Di antara anugerah teragung yang diberikan kepada Indonesia yaitu penyediaan Sumber Daya Alam yang cukup melimpah (Ahmad: 2021, 473) Sebagai kewajiban, rakyat Indonesia dituntut agar dapat menerima sekaligus memelihara anugerah tersebut dengan baik. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia berupaya mengelola Sumber Daya Alam yang dimaksud dengan membentuk instansi, lembaga bahkan menawarkan kepada organisasi masyarakat demi menjaga kelestarian alam. (Nabil: 2021) Tujuannya, didapati peningkatan akan kemakmuran masyarakat atau penduduk Indonesia sebagaimana tertulis pada Pasal 83A ayat (1). (Dedi: 2024)
Negara dengan 17.000 pulau tersebut mengoleksi sekian organisasi masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, Konferensi Waligereja, Sarekat Islam dan lain sebagainya. Sebagian kelompok menerima tawaran pertambangan dengan mudah, namun sebagian lain menolak. Pasalnya, keputusan tersebut menuntut beberapa potensi negatif seperti penyalahgunaan izin untuk kekayaan sendiri, kerusakan lingkungan bahkan konflik sosial. (Mutiara: 2024, 216) Sehingga, dibutuhkan pembimbing atau pedoman yang kredibel guna mengarahkan organisasi masyarakat tersebut.
Perkenalan dan Benang Merah Ekologi dengan Al-Qur’an
Secara terperinci, ekologi biasa dikaitkan dengan studi yang saling menuntut antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Pada lingkungan Yunani, ekologi berasal dari term “oikos” dengan makna sebuah tempat hunian atau rumah. Adapun logos, juga diserap dari lingkungan Yunani dengan makna sebuah pengetahuan atau wawasan. Sehingga, dapat dirumuskan bahwa, ekologi berarti fokus keilmuan yang mengkaji sebuah relasi antar makhluk hidup dengan lingkungan atau dengan makhluk hidup lainnya. (Wilda: 2024, 181)
Secara umum, ekologi dimaknai sebagai mekanisme dari hasil interaksi makhluk hidup dengan tempat atau lingkungan yang disinggahi. (Suhendra: 2013, 61) Sebagai penuntun, Al-Qur’an menuntut sebuah isyarat bahwa, setiap manusia semestinya berpartisipasi menjaga lingkungan yang telah disediakan (disiplin dalam ekologi). Adapun hal demikian diuraikan pada Q. S Al-A’raf [7]: 10 sebagai berikut, “Sesungguhnya kami Telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi”. (Saefudin: 2014, 353) Demikian, organisasi masyarakat dapat berinisiasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam mengelola tambang.
Profil Wahbah al-Zuhayli dan Tafsir al-Munir
Syekh Dr. Wahbah Zuhayli dikenal sebagai ulama’ ternama dari Damaskus, Syiria. Beliau dilahirkan pada desa Dar Atiyah, Damaskus saat 6 Maret 1932. Ayah beliau, Mustafa Zuhayli juga diketahui sebagai hamba Allah Swt yang rajin beribadah dan taat. Syekh Dr. Wahbah Zuhayli memiliki keunggulan dalam kecerdasan, keunggulan tersebut tidak terlepas dari guru-guru beliau seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah, Syekh Muhammad Syaltut, Syekh Dhawahir al-Syafi’i dan masih banyak lagi. Selain itu, kecerdasan beliau dapat dibuktikan pada kitab-kitab yang beliau tulis dalam berbagai bidang ilmu, termasuk di antaranya tafsir al-Munir. (Andy: 2018, 21)
Tafsir al-Munir dengan nama lengkapnya al-Tafsir al-Munir Fi al-‘Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj memiliki corak perpaduan antara tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir tersebut pertama kali dicetak pada tahun 1991 dengan tebal 9000 pada 16 jilid. Pada interpretasi ayat Al-Qur’an, beliau menerapkan metode tahlily. Namun, beliau juga terkadang menambahkan dengan metode maudhu’i. Adapun riwayat-riwayat yang dikutip dipilih berdasarkan sanad yang muttasil dan kredibel. Sehingga, hampir tidak ditemukan riwayat yang diikuti dengan perdebatan pada riwayat tersebut. (Sukron: 2018, 66)
Interpretasi Q. S Al-Rum [30]: 41 dalam Tafsir Al-Munir
Pada konteks ini, peran Al-Qur’an dalam menjaga lingkungan (menstabilkan ekologi) diceritakan pada Q. S Al-Rum [30]: 41, atau
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Secara lugas, ayat tersebut tidak memberikan indikasi akan kiat-kiat merawat bumi. Namun, interpretasi akan ayat Al-Qur’an tentu saja merujuk kepada para mufassir dan ulama’, bukan menurut prasangka atau hawa nafsu belaka. (Turmuzi: 199)
Syekh Dr. Wahbah al-Zuhayli pada tafsirnya Al-Munir menguraikan ayat di atas dengan jelas dan terperinci. Pada term “al-fasad”, beliau memberikan makna dengan “sebuah kecacatan atau kekurangan pada suatu benda”. Seperti sebuah ketandusan, kegersangan serta krisis fauna atau tumbuhan pada tempat tertentu. Selain itu, beliau juga menambahkan termasuk tingginya pembakaran hutan serta banjir yang menenggelamkan manusia adalah makna dari lafadz “al-fasad”. (Wahbah: 2009, 105) Sama pentingnya, sekian bencana tersebut diperbuat oleh tangan-tangan manusia yang gemar bermaksiat dan berbuat dosa pada muka bumi (Vanya: 2021)
Belum cukup dengan interpretasi di atas, Syekh Dr. Wahbah al-Zuhayli juga mengartikan lafadz “al-fasad” dengan wa akhdzu al-mal zulman (mengambil harta dengan cara yang dzalim). (Wahbah: 2009, 105) Seandainya dikaitkan dengan lingkungan pertambangan, maka organisasi masyarakat semestinya dapat memanfaatkan anugerah berupa Sumber Daya Alam dengan cara yang sholeh dan baik. Bisa juga, organisasi masyarakat paling tidak mengeruk tambang berdasarkan volume yang dibutuhkan saja, atau tidak mengeruk berdasarkan hawa nafsu dengan keinginan seseorang maupun kelompok.
Daftar Pustaka