Pencegahan Bencana dalam Islam: Perspektif Al-Qur’an tentang Keseimbangan Alam dan Tanggung Jawab Manusia

Perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketidakseimbangan ekosistem semakin erat dikaitkan dengan bencana yang terjadi saat ini. Kita menyaksikan peningkatan jumlah dan intensitas bencana alam seperti banjir besar, kebakaran hutan, dan kekeringan di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, aktivitas manusia dapat menyebabkan perubahan iklim global, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi, yang dapat meningkatkan jumlah badai tropis dan mengubah pola curah hujan, dan pada akhirnya memperburuk kerusakan dan menimbulkan bencana alam.

Fenomena ini menunjukkan pentingnya pemahaman akan pencegahan dan mitigasi bencana yang berbasis pada pemeliharaan alam dan perubahan perilaku manusia, sebagaimana diajarkan dalam berbagai ajaran agama dan prinsip keberlanjutan. Sebagai respons terhadap fenomena ini, kebijakan global dan lokal semakin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pengurangan emisi karbon untuk memitigasi dampak bencana yang semakin sering terjadi.

Bacaan Lainnya

Dalam Islam, pencegahan bencana bukan hanya dilihat sebagai usaha teknis semata, tetapi juga sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual manusia terhadap alam semesta. Al-Qur’an mengajarkan prinsip keseimbangan (mīzān) dalam penciptaan alam, yang mencakup segala aspek kehidupan, termasuk keharmonisan antara manusia dan lingkungan.

Redaksi Bencana dalam Al-Qur’an

Bencana dalam Al-Qur’an sering disampaikan melalui berbagai istilah dengan konteks yang berbeda, tergantung pada pesan yang ingin disampaikan. Al-Qur’an menggunakan kata-kata seperti azab, fasad, dan musibah untuk memberi petunjuk tentang bencana dan cara mengatasinya. Kata-kata ini memiliki makna yang hampir sama dan dapat dipahami secara mendalam (Abdul, 2015:104).

Meskipun tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan kata “bencana” dalam Al-Qur’an, tapi kita dapat mengetahui melalui tiga kata diatas untuk memberikan gambaran tentang bencana serta metode untuk menjaga lingkungan dan menanggulangi bencana.

Pertama, kata azab (عذاب) adalah Isim masdar dari azzaaba-yu’azzibu, dan bentuk maşdarnya adalah ta’zib. Kata ta’zib dapat berarti “menghalangi seseorang dari makan dan minum”, “perbuatan memukul seseorang”, atau “segala sesuatu yang menimbulkan kesulitan, atau menyakitkan, atau memberatkan beban jiwa dan/atau fisik semacamnya”(Shihab, 2007:8).

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah fussilat ayat 17 dan 18

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاَمَّا ثَمُوْدُ فَهَدَيْنٰهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمٰى عَلَى الْهُدٰى فَاَخَذَتْهُمْ صٰعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُوْنِ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ۚ

Artinya: Adapun (kaum) Samud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu. Maka, mereka disambar petir sebagai azab yang menghinakan karena apa yang telah mereka kerjakan.(Fuṣṣilat [41]:17).

Bencana di sini berupa gempa bumi dan petir, yang disebabkan karena perbuatan kaum tsamud yang justru memilih kesesatan daripada hidayah dan kekafiran daripada keimanan. Kejahatan, kedurhakaan, dan pendustaan mereka kepada Nabi Shaleh yang membuat terjadinya bencana. Padahal Allah sudah menunjukkan jalan keberuntungan kepada mereka. (Ash-Shabuni, 2020:630)

Setelah menjelaskan kaum yang durhaka, ayat selanjutnya menjelaskan kaum yang beriman yang menyatakan:

وَنَجَّيْنَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ

Artinya: “Dan kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa” .(Fuṣṣilat [41]:18).

Maka, akan selamat bagi orang-orang yang beriman dengan keimanan yang benar dari pengikut Nabi dan mereka adalah orang-orang yang senatiasa bertakwa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. (Shihab, 2021: 35).

Dalam konteks menghadapi bencana, keimanan dan ketakwaan membentuk kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, termasuk ujian berupa musibah. Dengan demikian, solusi ini mencakup dua dimensi, hubungan vertikal dengan Allah yang diwujudkan melalui ketaatan, serta hubungan horizontal dengan makhluk-Nya, seperti menjaga alam dan berbuat baik kepada sesama. Sehingga, ketakwaan tidak hanya menjadi pelindung spiritual tetapi juga preventif terhadap potensi kerusakan atau bencana.

Kedua, Kata fasad (فَسَاد) dalam Al-Qur’an sering merujuk pada kerusakan, kehancuran, atau keburukan yang terjadi di muka bumi akibat perbuatan manusia. Dalam konteks bencana alam, fasad dikaitkan dengan akibat dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti kerusakan lingkungan, ketidakadilan, atau kemaksiatan, yang memicu bencana sebagai peringatan atau akibat alami. Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 41, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)(Ar-Rūm [30]:41).

Kerusakan ini tidak hanya berupa gangguan fisik pada lingkungan, tetapi juga mencakup ketidakseimbangan sosial, ekonomi, dan spiritual yang membawa dampak buruk bagi kehidupan. Ayat ini menjadi peringatan bahwa perilaku manusia memiliki konsekuensi besar terhadap alam dan kesejahteraan makhluk hidup di bumi.

Solusi yang ditawarkan oleh ayat ini adalah dengan menyadari kesalahan dan kembali kepada Allah. Kerusakan yang tampak merupakan bentuk teguran agar manusia introspeksi diri dan bertobat. Dengan memperbaiki hubungan dengan Allah melalui ketaatan dan menjauhi perilaku merusak, manusia dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu.

Ketiga, kata musibah dalam Al-Qur’an berasal dari akar kata aṣāba (أَصَابَ) yang berarti “mengenai” atau “menimpa”. Dalam konteks Al-Qur’an, kata musibah seringkali diartikan sebagai sesuatu yang menimpa manusia, baik berupa bencana, ujian, atau cobaan, namun tidak selalu negatif. Makna ini tergantung pada konteks ayatnya (Muhammad, 2022:124). Seperti dalam salah satu ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Artinya Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (At-Tagābun [64]:11)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Kasir mengatakan bahwa Allah menentukan tidak satu pun peristiwa yang terjadi di dunia ini melainkan dengan kehendak dan izin-Nya. Orang yang beriman kepada Allah akan merelakan segala keputusan yang Dia buat, baik qada maupun taqdir-Nya, karena dengan iman hati akan tenang dan aman.(Al-Baqi, 1992:528).

Ayat ini menunjukkan bahwa segala bentuk musibah atau bencana yang terjadi di dunia ini, baik yang bersifat alamiah seperti bencana alam maupun yang bersifat manusiawi, semuanya terjadi dengan izin dan takdir Allah. Dalam konteks bencana alam, ayat ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita mungkin merasa bencana itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi, pada hakikatnya semuanya merupakan bagian dari takdir Allah yang telah ditentukan sebelumnya.

Hubungannya dengan bencana alam adalah sebagai pengingat bahwa bencana alam tidak terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan bagian dari ujian dan kehendak Allah. Bagi orang yang beriman, ayat ini juga mengajarkan bahwa bencana atau musibah harus diterima dengan sabar dan tawakkal kepada Allah, serta berusaha untuk selalu berbuat baik dan meningkatkan iman.

Kesimpulan
Perbaikan konkret terhadap kerusakan menjadi langkah penting yang harus dilakukan. Ini mencakup tindakan nyata seperti pelestarian lingkungan, pengelolaan sumber daya alam secara bijak, dan pengurangan aktivitas yang merusak ekosistem. Kesadaran kolektif masyarakat juga harus ditingkatkan melalui pendidikan dan kerja sama untuk menjaga alam sebagai amanah dari Allah.Bencana yang muncul dari kerusakan juga mengandung hikmah. Ia menjadi pengingat bahwa manusia tidak berdaya tanpa rahmat Allah. Dengan berdoa dan memohon pertolongan-Nya, manusia dapat memperoleh kekuatan untuk mengatasi masalah dan menjalani kehidupan yang lebih seimbang serta berkelanjutan.

Daftar Bacaan

Abd al-Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1992.
Ali Ash-Shabuni, Syaikh Muhammad. Shafwatut Tafsir. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.
Irfan, Muhammad, dan Mochaammad Afroni. “Makna Musibah Dalam Al-Qur’an (Studi Analisis Tafsir Tematik).” Jurnal Ilmiah Bashrah Vol. 2 No. 2 (2022).
Mustaqim, Abdul. “Teologi Bencana Dalam Perspektif Al-Qur’an.” Jurnal Nun Vol. 1 No. 1 (2015).
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2021.
Shihab, Quraish dkk. Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *