Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, wacana hermeneutika sebagai salah satu solusi atas kebuntuan metodologi Islam menjadi sesuatu yang niscaya.[1] Metode ini merupakan bagian dari kajian filsafat dan telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan.[2] Pada mulanya, hermeneutika hanya fokus membahas secara serius seputar teks yang berkaitan dengan al-Kitab. Tujuannya adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel.[3] Namun, seiring berjalannya waktu, hermeneutika menjadi salah satu metode yang bisa digunakan untuk memahami segala teks, termasuk Al-Qur’an. Fenomena ini menjadi perbincangan serius di kalangan para mufassir, muhadditsin, dan ulama ushul fiqh yang notabene telah memiliki metode kokoh dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Sementara itu, kehadiran hermeneutika sebagai metode baru, masih perlu diuji tingkat keabsahan produk tafsirannya, karena dalam proses aplikasinya menganut paham relativisme tafsir.[4] Dalam hal ini, hermeneutika tafsir bukan hanya lagi berperan sebagai metode semata, melainkan telah merambah pada upaya untuk mendekonstruksi Al-Qur’an. Artinya, penggunaan hermeneutika saat ini, dalam beberapa kasus, dijumpai ada upaya untuk merombak berbagai hukum Islam yang selama ini dipandang sebagai hal yang qath’i, salah satu contoh yang ditemui seperti haramnya perkawinan sejenis, dirombak menjadi “indahnya kawin sesama jenis”.[5] Jika demikian tujuannya, maka kehadiran metode hermeneutika modern tidak akan bisa diterima, karena menggugat hukum yang qath’i dalam Islam. Sebaliknya, kalangan ulama Islam membolehkan penggunaan metode hermeneutika, hanya dalam batas untuk menafsirkan ayat-ayat dalâlah zhanni yang mutaghayyirât.[6]
Fazlur Rahman merupakan salah satu tokoh pemikir Islam kontemporer yang intens mengkaji Al-Qur’an. Ia termasuk salah satu tokoh yang menawarkan pendekatan hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pendekatan hermeneutika ala Fazlur Rahman merupakan salah satu metode yang bisa diterima oleh berbagai kalangan ulama secara metodologis, karena bersifat logis, sistematis dan komprehensif dalam memahami Al-Qur’an, serta sesuai dengan prinsip shâlihun likulli zaman wa makân. Metodologinya ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk menjadikan Al-Qur’an agar mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian, mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman.[7]
Unsur-unsur terpenting dari pemikiran hermeneutika Al-Qur’an ala Fazlur Rahman dapat dilihat pada artikel yang ditulisnya, Islamic Modernism: Its Scope, Methode and Alternative. Artikel ini sebenarnya merupakan respon kritisnya yang ditujukan terhadap pendekatan interpretasi konvensional. Pada artikel tersebut, Fazlur Rahman mengatakan bahwa suatu metodologi yang cermat untuk dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an harus memegang prinsip-prinsip berikut ini:[8]
(1) Pendekatan historis yang serius dan jujur. Pendekatan ini harus digunakan untuk dapat menemukan makna teks Al-Qur’an. Aspek metafisik dari ajaran Al-Qur’an boleh jadi tidak bisa ditangani secara historis, namun aspek sosiologisnya pasti memerlukan penanganan historis. Al-Qur’an harus dipelajari dalam urutan kronologis. Diawali dengan pemeriksaan wahyu yang paling awal, sehingga akan memberikan persepsi yang cukup akurat dan berbeda dari penilaian pendapat yang datang kemudian. Jadi, seorang penafsir harus mengikuti ungkapan Al-Qur’an sebagaimana yang telah dibawa dan diperjuangkan oleh Nabi Muhammad Saw. Pendekatan historis ini tidak hanya menyelamatkan kita dari kepalsuan dalam penafsiran Al-Qur’an era modern yang cenderung berlebih-lebihan, melainkan juga dapat menunjukkan secara jelas makna keseluruhan dari pesan Al-Qur’an. Menurut Fazlur Rahman, Al-Qur’an muncul dalam horison sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis, maka pendekatan yang paling tepat untuk memahami Al-Qur’an adalah pendekatan sejarah (historical approach).[9]
(2) Seorang penafsir harus bisa membedakan ketetapan hukum dasar (legal spesifik Al-Qur’an) dengan maksud dan tujuan hukum yang diharapkan (ideal moral Al-Qur’an). Dalam proses ini, penafsir akan dihadapkan pada subjektivitas, tapi hal ini dapat direduksi dengan penggunaan Al-Qur’an itu sendiri. Orang muslim dan yang non muslilm satu sama lain terlalu sering melupakan bahwa Al-Qur’an itu biasanya memberikan alasan atas pernyataan hukum dasarnya (legal spesifik Al-Qur’an). Contoh, “dua orang wanita sebagai pangganti satu pria”, apa alasannya? karena seorang wanita harus mengingatkan wanita lainnya ketika dia lupa. Contoh ini memiliki fakta yang jelas pada tatanan sosial di Arab pada masa Nabi. Hal ini menegaskan bahwa yang menjadi alasan atas hukum dasar Al-Qur’an (legal spesifik) harus ditemukan sebisa mungkin.
(3) Tujuan atau maksud Al-Qur’an harus dipahami secara akurat, namun tetap memberi perhatian penuh pada latar sosiologisnya, yaitu di lingkungan dimana Nabi pindah dan bekerja. Hal ini akan mengakhiri subjektivitas penafsiran Al-Qur’an pada masa abad pertengahan dan modern, bahkan akan mewarnai penafsiran Al-Qur’an di abad pertengahan dan modern.
Dari penjelasan di atas, maka tiga prinsip yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman tersebut dapat disederhanakan menjadi dua bagian: Pertama, pentingnya pendekatan historis, dengan memperhatikan aspek sosiologisnya yang kemudian dapat diartikan sebagai suatu pendekatan sosio-historis dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, khusunya yang berkenaan dengan masalah sosial. Kedua, pentingya pembedaan antara ketetapan makna “legal spesifik” dan “ideal moral” ayat Al-Qur’an. Kedua prinsip inilah yang kemudian oleh Fazlur Rahman disebut sebagai teori gerakan ganda atau double movement.[10]Pencarian terhadap makna legal spesifik ayat, merupakan tradisi penafsiran konvensional dan dikenal sebagai tafsir tekstual, sedangkan ideal moral ayat merupakan pengejewantahan dari model penafsiran kontemporer yang lebih menekankan pada penafsiran kontekstual. Kedua model tafsir ini, baik tekstual maupun kontekstual mampu didialekkan secara apik oleh Fazlur Rahman. Maka, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa metodologi hermeneutika Al-Qur’an ala Fazlur Rahman ini merupakan salah satu metode yang kritis dan dialektis, patut diapresiasi, baik secara teoritis dan praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Kurdi, et.al. Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadist. Yogyakarta: ELSAQ Press, 2010.
Muchtar, M. Ilham. “Analisis Konsep Hermeneutika dalam Tafsir Al-Qur’an”, dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 13 No. 1, 2016.
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, diterjemahkan oleh Ahsin Mohammad dari judul Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka, 1985.
Rahman, Fazlur. “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternative”, dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 1 No. 4, 1970.
Sifa, Moh. Agus, dan Muhammad Aziz, “Tela’ah Kritis Pemikiran Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman”, dalam Al-Hikmah: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 8 No. 1 Tahun 2018.
Sholeh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Zuhdi, M. Nurdin. “Hermeneutika Al-Qur’an: Tipologi Tafsir sebagai Solusi dalam Memecahkan Isu-Isu Budaya Lokal Keindonesiaan”, dalam Esensia, Vol. 13 No. 2, 2012.
[1]M. Nurdin Zuhdi, “Hermeneutika Al-Qur’an: Tipologi Tafsir sebagai Solusi dalam Memecahkan Isu-Isu Budaya Lokal Keindonesiaan”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 13 No. 2 Tahun 2012, hal. 242.
[2]M. Ilham Muchtar, “Analisis Konsep Hermeneutika dalam Tafsir Al-Qur’an”, dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 13 No. 1 Tahun 2016, hal. 69.
[3]M. Ilham Muchtar, “Analisis Konsep Hermeneutika dalam Tafsir Al-Qur’an”,…hal. 69.
[4]Relativisme tafsir merupakan paham yang memiliki pandangan bahwa tidak ada tafsir yang qath’i, semuanya zanni. Paham ini berpendapat bahwa tafsir adalah sebagai produk akal manusia yang relatif, konteksual, temporal dan personal. Lihat Adian Husaini, Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Depok: Gema Insani, 2007, hal. 17.
[5]Adian Husaini, Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an,… hal. 27.
[6]Baca Muhammar Zuhri Abu Nawas, “Teknik Interpretasi Tekstual dan Kontekstual”, dalam Jurnal Asl-Asas, Vol. 2 No. 1 April 2019, hal. 75-87.
[7]Kurdi, et.al., Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadist, Yogyakarta: ELSAQ Press, 2010, hal. 60.
[8]Fazlur Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternative”, dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 1 No. 4, 1970, hal. 329.
[9]Rudy Irawan, “Metode Kontekstual Penafsiran Al-Qur’an Perspektif Fazlur Rahman”, dalam Jurnal Al-Dzikra: Studi Ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, Vol. 13 No. 2 Desember 2019, hal. 172.
[10]Agus Sifa dan Muhammad Aziz, “Tela’ah Kritis Pemikiran Hermeneutika Double Movement Fazlur Rahman”, dalam Al-Hikmah: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 8 No. 1 Tahun 2018, hal. 119.
Masya Allah…bahasan yg sangat apik . Dan membuka jalan menuju dunia tafsir kontemporer . Sukses ya sidi …