Tawaran dan Kritik: Hermeneutika Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid

Pada masa modern ini, telah terjadi pergeseran paradigma dalam studi-studi Al-Qur’an, dari berwatak literal ke arah yang lebih rasional dan kontekstual. Kehadiran Sayyid Ahmad Khan di India dan Muhammad Abduh di Mesir merupakan tonggak penting dalam mengubah persepsi kaum Muslimin tentang makna teks Al-Qur’an yang tidak lagi dianggap statis, melainkan dinamis dan historis. Pandangan tentang historisitas makna merupakan ciri yang sangat mendasar dalam hermeneutika  Al-Qur’an kontemporer.[1] Studi Al-Qur’an modern telah bergerak menuju sebuah paradigma yang berdasarkan atas penelitian ilmiah dan kajian kritis.

Di antara para pemikir Islam modern, Nasr Hamid Abu Zaid merupakan salah-satu pemikir yang cukup berpengaruh terhadap metode tafsir Al-Qur’an secara ilmiah. Namanya sangat dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam setelah menggulirkan gagasan bahwa Al-Qur’an hanyalah produk budaya, teks manusia, teks linguistik dan tidak lebih dari sekedar fenomena sejarah. Abu Zaid mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan respon terhadap kejadian saat ia turun, maka untuk menafsirkan Al-Qur’an haruslah berdasarkan konteks.

Paper ini ditulis untuk meneliti tawaran hermeneutika al-Qur’an menurut Abu Zaid. Pada paper ini, pemikirannya terhadap teks Al-Qur’an akan dijabarkan secara deskriptif beserta kritik terhadap pemikiran tersebut. Diharapkan melalui paper ini, pemikiran Abu Zaid tentang Al-Qur’an dapat dipahami lebih mudah dan ringkas.

Tawaran Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

            Al-Qur’an sebagai Teks (Mafhūm al-Nash): Tujuan utama Abu Zaid dalam mengkaji Al-Qur’an sebagai teks adalah mengkorelasikan kembali studi Al-Qur’an dengan studi kritis (ad-dirāsāt al-adabiyyah wa an-naqdiyyah). Menurut Abu Zaid, Al-Qur’an didasarkan utamanya pada teks, dan karenanya studi al-Qur’an perlu mengkaji dimensi linguistik sekaligus sastrawi dari Al-Qur’an.

            Model Pembacaan Produktif dan Kontekstual; Menurut Abu Zaid, pembacaan produktif (al-qirā’ah al-muntijah) mencakup dua segi dalam teori interpretasi. Pertama, segi historis yang bertujuan untuk menempatkan teks-teks tersebut pada konteksnya dalam upaya menyingkap makna yang asli, kemudian konteks historis, serta konteks bahasa yang khusus dari teks-teks tersebut. Kedua, segi sosio-kultural pada masa itu.

            Konsep Teks dan Otoritas Teks; Pembahasan konsep teks tampak pada beberapa aspek yang ditawarkan Abu Zaid dalam teori pembacaannya terhadap teks, mulai dari historisitas teks, otoritas teks, dan problematika konteks. Menurut Abu Zaid, sebuah pembacaan kontekstual berusaha membaca teks pada tingkatan-tingkatan konteks yang saling membangun relasi satu sama lainnya, yaitu as-siyāq as-saqafī al-ijtimā’i, as-siyāq at-takhātubī,  as-siyāq al-khārijī, as-siyāq ad-dakhilī, as-siyāq al-lughawī; dan siyāq al-qirā’at/al-siyāq al-ta’wīl.[2]

            Pendekatan Subjek-Objek; Abu Zaid menjelaskan bahwa penafsiran Al-Qur’an harus dipahami subjek dan objek terlebih dahulu. Dengan demikian, penentuan terhadap suatu hukum dapat diambil karena subjek sebagai pelaku hukum dan objek sebagai yang dikenakan hukum sudah ditemukan.[3]

            Pendekatan Sebab-Akibat; Abu Zaid menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan respon terhadap suatu sebab yang terjadi pada saat diturunkan. Oleh karena itu, mengambil hukum dari Al-Qur’an harus didasarkan pada pemahaman terhadap sebab-akibat turunkan suatu ayat. Dengan demikian, ayat tersebut dapat diterapkan dalam merespon suatu peristiwa yang serupa dengan masalah yang terjadi saat turunnya suatu ayat.

            Kritik Abu Zaid terhadap Metode Penafsiran Al-Qur’an oleh Kaum Sunni; Menurut Abu Zaid, hal ini bukan kesalahan pemahaman, tetapi lebih merupakan sikap ekspresi ideologisnya terhadap realitas, sehingga pola pemikirannya selalu bersandar pada keterbelakangan dan anti-progresivitas. Dalam kritiknya atas kaum Sunni, Abu Zaid berkesimpulan bahwa kaum Sunni menyusun sumber-sumber interpretasi terhadap Al-Qur’an dengan bersandar pada empat hal, yaitu penjelasan Rasulullah, sahabat, tabī’in, dan tafsir lughawi.[4]

Kritik  Hermeneutika Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid

Sebenarnya argumen yang dibangun oleh Abu Zaid tentang Al-Qur’an sebagai produk budaya kurang meyakinkan, bukan hanya bagi para Islamis, tetapi juga bagi intelektual muslim liberal. Abu  Zaid lebih menekankan pada pendekatan sebab-akibat dan subjek-objek.[5]

Pendekatan semacam ini sudah mulai ditinggalkan orang, karena pada level empiris, tidak selalu suatu sebab yang sama melahirkan akibat yang sama, atau tidaklah selalu suatu akibat yang sama dilahirkan oleh suatu sebab yang sama. Juga pendekatan subjek-subjek banyak dikecam oleh para pemikir postmodernis, karena ia mengandaikan diskriminasi dan dominasi, yakni diskriminasi dan dominasi subjek dan objek, padahal subjek sebenarnya adalah objek bagi subjek yang lain, dan apa yang dianggap sebagai objek sebenarnya adalah subjek bagidirinya. Dalam kaitan ini, pendapatnya tentang wahyu betapapun dia menggunakan analisis komunikasi sejalan dengan pendapat resmi ortodoksi, bahwa Al-Qur’an diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui Jibril dengan menggunakan bahasa Arab. Perbedaannya adalah penjelasan bahwa Allah sebagai pengirim atau pembicara, Muhammad sebagai penerima, Jibril sebagai media, dan Bahasa Arab sebagai kode komunikasi. Pada sisi lain, Abu Zaid juga berpendapat bahwaAl-Qur’an adalah produk budaya.  Tentu hal iniberkaitan dengan kebenaran empiris, yakni pada level budaya, Al-Qur’an tidak bisa melepaskan diri dari keberadaannya sebagai salah satu unsur yang lahir dari rahim budaya abad ke-7.

Kesimpulan

Tawaran Hermeneutika Al-Qur’an oleh Nasr Hamid Abu Zaid terdiri dari beberapa konsep terhadap teks al-Quran, bahkan ia mengkiritik kaum sunni dalam menafsirkan Al-Qur’an. Kenyataanya, hermeneutika oleh Abu Zaid tidak cukup meyakinkan para intelektual muslim. Beberapa konsep yang ia tawarkan, seperti pendekatan subjek-objek dan sebab-akibat dianggap tidak relevan untuk menafsirkan Al-Qur’an karena terlalu mendiskriminasi dan mendominasi salah satu di antaranya.

Daftar Pustaka

Ardiansyah, Rino. Kritik Nasr terhadap Konsep Sunnah Al-Syafii. dalam Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018. Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Jakarta: Mizan, 2003.
Latif, Hilman. Nashr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. Yogyakarta: Elsaq Press, 2003.
Munir, Samsul.Nasr Hamid Abu Zaid dan Hermeneutika Teks Al-Qur’an, dalam Jurnal Ta’dib, tn.tt. Subchi, Imam. Nasr Abu Hamid Zayd dan Gagasan Hermeneutika dalam Tafsir Al-QuranJurnal Mimbar Agama Budaya, 2019.

[1] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, Jakarta: Mizan, 2003, h. 36.

[2] Latif Hilman, Nashr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press, 2003, h. 103. 

[3] Imam Subchi, Nasr Abu Hamid Zayd dan Gagasan Hermeneutika dalam Tafsir Al-Quran, 2019, dalam Jurnal Mimbar Agama Budaya, h. 148 – 157

[4] Rino Ardiansyah, “Kritik Nasr Hamid terhadap Konsep Sunnah Al-Syafii”, dalam Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018, h. 44.

[5] Samsul Munir, Nasr Hamid Abu Zaid dan Hermeneutika Teks Al-Qur’an, dalam Jurnal Ta’dib, tn.tt, h. 31.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *