Islam Mempertimbangkan Tradisi

bbci.co.uk

Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi menyebutkan bahwa sistem nilai tauhid dalam Islam yang meyakini seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan dapat mempengaruhi pembentukan sistem-sistem sosio-kultural. Pengaruh sistem nilai Islam yang teosentris ini menciptakan arus balik kepada manusia untuk kepentingan manusia. Arus baliknya bisa berupa aktualisasi ke dalam segala bentuk perilaku baik yang biasa dilakukan secara terus menerus oleh suatu masyarakat sehingga menjadi tradisi. Tradisi tertentu yang tercipta ini merupakan hasil persepsi suatu masyarakat dengan kesadaran sesuai kapasitas intelektualnya dan terikat dengan sistem budaya mereka di dalam komunitasnya.

Sistem nilai Islam yang teosentris di atas secara teologis bersifat normatif, sedangkan arus baliknya secara sosiologis bersifat akomodatif terhadap tradisi lewat proses asimilasi, akulturasi dan integrasi yang terjadi sejak awal Islam sampai saat ini. Dari sinilah konsep Islam mempertimbangkan tradisi dirumuskan. Rumusan ini menggambarkan terjadinya perjumpaan antara Islam dan tradisi yang tidak dapat dipungkiri dalam setiap waktu sehingga menjadikan keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.

Bacaan Lainnya

Meskipun antara Islam dan tradisi bisa saling melengkapi, namun kenyataan seringkali menghadapi dua permasalahan yaitu, Pertama, adanya sebagian kelompok muslim yang mengatakan bahwa Islam yang akomodatif terhadap tradisi cendrung sinkretis dan bernuansa syirik atau bidah. Kedua, adanya kelompok lain yang menjadikan tradisi secara berlebihan sebagai praktik ritual yang dianggap bagian dari ajaran Islam. Mereka seringkali menyampingkan urgensinya nilai-nilai normatif ajaran tauhid dalam melakukan praktik ritual yang menyimpang.

Kelompok pertama mengusung gagasan ortodoksi dan ortopraksi dalam merespon pertautan antara Islam dan tradisi. Gagasan ortodoksi adalah kepemilikan terhadap kebenaran agama atau religious truth.  Sedangkan  ortopraksi,  merupakan  cara  yang  benar  dari praktik dan pencapaian kebenaran dimaksud. Dua gagasan ini dapat dipahami sebagai kondisi yang diyakini berada di jalan yang paling benar dan rentan memunculkan penilaian suatu praktik keagamaan tertentu tidak absah. Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang hanya mengikuti tradisi nenek moyang tanpa kendali wahyu sehingga tidak lagi memperdulikan adanya unsur-unsur syirik dalam praktik ritual yang dilakukannya.

Islam mempertimbangkan tradisi memberikan pandangan yang moderat dan tegas kepada kedua kelompok di atas dengan berbagai bukti. Baik bukti sejarah mengenai inklusivitas Islam dengan tradisi maupun bukti tertulis seperti yang disebutkan dalam Al-Qur`an.

Bukti yang pertama menjadikan Islam sebagai agama yang universal  dan  kosmopolit selalu terbuka terhadap tradisi yang berbeda, bahkan seringkali pada tahap mengadopsi dan mengintegrasikannya menjadi bagian dari Islam. Inklusivitas Islam dengan tradisi pada masa Rasulullah SAW buktinya dapat mempertahankan tradisi yang baik dan dan melenyapkan tradisi buruk masyarakat Arab Jahiliyah saat itu. Misalnya ibadah haji yang telah lama menjadi tradisi baik yang dilakukan oleh masyarakat Arab pra-Islam, namun tata cara ibadah haji yang buruk dilenyapkan, seperti  thawaf sambil telanjang diganti dengan berpakaian ihram. Bukti sejarah ini bisa diartikan bahwa Islam lahir berawal sebagai produk tradisi bangsa Arab yang kemudian menjadi agama yang universal dan kosmopolitan.

Manifestasi kosmopolitanisme Islam ini juga bisa dibuktikan dari sejarah  awal  Islam hingga generasi-generasi sesudahnya, baik dalam format non material maupun yang material seperti seni arsitektur. Misalnya, sebuah tempat yang awalnya sekedar atap pelepah kurma yang menaungi Rasulullah SAW saat berkhutbah Jum`at, kemudian diganti menjadi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dibuat oleh tukang kayu dari bangsa Romawi. Contoh lainnya adalah Rasulullah SAW dan para sahabatnya membuat parit dalam perang Khandak (Ahzab) yang merupakan salah satu metode pertahanan ala Persi yang diusulkan oleh Salman al-Farisy. Para sahabat Rasulullah SAW juga meniru adminsitrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya demi kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan nash Al-Qur`an.

Sedangkan nash Al-Qur`an yang menjadi bukti kedua tentang Islam mempertimbangkan tradisi salah satu contohnya adalah dalam QS. al-Baqarah/2: 200, yang artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut dengan bangga nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.”

Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Hamka yaitu bahwa kebiasaan atau tradisi bangsa Arab jahiliyah sebelum Islam datang, apabila mereka selesai wukuf di padang Arafah, mereka menyebut-nyebut nenek moyang mereka dengan keras untuk kebanggaan. Namun setelah Islam datang tradisi atau adat yang menjadi kebiasaan masyarakat Arab ini tidak dihilangkan seluruhnya akan tetapi diganti dengan cara menyebut nama Allah dengan penuh semangat dan rasa syukur pada-Nya. Menghilangkan tradisi buruk dan mempertahankan tradisi baik dalam pelaksanaan ibadah haji ini menjadi bukti Islam mempertimbangkan tradisi secara akomodatif.

Islam mempertimbangkan tradisi dalam konteks di atas adalah Islam yang terbuka (inklusif) untuk mengakomodir tradisi lain yang bernilai baik menjadi tradisi yang terintegrasi dengan Islam, serta menolak keras suatu tradisi yang menyimpang dari sistem nilai tauhid dalam Islam. Misalnya suatu tradisi memendam kepala kerbau yang masih sering dilakukan oleh masyarakat muslim di Jawa dalam suatu ritual atau praktik ibadah yang seolah-olah islami. Biasanya ritual memendam kepala kerbau ini dilakukan sebagai sesajen dengan tujuan agar diberikan keselamatan dan dilimpahkan keberkahan. Atau menanam kepala kerbau jadi hal yang biasa dilakukan ketika peletakan batu pertama saat pembangunan gedung atau jembatan.

Penolakan Islam terhadap tradisi yang menyimpang tersebut menjadi respon kritis terhadap kelompok yang hanya mengikuti tradisi nenek moyang tanpa kendali wahyu sehingga berlaku syirik. Kritik Al-Qur`an terhadap mereka seperti dalam QS. al-Baqarah/2: 170, yang artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”mereka menjawab:“(tidak), akan tetapi kami hanya mau mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami”. Walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.

Ayat ke-170 dari Surah al-Baqarah ini mengkritik orang-orang yang mempertahankan keyakinan dan peribadatan atau ritual dari leluhur yang salah dan dilakukan secara turun temurun, namun tidak mau merubahnya meskipun telah mengetahui kebenaran syariat yang diajarkan Islam. Hal demikian terjadi karena memang kebanyakan mereka bersikap fanatik buta terhadap tradisi leluhur, sebagaimana yang pernah terjadi pada masyarkat musyrik Kuraisy di Mekah yang menolak diajak untuk meninggalkan berhala dengan alasan telah menjadi keyakinan nenek moyang mereka yang diwarisi turun temurun. Padahal nenek moyang mereka tersebut dinilai oleh Al-Qur`an sebagai orang-orang yang paling bodoh dan sesat. Begitulah tafsir ayat di atas menurut `Abdurrahman bin Nasir Al-Sa`di dalam Taisir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan.

Dengan demikian Islam mempertimbangkan tradisi memberikan pandangan yang moderat bahwa sistem nilai tauhid dalam Islam yang teosentris, arus baliknya adalah menerima secara inklusif tradisi lain yang bernilai baik dan kemudian mengakomodirnya atau mengintegrasikannya ke dalam Islam. Sedangkan ketegasannya adalah menolak tradisi lain yang menyimpang dari sistem nilai tauhid dalam Islam sehingga menjadi syirik. []

Editor: IS                               

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *