Tafsir Motivasi: Smarter

artikula.id

Realita yang terjadi, setiap manusia akan terbatas dan rapuh untuk mencapai sebuah kebenaran, tak terkecuali dalam urusan kebenaran keagamaan.

Sebuah kaedah berfikir sistem, dimana kekuatan berfikir sebagai karunia Allah SWT yang hanya diberikan kepada manusia adalah bagian dari aktivitas hidup. Manusia tidak pernah bisa terlepas dari kegiatan berfikir yang bisa menentukan kualitas hidup. Kualitas hidup bisa ditemui dengan cara berfikir yang dilalui oleh pertumbuhan fisik seorang manusia. Namun untuk menjadi manusia dewasa dibutuhkan keberanian mengisi deposito pengalaman yang lebih banyak. Sesuai dengan sebuah ungkapan “menjadi tua itu sudah sebuah kepastian namun menjadi dewasa ditentukan oleh berapa banyak pengalaman berharga yang dimasukan dalam deposito kehidupan”.

Bacaan Lainnya

Tumbuh dan menjadi dewasa berkaitan dengan seperti apa menetapkan tujuan hidup.  Tantangan, kepedihan, dan kesulitan hidup akan terus mengasah pengalaman. Pohon-pohon akan tumbuh kokoh karena tumbuh di atas tanah yang subur. Senada dengan pertumbuhan cara  berfikir yang akan tumbuh kuat dan cerdas bila menempati posisi yang memberikan nilai tambah pada deposito pengalaman.

Deposito pengalaman yang minim akan membuat rapuhnya untuk mencapai sebuah kebenaran yang diakibatkan oleh minimnya prasangka kita terhadap sesuatu yang sedang kita hadapi. Ketika sebuah problem berada di depan, terkadang prasangka sudah muncul dan menjelma lebih awal ketimbang sebuah proses yang akan dihadapinya. Ini menjadikan rapuhnya hasil yang ingin dicapai.

Pertanyaannya, mungkinkah kerapuhan itu bisa terkalahkan? Bukankah karunia Allah itu sangat luas, yang keluasannya itu sudah barang tentu memberikan sebuah jawaban yang pasti? Tapi kenapa kerapuhan itu ada dalam setiap manusia ketika menjalani problem yang di hadapi?

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul menjadikan sebuah proses berfikir lebih matang dan baik. Ketercapaian sebuah kesuksesan tergantung dari prasangka yang ada dalam diri seseorang. Dalam kitab Al-Bayân: 1/62, Imam Syafi’i berkata: “siapa diantara kalian yang akhir hayatnya ingin diakhiri oleh Allah dengan kebaikan, maka hendaklah selalu beprasangka baik kepada manusia”. Wejangan beliau–Imam Syafi’I—memberikan inspirasi dan motivasi untuk selalu berprasangka baik dan menghindari berprasangka buruk.

Hukum tarik menarik menyatakan bahwa sesuatu akan menarik sesuatu yang sama, karenanya tatkala kita berfikir tentang sesuatu, kita sedang menarik pikiran yang sama kepada kita.

Pikiran adalah magnet, dan pikiran memiliki frekwensi, begitu kita berfikir sesuatu, pikiran itu terpancar ke alam semesta, dan secara magnetis pikiran itu menarik semua hal  yang berada pada frekwensi yang sama.

Runtuhnya kerapuhan subjek, tergantung bagaimana subjek itu sendiri yang menjalankannya. Rapuhkah?, Merapuhkan-kah?. Itu semua tergantung dalam konsep dirinya.

Konsep diri menjadi rujukan terpenting bagi kehidupan seseorang, seperti asal kata konsep (Bahasa Latin concepere = gambaran atau kesan). Konsep diri merupakan gambaran tentang kita, tentang apa yang ada dalam pikiran dan kita rasakan. Hal tersebut merupakan gabungan dari berbagai pengalaman dan utamanya dalam hubungan dengan orang lain (intraction with others). Bahagia, sedih, kecewa dan sukacita merupakan gambaran dari penilaian diri dari proses melihat cermin diri (looking-glass self) yakni membayangkan diri kita dalam hubungannya dengan orang lain.

Melihat cermin diri perlu menetapkah arah kiblat. Mengetahui arah kiblat, menyebabkan jutaan umat Islam menjadi tertib dalam urusan ibadah kepada Tuhannya. Hal senadapun akan terwujud jika menetapkan tujuan, akan menumbuhkan disiplin dan gairah kehidupan karena tindakan dan perbuatan dikerahkan pada arah yang dimaksud.

Hidup tanpa tujuan bagaikan kapal tanpa nahkoda. Grace Hoppe berkata, “A ship in port is safe, but this is not what ship are built for (Kapal yang terus bersandar di pelabuhan memang aman, tapi bukan itu tujuan kita membuat kapal).”

Dalam QS. Adz-Dzariyat/51:56, Allah SWT berfirman, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.

Quraish Shihab dalam Al-Mishbah menegaskan, Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada-Nya, tetapi mereka Dia ciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk manusia sendiri. Menurut beliau, ibadah adalah kepatuhan kepada Allah disertai dengan cinta kepada-Nya. Kepatuhan dan cinta itulah yang melahirkan ketulusan. Karena itu, Allah SWT menegaskan mereka tidak diperintahkan, kecuali beribadah kepada Allah dengan menegakkan ketulusan kepada-Nya. Beliau lalu menambahkan dalam menyadarkan manusia yang memiliki dua dimensi, yaitu roh dan jasad yang senantiasa mesti dibina baik secara fisik, intelektual, dan juga spiritual.

Nilai kenikmatan sebuah keberhasilan tersebut bukanlah pada pencapaiannya, melainkan pada cara meraihnya dengan menyadarkan roh dan jasad secara fisik, intelektual, dan spiritual hingga melahirkan kecintaan dan ketulusan kepada-Nya dalam beribadah.  Bisa dikatakan bahwa keberhasilan bukan sesuatu yang tidak disengaja atau sebuah spekulasi, melainkan sesuatu yang secara sungguh-sungguh diperjuangkan untuk mendapatkannya. Karenanya tujuan yang ditetapkan harus merupakan cermin dari hati nurani serta prinsip-prinsip yang diyakini.

Tujuan yang ditetapkan harus memiliki daya pikat, dan tujuan itu bagian dari makna hidup dan kebahagiaan. Tanpa daya pikat, tujuan akan tetaplah hanya sederetan kalimat yang menjadi inventaris “kemauan”. Keterpikatan tujuan harus tetap terfokus pada kata kunci SMARTER yaitu Specific (jelas dan tidak bersifat umum), Measurable (dapat diukur), Achievable (Dapat dicapai),  Realistic bukan khayalan), Time line (ada target waktu), Enthusiasm (dilakukan dengan kesungguhan), dan Responsible (dapat dipertanggungjawabkan)

Editor : ABS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *