Islam hadir pada sebuah masyarakat yang memiliki ritual, tradisi, dan budaya yang sudah berjalan. Dari semua tradisi yang ada pada masyarakat awal hadirnya Islam, banyak hal yang diakomodir untuk disempurnakan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Islam datang tidak untuk merusak atau mengganti tradisi dan budaya yang ada, Islam hadir dengan misi penyempurnaan.
Dewasa ini, banyak dinamika dalam masyarakat lahir dari konsep “kesederhanaan”. Nalar sederhana biasanya ditopang dengan rasionalitas dan pentingnya sebuah kepatuhan. Seseorang yang konsisten seperti awal waktu melaksanakan ibadah, cara berbusana yang baik, dan menebar tulisan keagamaan dalam media sosial adalah contoh kesederhanaan yang menjadi daya tarik. Namun, jika dikaitkan dengan ideologi akan menumbuhkan radikalisme, terorisme, atau anarkisme.
Radikalisme atau at-tatharruf adalah sebuah gambaran akan kebencian dan kekerasan yang bermetamorfosis menjadi terorisme yang berdampak pada munculnya peperangan yang dahsyat untuk menguasai sumber daya yang besar. Radikalisme juga tumbuh secara luas dalam pembelajaran dan pemahaman (Ibrahim, 2021). Akar kecil yang tumbuh dalam kebencian diiringi dengan kepentingan dapat merubah kehidupan masyarakat dekat dengan kekerasan.
Radikalisme sering dikaitkan dalam pemahaman teks beragama yang berlebihan, biasanya dengan semangat untuk kembali pada dasar ajaran agama Islam. Radikalisme adalah fenomena global yang bisa terjadi dalam ajaran dan lingkungan sosial manapun. Al-Quran menyebutkan adanya larangan untuk bersikap berlebihan dalam melawan kebenaran. Sebagaimana dalam QS. An-Nisa 171, lā taghlū fī dīnikum wa lā taqūlū illa al-ḫaq.
Arus globalisasi saat ini, ibarat kran air yang sang sangat deras. Jika tidak digunakan filter dalam menyaring jaringan informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh siapapun akan berdampak pada pemahamanan yang dihasilkan. Kesederhanaan (simplicity) yang sering hadir menjadi sebuah magnet yang dapat menarik siapapun yang tidak memiliki informasi yang komprehensif tentang ajaran agama Islam.
Media sebagai alat (sarana) komunikasi pada saat ini dapat memberikan penyebaran informasi dengan sangat cepat dan masif. Sebagai sebuah alat komunikasi, media sosial (seperti facebook, twitter) memberikan pengaruh yang besar pada proses pembentukan bangunan informasi bagi individu maupun masyarakat. Dampak ini bisa bersifat positif ataupun sebaliknya (Kan`an, 2014,15).
Media dan radikalisme adalah dua hal yang berkaitan erat. Radikalisme bisa timbul karena rasa senasib dan seperjuangan dalam kehidupan beragama, yang mungkin saja ternyata secara global. Seperti rasa penderitaan yang ikut dirasakan terkait isu Palestina, Rohingya, dan isu-isu lainnya. Media juga berperan dalam menyebarkan isu-isu negatif tentang ajaran Islam. Hal tersebut juga dapat menimbulkan suburnya paham radikalisme.
Informasi parsial tentang ajaran agama Islam sering dibagikan melalui media sosial, sehingga banyak muncul pemahaman yang tidak utuh bahkan terkumpul menjadi kelompok- kelompok elit dan eksklusif. Kelompok ini tidak jarang melabeli orang lain yang berbeda pandangan dengan sebutan “kafir.” Jelas bahwa label itu masuk pada ranah ketuhanan (QS.an-Nisa: 94).
Penyebaran informasi tidak bisa dibatasi atau dihapuskan untuk mencegah timbul dan tumbuhnya paham radikalisme. Maka, setiap usaha sekecil apapun untuk menangkal radikalisme sangat dibutuhkan untuk menghindarkan masyarakat terpengaruh pada daya tarik yang ada. Hal ini bisa dengan menggunakan prinsip amanah dalam menyebarkan setiap informasi yang bisa diakses secara luas.
Saat ini, menjadi sangat penting menjalankan spirit yang ada dalam al-Quran dengan membentuk manusia yang konstruktif. Dunia semakin maju, dari zaman terbatasnya komunikasi hingga munculnya teknologi metaverse yang belum pernah ada sebelumnya. Kemajuan ini menuntut manusia mengambil perannya untuk mewarnai perabadan, agar dapat terus mengikuti arah kemajuan.
Langkah penting dalam menangkal radikalisme/ deradikalisasi dapat dilakukan dari unsur tertinggi (negara) hingga sampai pada ranah keluarga. Dasar pendidikan sebagai pondasi utama harus dirancang dan dirumuskan dengan pendekatan rasional sehingga tidak mudah untuk dipengaruhi dari faktor luar. Mencetak sebanyak mungkin para tokoh intelektual dalam upaya mencerdaskan umat manusia juga termasuk upaya internal yang dapat dilakukan.
Selanjutnya perlu ada langkah respon dari sisi agama yang biasanya selalu dikaitkan dalam isu radikalisme. Agama yang diyakini tidak hanya sebuah jalan menuju keselamatan bagi masing-masing individu, namun juga merupakan identitas kultural merupakan sekumpulan ajaran-ajaran yang dapat menjadi pendorong bagi perubahan yang kemudian mengantarkan kepada sebuah bentuk gerakan sosial. Dalam mengikuti perkembangan zaman yang ada, perlu langkah progresif dalam menerapkan ajaran agama agar selalu aktual dan kontekstual.
Langkah paling krusial ialah melalu penafsiran Al-Quran. Aktivitas penggalian makna al-Qur’an perlu terus dilakukan sebagai ejawantah atas statusnya, huda. Di samping itu, Al-Qur’an mengajak umat manusia untuk menggunakan akal dalam membawa dan menjalankan misi ketuhanan—yang tidak diberikan pada makhluk lainnya. Islam mengajarkan visi penciptaan manusia sangat luar biasa dan tidak ditemukan pada ajaran lainnya yaitu untuk menjadi pemimpin (khalifah) di bumi.
Manusia adalah agen moral dan salah satu tujuan penciptaannya di dunia ini ialah untuk menegakkan moralitas. Moralitas tentu berseberangan pengan prinsip-prinsip radikalisme yang dekat dengan kebencian dan kekerasan. Moralitas dekat dengan kedamaian, sehingga menjaga kehormatan orang lain merupakan bagian dari pondasi fundamental agama dan sekaligus fungsi khalifah manusia.
Pemanfaatan media sebagai sumber informasi dengan bijak dan pemahaman agama yang dilakukan secara konsisten dan tidak mudah mengikuti aliran arus yang lebih menonjolkan kebencian dan kekerasan akan menjadi langkah solutif dalam menangkal bibit- bibit radikalisme dalam beragama. Daya tarik dalam ajaran radikalisme harus disadari sejak dini, agar tidak terbentuk kaum elit yang inklusif dan tidak menerima perbedaan.
Perkembangan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni banyak mempengaruhi paradigma, sudut pandang, metode, dan pendekatan para pengkaji al-Quran dalam upayanya mempelajari al-Quran. Selain itu, berbagai persoalan yang dihadapi kaum muslim serta perubahan dan tuntutan masyarakat dunia yang dinamis telah mengkondisikan dan menuntut para pengkaji al-Quran untuk mengadaptasi sejumlah pendekatan dan penemuan baru (Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, 2013:16).
Kedamaian dan risalah Islam sebagai rahmat bagi semesta alam adalah bukti nyata bahwa Islam membawa nilai-nilai ketenangan dan keselamatan dalam kehidupan beragama dan bersosial. Media sebagai sarana harus banyak diisi dengan kajian dan karya-karya yang positif demi menggerus kedangkalan paham yang lebih mengutamakan kekerasan dan kebencian kepada orang lain. Ini sebagai langkah menjadikan tantangan sebagai sebuah kesempatan.
Kesulitan dan permasalahan yang seringkali timbul dari penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dapat menjadi sebuah kesempatan untuk menggunakan media informasi itu sebagai ajang dakwah Islam yang lebih luas lagi. Dan ini adalah langkah nyata dan tidak abai untuk mewujudkan Islam yang membawa misi rahmatan lil ‘âlamîn.