berargumen bahwa Islam awal berkembang dalam konteks budaya dan agama Timur Dekat yang sangat dipengaruhi oleh tradisi monoteistik sebelumnya. Dengan demikian, ia melihat Al-Qur’an sebagai teks yang berakar pada dan berinteraksi dengan tradisi tersebut.
Baginya, Al-Qur’an adalah hasil dari proses panjang yang mencerminkan kebutuhan sosial dan politik komunitas Muslim awal. Ia memandang teks ini sebagai konstruksi yang bertahap, bukan sebagai wahyu yang secara langsung diturunkan kepada Muhammad dalam bentuk yang sekarang.
Ia skeptis terhadap narasi tradisional Islam, termasuk proses pewahyuan, pengumpulan, dan kodifikasi Al-Qur’an. Ia menyamakan proses kanonisasi Al-Qur’an dengan kanonisasi Kitab Suci Yahudi dan Perjanjian Baru, yang juga membutuhkan waktu berabad-abad untuk mencapai bentuk finalnya.
Salah satu kritik utama terhadap Wansbrough adalah kurangnya bukti tekstual yang mendukung pandangannya. Manuskrip Al-Qur’an seperti manuskrip San’a dan Topkapi (lihat https://corpuscoranicum.de/en/manuscripts), yang berasal dari abad pertama Hijriah, memberikan bukti kuat bahwa teks Al-Qur’an telah ada dalam bentuk yang hampir sama dengan teks yang kita miliki sekarang, jauh sebelum tahun 800 M.
Tidak semua sarjana Barat setuju dengan pendekatan Wansbrough. Sarjana seperti Angelika Neuwirth, yang juga mempelajari sejarah Al-Qur’an, mengakui pengaruh Yahudi-Kristen tetapi berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah teks yang secara historis unik dan memiliki kontinuitas sejak masa Nabi Muhammad.
Meskipun pandangannya kontroversial, karya Wansbrough membuka jalan bagi studi historis-kritis tentang Al-Qur’an, khususnya di Barat. Ia mendorong penggunaan pendekatan filologi, intertekstual, dan sosiologis dalam studi Islam.
Pendekatan Wansbrough lebih teoritis dibandingkan orientalis sebelumnya, seperti Sir William Muir. Ia tidak hanya fokus pada biografi Nabi tetapi juga pada proses perkembangan komunitas Muslim awal dan bagaimana teks Al-Qur’an mencerminkan kebutuhan sosial mereka. Pendekatan yang ia gunakan juga menginspirasi sarjana seperti Patricia Crone dan Michael Cook dalam karya mereka tentang asal-usul Islam (Hagarism), meskipun karya mereka juga menuai kritik serupa.
Christoph Luxenberg (nama samaran, abad ke-21)
Christoph Luxenberg dengan menggunakan pendekatan filologis, menyimpulkan bahwa al-Qur’an perlu dibaca dalam bahasa Aramaik. Dalam pandangan Luxenberg, sebagian besar al-Qur’an tidak benar secara tata bahasa Arab. Luxenberg dalam “The Syro-Aramaic Reading of the Koran: A Contribution to the Decoding of the Language of the Koran” menyatakan bahwa al-Qur’an ditulis dalam dua bahasa; Aramaik dan Arab.
Dengan menggunakan metode ilmiah filologis (the scientific method of philology), Luxenberg ingin menghasilkan teks al-Qur’an yang lebih jelas (producing a clearer text of the Qur’an). Ia berpendapat bahwa pada zaman Muhammad, bahasa Arab bukanlah bahasa yang tertulis dan bahasa yang belum mapan. Bahasa komunikasi yang tertulis adalah bahasa Suryani (Syriac) yang digunakan di Aram Timur sejak dari abad kedua hingga abad ketujuh.
Suryani adalah bahasa Edesssa, sebuah kota di Mesopotamia. Ketika Edessa berhenti menjadi sebuah entitas politik, orang-orang Kristen masih menggunakan bahasa tersebut yang kemudian menjadi sebuah budaya.
Luxenberg menganggap bahwa Al-Qur’an banyak dipengaruhi oleh tradisi Kristen yang ditransmisikan melalui bahasa Suryani, mengingat keberadaan komunitas Kristen yang signifikan di Jazirah Arab dan sekitarnya pada masa awal Islam. Ia bahkan mengklaim bahwa beberapa bagian Al-Qur’an mungkin berasal dari teks liturgi Kristen.
Salah satu contoh yang terkenal adalah analisisnya terhadap kata ḥūr ʿīn (حُورٌ عِينٌ) dalam konteks janji surga. Dalam interpretasi tradisional Islam, ḥūr ʿīn biasanya diterjemahkan sebagai “bidadari bermata jeli,” yaitu makhluk surgawi yang dijanjikan kepada orang-orang yang beriman di surga. Kata ḥūr diambil dari akar kata Arab yang berarti “putih” atau “jernih,” sedangkan ʿīn berarti “mata.” Gabungan ini dipahami sebagai makhluk wanita dengan mata yang indah.
Dia menyatakan bahwa makna ini tidak sepenuhnya koheren jika dilihat dalam konteks linguistik Arab awal. Ia kemudian mengusulkan bahwa istilah ini sebenarnya berasal dari bahasa Suryani. Dalam bahasa Suryani, kata ḥūr berarti “putih,” tetapi dalam konteks makanan atau anggur, ini dapat merujuk pada buah-buahan putih atau makanan suci. Sementara itu, ʿīn dalam bahasa Suryani dapat berarti “mata,” tetapi juga dapat merujuk pada “anggur” atau “kemurnian.”
Luxenberg menyarankan bahwa frasa ḥūr ʿīn seharusnya diartikan sebagai “anggur putih murni” atau “anggur segar yang jernih,” yang lebih cocok dengan tradisi deskripsi surga dalam konteks Timur Dekat kuno, di mana surga sering digambarkan sebagai tempat kenikmatan fisik seperti anggur dan buah-buahan.
Tetapi demikian. Pendapat bahwa Al-Qur’an harus dibaca dalam konteks Syro-Aramaik sebagian besar didasarkan pada hipotesis dan spekulasi, bukan pada bukti konkret. Sekali lagi, manuskrip awal Al-Qur’an, seperti manuskrip San’a dan Topkapi, menunjukkan konsistensi linguistik yang kuat dalam bahasa Arab, meskipun ada perbedaan kecil dalam ortografi.
Meskipun tidak diragukan bahwa ada kontak budaya dan linguistik antara komunitas Arab dan Kristen-Suryani, mengklaim bahwa pengaruh ini mendominasi penyusunan Al-Qur’an dianggap terlalu berlebihan. Islam tradisional mengakui bahwa Nabi Muhammad berdakwah dalam bahasa Arab yang sepenuhnya dipahami oleh kaumnya.
Beberapa sarjana Barat lainnya, misalnya Gabriel Said Reynolds, Angelika Neuwirth, dan Andrew Rippin, telah menunjukkan bahwa Luxenberg sering kali salah memahami tata bahasa Arab dan Suryani. Metodologinya dianggap tidak konsisten dan cenderung mendukung hipotesis awalnya tanpa mempertimbangkan bukti alternatif.
W-Allah-ul musta’aan
References:
Halaseh, Rami Hussein. 2024. The Topkapı Qurʾān Manuscript H.S. 32: History, Text, and Variants. https://www.academia.edu/123331288/The_Topkap%C4%B1_Qur%CA%BE%C4%81n_Manuscript_H_S_32_History_Text_and_Variants
Luxenberg, Christoph. 2007. The Syro-Aramaic Reading of the Koran: A Contribution to the Decoding of the Language of the Koran. https://archive.org/details/TheSyroAramaicReadingOfTheKoran
Muir, Sir William. 1923. The Life of Mohammad. https://archive.org/details/lifeofmohammadfr00muir/page/n7/mode/2up
Neuwirth, Angelika. 2019. The Qur’an and Late Antiquity: A Shared Heritage. https://academic.oup.com/book/11627
Reynolds, Gabriel Said. 2018. The Qur’an and the Bible Text and Commentary. https://www.academia.edu/101964478/Gabriel_Said_Reynolds_The_Qur_an_and_the_Bible_Text_and_Commentary
Rippin, Andrew. 2007. Syriac in The Qur’an: Classical Muslim Theories dalam The Qur’an in its Historical Context. https://doi.org/10.4324/9780203939604
Wansbrough, John. 1977. Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation. https://archive.org/details/QuranicStudies