Surah al-Rūm 1-5 dan Kemerdekaan Indonesia: Interpretasi KH. Maimoen Zubair dalam Safīnah Kallā Saya’lamūn Fī Tafsīr Syaykhinā Maimūn Karya Lora Ismail al-Ascholy

Kitab karya Lora Ismail yang memuat penafsiran Mbah Maimoen Zubair, seorang ulama kharismatik dan politisi Indonesia, dikenal dengan nama Safīnah Kallā Saya’lamūn. KH. Maimun Zubair bin Dahlan bin Warija bin Munandar yang merupakan putra pertama dari Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Ulama yang terlahir di Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah pada Kamis, 28 Oktober 1928 Masehi/Sya’ban 1348 Hijriyah, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda Indonesia.

Mbah Moen, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, terkenal dengan pengajian Ahadan Tafsir Jalalain yang dihadiri antusias oleh para santri dan masyarakat. Salah satu santrinya, Muhammad Ismail Al Ascholy, disapa Lora Ismail Al Ascholy lahir di Bangkalan, 10 Juni 1995, sekaligus keturunan dari ulama Madura yaitu Kiai Kholil Bangkalan. Ia terdorong untuk mengabadikan pengajian tersebut dalam bentuk tulisan. [Amirul Ulum, 2023: 26-38]

Bacaan Lainnya

Kitab ini berisi penafsiran Mbah Moen dengan gaya tematik dan berbahasa Arab, serta mencakup beberapa ayat al-Qur’an. Dawuh Mbah Moen disajikan dengan ditandai pernyataan “Qāla Syaikhunā” serta imbuhan pendapat pribadi dalam menjelaskan maksud ayat al-Qur`an maupun menambahkan penjelasan Mbah Moen dengan menyertakan pernyataan “Qultu”.

Gaya penyampaian tulisan dengan kecenderungan corak lughawi-isyārī dan adabi-ijtimā’ī. Penamaan kitab tersebut diawali dengan kata Safīnah yang termotivasi dari Habib Salim bin Abdullah Al-Shatiri dalam mengumpulkan faidah-faidah selama berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki di Mekkah. Sementara imbuhan kata Kallā Saya’lamūn berasal dari kata yang sering diucapkan Mbah Moen dalam menafsirkan ayat yang berkenaan dengan keajaiban ciptaan Allah. Kitab ini diluncurkan pada Agustus 2023 di Mertajasah, Bangkalan. [Ismail al- Ascholy, 2023]

Ilustrasi Historis Q.S. al-Rūm ayat 1-5

Bagian ini merupakan bagian yang tidak ada di Safīnah Kallā Saya’lamūn dan menjadi penting untuk diurai sebelumnya untuk memberikan ilustrasi historis sebelum masuk pada penafsiran Mbah Moen. Sebelum masuk pada keterangan sejarah yang detil, ayat ini merupakan respon terhadap peperangan yang terjadi antara Romawi dan Persia yang kemudian menyulut api antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy di Mekkah, karena kekalahan Romawi dianggap oleh kaum musyrik Quraisy sebagai proyeksi masa depan umat Islam yang tidak akan mampu mengalahkan mereka.

Kerajaan Romawi terbagi menjadi dua, yaitu Romawi Timur dengan ibukotanya Konstantinopel dan Romawi Barat dengan ibukotanya Milan. Romawi Timur mengalami kemajuan sementara Romawi Barat mengalami kemunduran, namun kemudian mulai bangkit kembali. Ketika Romawi Timur mengembangkan kekuasaannya ke Timur, mereka berkonfrontasi dengan Persia, yang menyebabkan peperangan hebat pada zaman Kaisar Heraclius.

Peperangan tersebut terjadi bersamaan dengan perjalanan dakwah Nabi Muhammad di Mekkah, di tengah penolakan keras dari kaum musyrik Quraisy. Kabar kekalahan Romawi dari Persia membuat kaum muslim di Mekkah sedih, sementara kaum musyrik Quraisy merasa gembira. [Hamka, 1989: 627-629]

Kabar Romawi yang dikalahkan oleh Persia bertepatan dengan Hari Badar sehingga kaum musyrik Quraisy mendebat kaum muslim seraya berkata: “Bangsa Romawi bersaksi bawah mereka adalah Ahlul Kitab, sedangkan mereka telah dikalahkan oleh orang Majusi. Sementara kalian berprasangka bahwa kalian dapat mengalahkan kami dengan kitab yang telah dibawa oleh nabi kalian itu? Bagaimana orang Majusi bisa mengalahkan Romawi padahal Romawi itu Ahlul Kitab?! Maka, kami akan mengalahkan kalian sebagaimana Persia dapat mengalahkan Romawi.” [Wahbah Zuhaylī, 2009: 51]

Dalam konteks itu, Allah menurunkan Surah al-Rūm ayat 1-5:

الم ﴿١﴾ غُلِبَتِ الرُّومُ ﴿٢﴾ فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُم مِّن بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ ﴿٣﴾ فِي بِضْعِ سِنِينَ ۗ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِن قَبْلُ وَمِن بَعْدُ ۚ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ ﴿٤﴾ بِنَصْرِ اللَّهِ ۚ يَنصُرُ مَن يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ﴿٥﴾

Alif Lām Mīm. Bangsa Romawi telah dikalahkan. di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang. dalam beberapa tahun (lagi). Milik Allahlah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang mukmin. karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.

Ayat tersebut mengandung isyarah bahwa itu hanya kemenangan sementara, di mana sejarah tidaklah akan berhenti sampai di situ saja. Kaum Muslim Quraisy, terutama Abu Bakar, percaya bahwa Romawi akan bangkit kembali setelah kekalahannya. Sebaliknya, kaum Musyrik Quraisy mengejek dan meragukan hal tersebut, bahkan menantang seraya berkata: “Kawanmu itu mengatakan Romawi akan menang kembali setelah beberapa tahun! Berapa lama “beberapa tahun” itu? Mari kita bertarung!”.

Lafal fī bi’i sinīn, spesifikasi tolak ukurnya dimaknai berbeda-beda, satu sisi diartikan 7 tahun dan sisi lainnya diartikan antara 3-9 atau 3-10 tahun. Berangkat dari hal itu, kaum musyrik Quraisy membuat taruhan 100 ekor unta bahwa Romawi tidak akan menang kembali dalam 10 tahun. Meskipun dalam 3-6 tahun tanda-tanda kemenangan Romawi belum tampak, pada tahun ketujuh (621), Kaisar Heraclius mulai menyusun kekuatan dan berhasil merebut kembali wilayah Syam, Palestina, hingga ke pusat Kerajaan Persia. Akhirnya, Romawi memenangkan perang tersebut, yang bertepatan dengan kemenangan kaum Muslim dalam Perang Badar. [Hamka, 1989: 627-629]

Makna Implisit Kemerdekaan Indonesia dalam Surah al-Rūm ayat 1-5

Kemerdekaan Indonesia memiliki kemiripan dengan peristiwa yang dijelaskan dalam surah al-Rūm ayat 1-5, yang menggambarkan perang antara Romawi dan Persia. Romawi, sebagai ahlul kitab, awalnya kalah dari Persia, penyembah api, tetapi kemudian berhasil menang setelah beberapa tahun. Kisah ini mirip dengan pengalaman Indonesia yang dijajah oleh Belanda, negara Eropa, dan kemudian oleh Jepang, yang mirip dengan Persia. Jepang merebut Indonesia dari Belanda, mirip dengan Persia mengalahkan Romawi.

Beberapa tahun kemudian, sekutu, termasuk Belanda, mengalahkan Jepang, mirip dengan Romawi mengalahkan Persia. Kekalahan Jepang terjadi setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang bertepatan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, seperti kemenangan umat Islam dalam perang Badar setelah kekalahan Persia oleh Romawi. [Ismail al-Ascholy, 2023: 99-100]

Kisah tersebut menunjukkan bahwa Negara Indonesia merupakan negeri yang diridloi dan diberkati, di mana Indonesia sebagai negara mayoritas penduduk muslim memperoleh kemenangan berupa kemerdekaan layaknya umat muslim yang memperoleh kemenangan pada Perang Badar. Menariknya, nama “Indonesia” jika dihitung berdasarkan abjad huruf “I” merupakan abjad ke 9, huruf “N” abjad ke 14, huruf “D” abjad ke 4, huruf “O” abjad ke 15, huruf “N” abjad ke 14, huruf “E” abjad ke 5, huruf “S” abjad ke 19, huruf “I” abjad ke 9 dan huruf “A” abjad ke 1, maka jika dijumlahkan totalnya menjadi angka 90.

Jika angka 90 tersebut ditelusuri di al-Qur`an maka bertepatan dengan surah al-Balad yang merupakan surah ke 90 di dalam al-Qur`an yang artinya Negeri. Menariknya lagi, tanggal Kemerdekaan Indonesia yaitu angka 17 dan 8 dianggap memiliki makna sakral. Indonesia merdeka pada tanggal 17 bulan 8 yaitu Agustus yang saat itu bertepatan dengan 8 Ramadhan. Angka tersebut mirip dengan tanggal diutusnya Nabi Muhammad yaitu pada tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan 8 Agustus. Kesakralan angka 17 dan 8 menjadi momen terjadinya 2 peristiwa besar yang terabadikan yaitu Kemerdekaan Indonesia dan Diutusnya Nabi Muhammad.

Berbicara tentang tanggal, Lora Ismail memberi respon terkait perbandingan prediksi tanggal dari Mbah Moen dengan prediksi tanggal yang disebutkan oleh al-Mubarakfuri di dalam kitab al-Raȋq al-Makhtūm.

Tanggal diutusnya Nabi Muhammad jatuh pada tanggal 21 Ramadhan bertepatan dengan 10 Agustus tahun 610 M yang berlandaskan dalil bahwa: 1) Nabi Muhammad diutus pada hari Senin sebagaimana yang ditetapkan dalam beberapa hadis, 2) hari Senin bulan Ramadhan pada tahun tersebut hanya jatuh pada tanggal 14, 21 dan 28 Ramadhan berdasarkan beberapa riwayat yang mengindikasikan bahwa diutusnya Nabi Muhammad bertepatan dengan Lailatul Qadar, 3) Lailatul Qadar hanya terjadi pada 10 akhir bulan Ramadhan sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadis, 4) hitungan kalender menetapkan bahwa jatuhnya hari Senin pada bulan tersebut berputar pada tanggal-tanggal tadi.

Artinya, prediksi tanggal dari Mbah Moen dengan apa yang disebutkan oleh al-Mubarakfuri memiliki selisih dua hari dalam menetapkan tanggal diutusnya Nabi Muhammad berdasarkan kalender Masehi secara pasti. Ketepatan tanggal tersebut memang masih diperselisihkan oleh ulama dan para ahli sejarah, akan tetapi diperkirakan memiliki selisih satu hari, dua hari dari tanggal tersebut. [Ismail al-Ascholy, 2023: 99-100]

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki sisi yang menarik untuk disebut dan diakui sebagai Negara dalam konteks keagamaan (Islam) dan historis. Kisah kemerdekaan Indonesia memiliki beberapa poin penting: 1) Sejarah perjuangan Indonesia paralel dengan kisah dalam al-Quran, menunjukkan pertolongan dan kemenangan dari Allah, 2) Perubahan politik dan militer terjadi seiring waktu dan perjuangan.

3) Ulama menekankan bahwa nasionalisme dan spiritualitas bisa berjalan seiring, 4) Kemerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa pertolongan Allah selalu ada bagi orang-orang yang beriman, 5) Keterkaitan tanggal kemerdekaan Indonesia dengan Nuzulul Quran memberikan makna spiritual yang mendalam. Pandangan ini menunjukkan bahwa perjuangan dan kemerdekaan Indonesia memiliki dimensi religius dan spiritual yang mendalam, memberikan inspirasi dan motivasi bagi generasi mendatang untuk menghargai kemerdekaan dalam konteks yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Hamka (1989), Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD.

Zuhaylī (al) (2009), Wahbah. Al-Tafsī al-Munīr. Damaskus: Dār al-Fikr.

‘Askhalī (al) (2023), Muhammad Ismail. Safīnah Kallā Saya’lamūn fī Tafsīr Maimūn Zubayr. Bangkalan: Kantor Lajnah Turots.

Djoened (2019), Marwati dan Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia VI Edisi Pemutakhiran cet. 7. Jakarta: Balai Pustaka.

Ulum, Amirul (2023). Syaikhuna wa Usratuhu. Yogyakarta: CV. Global Press.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *