Suara Al-Qur’an: Memahami Kekuatan dan Tantangan Tafsir Lisan dalam Era Digital

Tafsir merupakan salah satu aspek fundamental dalam pemahaman al-Qur’an. Dalam tradisi Islam, tafsir tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan makna teks suci, tetapi juga berperan dalam membangun pemahaman antara teks dan konteks (Faiz, 2003: 24). Di antara penyampaian tafsir, tafsir lisan atau oral memiliki keunikan tersendiri.

Tafsir lisan sering dilakukan dalam berbagai forum, seperti pengajian, ceramah, maupun diskusi (Rouf, 2020: 50). Melalui metode ini, para ulama dan pengajar dapat memberikan penjelasan yang kontekstual, sesuai dengan kebutuhan dan latar belakang audiens. Kekuatan dari metode ini mampu menjangkau emosi dan membangun hubungan yang lebih dekat antara ajaran dan kehidupan nyata (Lukman, 2018: 96).

Bacaan Lainnya

Esai ini menjelaskan kekuatan dan tantangan yang dihadapi oleh tafsir lisan dalam konteks modern. Dengan mengidentifikasi keunggulan interaktivitas, kontekstualisasi, dan keterhubungan emosional yang ditawarkan oleh tafsir lisan, esai ini juga akan membahas beberapa isu seperti subjektivitas, keterbatasan waktu, dan pengaruh media digital yang menjadi tantangannya.

Kekuatan Tafsir Lisan

Sebelum penafsiran tertulis/tercetak seperti yang beredar kini, penafsiran secara lisan telah diawali Nabi sebagai penerima wahyu. Tradisi ini masih berlanjut di kalangan sahabat maupun para ulama sepanjang sejarah, baik era klasik, pertengahan, modern, maupun era modern-kontemporer (Goldziher, 2010: 25).

Aktivitas penafsiran berjalan seiring dengan perkembangan era digital. Berbeda dengan cara klasik yang berbentuk teks, era modern menjadi momentum pergeseran tafsir dalam bentuk lisan. Tafsir ini banyak digemari masyarakat karena dianggap lebih praktis dan mudah dipahami dengan modal “mendengarkan”. Berbanding terbalik dengan tafsir tulis yang “mungkin” diakses oleh para akademisi saja (Gusmian, 2021: 192).

Selain karena mudah dan instan, tafsir lisan memiliki sejumlah kekuatan yang menjadikannya menarik dan berharga dalam penyampaian ajaran Al-Qu’an. Sejauh penelusuran penulis, ada beberapa aspek penting dari kekuatan tafsir lisan:

Interaktivitas. Salah satu keunggulan utama tafsir lisan adalah sifat interaktifnya. Dalam kajian tafsir, pendengar tidak hanya berperan sebagai penerima informasi, tetapi juga aktif berpartisipasi melalui tanya jawab dan diskusi (Ong, 2005: 31-32). Interaksi ini memungkinkan audiens untuk mengajukan pertanyaan, berbagi perspektif, dan membangun pemahaman bersama.

Dengan demikian, pendengar dapat langsung mengajukan pertanyaan terkait ayat yang dibahas, sehingga membantu memperjelas keraguan atau kebingungannya. Pendengar juga dapat berbagi pengalaman tentang ajaran al-Qur’an sesuai situasi yang dihadapi.

Kontekstualisasi. Tafsir lisan memberikan peluang untuk menjelaskan al-Qur’an dalam konteks yang relevan dengan budaya dan kehidupan audiens. Dalam hal ini, ada beberapa fenomena yang bisa dikemukakan mengenai konteks sejarah, adaptasi budaya, dan relevansi sosial (Ong, 2005: 31).

Konteks sejarah yang dimaksud ialah pembicara dapat menjelaskan latar belakang historis dari ayat-ayat tertentu, yang membantu pendengar memahami ayat tersebut relevan di masa lalu dan sekarang. Hasilnya adalah adaptasi budaya, yakni pembicara dapat menyesuaikan penyampaian tafsir dengan menggunakan istilah yang akrab bagi pendengar, sehingga memudahkan pemahaman.

Adapun relevansi sosial dalam tafsir lisan memungkinkan penjelasan tentang nilai-nilai dan ajaran al-Qur’an dapat diterapkan dalam konteks sosial yang berbeda, sehingga membantu audiens mengaitkan ajaran dengan isu-isu yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Keterhubungan Emosional. Kekuatan terakhir tafsir lisan memiliki kemampuan untuk menyentuh emosi pendengar dengan cara yang mungkin tidak dapat ditemui dalam tafsir tulis. Hubungan ini bisa tercipta sesuai retorika pembicara yang meliputi penghayatan cerita, ekspresi suara dan bahasa tubuh, serta penciptaan komunitas.

Dalam tafsir lisan, pembicara sering menggunakan kisah atau contoh yang menggugah untuk memberikan ilustrasi makna ayat. Kisah-kisah ini dapat menyentuh hati pendengar dan membuat ajaran lebih mudah diingat. Apalagi didukung oleh pembicara yang menggunakan intonasi, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh yang dapat menambah kedalaman pesan yang disampaikan.

Dengan demikian, kekuatan tafsir lisan terletak pada kemampuannya untuk menjalin interaksi, menjelaskan konteks, dan menciptakan keterhubungan emosional dengan pendengar. Dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan ini, tafsir lisan dapat menjadi alat yang efektif dalam mendidik dan menginspirasi umat Islam untuk lebih memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam kehidupan mereka.

Tantangan Tafsir Lisan

Di samping memiliki banyak kekuatan, tafsir lisan juga menghadapi tantangan yang dapat memengaruhi efektivitas penyampaian ajaran al-Qur’an (Hosen, 2019: 59). Di antara tantangannya adalah subjektivitas, keterbatasan waktu, dan pengaruh era digital.

Salah satu tantangan terbesar dalam tafsir lisan adalah subjektivitas dari pembicara. Setiap pembicara membawa pengalaman, latar belakang, dan interpretasi pribadi yang dapat memengaruhi cara mereka menjelaskan ayat (Lukman, 2018: 131-132). Karena sebagai entitas historis, teks tidak berangkat dari ruang yang kosong dan hampa melainkan hasil interaksi antara teks dan konteks yang mengelilinginya.

Sebagaimana Sahiron mengutip teori Gracia, bahwa untuk memahami sebuah teks diperlukan interpretasi yang melibatkan tiga hal, yakni teks yang ditafsirkan, penafsir, dan keterangan tambahan (Syamsudin, 2009: 55-56). Dengan demikian, untuk menghadapi tantangan tafsir lisan, ada beberapa aspek yang dapat dipertimbangkan seperti variasi interpretasi, risiko penyampaian yang salah, dan dominasi suara tertentu.

Pendekatan tafsir yang berbeda dari satu pembicara ke pembicara lain dapat menciptakan kebingungan di kalangan pendengar. Misalnya, dua orang yang berbeda dapat memberikan tafsir yang bertentangan untuk ayat yang sama. Belum lagi adanya kesalahan dalam interpretasi yang berdampak signifikan, terutama jika pendengar tidak memiliki wawasan untuk membedakan antara tafsir yang akurat dan tidak.

Hal ini bisa menyebabkan penyebaran pemahaman ajaran al-Qur’an yang keliru. Dalam beberapa konteks, pandangan mayoritas mungkin lebih mendominasi, sementara pandangan lain terpinggirkan. Ini bisa membatasi keragaman pemikiran dalam memahami al-Qur’an.

Tantangan berikutnya berkaitan dengan efektivitas waktu. Tafsir lisan sering kali diadakan dalam waktu yang terbatas, yang dapat menghambat kedalaman pembahasan. Hasilnya, pembahasan menjadi terburu-buru. Dalam sesi pengajian yang singkat, ada kemungkinan topik yang kompleks dibahas dengan sangat superficial, sehingga tidak memberikan gambaran yang utuh.

Kekurangan waktu juga menyebabkan kesulitan menyampaikan referensi yang lengkap. Karena ada beberapa ayat yang memerlukan konteks historis, budaya, atau tafsir klasik yang mendalam. Dalam keterbatasan waktu, penyampaian informasi ini sering kali terabaikan. Di sisi lain, audiens juga memiliki perhatian terbatas untuk mempertahankan fokus dalam sesi yang panjang, sehingga potensi untuk belajar berkurang.

Tantangan terakhir yang tak kalah penting ialah pengaruh era digital. Di era digital saat ini, berbagai platform seperti media sosial, video, dan podcast menawarkan alternatif penyampaian informasi yang cepat dan mudah. Hal ini membawa tantangan tersendiri bagi tafsir lisan hingga seolah semua orang menjadi penafsir (Lukman, 2016: 133-135).

Perkembangan platform digital membuat masyarakat lebih mudah mengakses berbagai sumber informasi. Dalam banyak kasus, audiens mungkin lebih memilih menonton video atau mendengarkan podcast yang lebih singkat dan menarik. Namun dengan banyaknya informasi yang beredar, ada risiko bahwa audiens akan terpapar pada konten yang tidak akurat atau bahkan menyesatkan.

Peran Media Digital dalam Tafsir

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara umat Islam mengakses dan memahami ajaran al-Qur’an. Media digital, dengan segala keuntungannya, dapat berperan sebagai alat pelengkap yang efektif bagi tafsir lisan (Wardani, 2021: 116-117).

Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter menjadi platform yang efektif untuk menyebarkan informasi tentang tafsir. Para ustadz dan ulama sering membagikan pemahaman mereka dalam bentuk postingan singkat, video, atau siaran langsung, agar menjangkau audiens yang lebih luas.

Kemudian platform seperti YouTube dan podcast menawarkan kemudahan bagi penyampaian tafsir dalam bentuk audio-visual. Pendengar dapat menonton ceramah atau mendengarkan diskusi mengenai tafsir kapan dan di mana saja, memungkinkan akses yang lebih luas kepada berbagai kelompok masyarakat.

Selain itu, perkembangan aplikasi mobile dan situs web menyediakan tafsir yang komprehensif dan mudah diakses. Banyak aplikasi kini memiliki fitur interaktif yang memungkinkan pengguna untuk mencari tafsir berdasarkan kata kunci atau tema tertentu. Contohnya, aplikasi Quranic atau Tafsir Ibn Kathir dapat memberikan penjelasan yang mendalam sekaligus menjadi referensi dari tafsir klasik.

Sinergi antara Tafsir Lisan dan Digital

Media digital dapat digunakan untuk merekam sesi tafsir lisan dan membagikannya kepada audiens yang tidak dapat hadir. Ini menciptakan peluang bagi orang lain untuk mendapatkan manfaat dari tafsir yang telah dilakukan. Misalnya, sebuah pengajian dapat direkam dan diunggah ke platform video atau membuat siaran langsung, sehingga orang yang tidak bisa hadir tetap dapat mengakses materi tersebut.

Dengan menggunakan platform digital, audiens dapat berpartisipasi dalam diskusi lebih lanjut melalui komentar atau forum online. Ini mendorong interaksi yang berkelanjutan dan memungkinkan pembahasan yang lebih mendalam. Diskusi dapat diadakan di grup WhatsApp atau forum Facebook, di mana peserta dapat bertanya dan berbagi pandangan mereka tentang tafsir yang telah disampaikan.

Penggunaan video tutorial atau infografis dalam penyampaian tafsir dapat membantu audiens memahami konsep yang kompleks dengan cara yang lebih visual dan menarik. Misalnya, video yang menjelaskan konteks historis sebuah ayat dapat memperkaya pemahaman pendengar. Namun kembali lagi, semua orang terkesan bisa menjadi penafsir terlepas dari latar belakang keilmuannya.

Catatan Akhir

Tafsir lisan memiliki peranan penting dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran al-Qur’an. Cara ini menawarkan interaktivitas yang memungkinkan audiens untuk berpartisipasi aktif, serta kemampuan untuk mengkontekstualisasikan ajaran sesuai dengan budaya dan kehidupan sehari-hari. Keterhubungan emosional yang terbangun dalam sesi tafsir lisan juga memainkan peran krusial dalam memperkuat iman dan ilmu.

Namun, tantangan yang dihadapi tafsir lisan, seperti subjektivitas dalam interpretasi, keterbatasan waktu, dan pengaruh media digital, tidak dapat diabaikan. Subjektivitas dapat menyebabkan kebingungan di kalangan pendengar, sedangkan keterbatasan waktu sering kali menghambat pendalaman materi. Selain itu, ada risiko bahwa audiens mungkin lebih memilih sumber informasi lain yang tidak selalu akurat.

Di sisi lain, media digital memiliki potensi yang signifikan untuk memperkuat dan melengkapi tafsir lisan. Dengan menyediakan akses yang lebih luas, variasi konten, dan kemudahan penyampaian informasi, media digital dapat menjembatani gap antara tradisi dan inovasi. Namun, tantangan seperti kualitas informasi dan pengaruh distraksi juga perlu diperhatikan agar audiens dapat tetap fokus pada pemahaman ajaran yang benar.

 

Referensi:

Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam.

Goldziher, Ignaz. 2010. Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, Terjemah M. Alaika Salamullah, Dkk. Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press.

Gusmian, Islah. 2021. Khazanah Tafsir Al-Qur’an Indonesia; Dari Hermeneutika, Wacana Hingga Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Salwa.

Hosen, Nadirsyah. 2019. Tafsir Al-Qur’an Di Medsos Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci Pada Era Media Sosial. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Lukman, Fadhli. 2016. “Tafsir Sosial Media Di Indonesia.” Nun 2:133–35.

———. 2018. “Digital Hermeneutics and A New Face of The Qur’an Commentary The Qur’an in Indonesia’s Facebook.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 56:96.

Ong, Walter J. 2005. Orality and Literacy. New York: Taylor & Francis e-Library.

Rouf, Abdul. 2020. Mozaik Tafsir Indonesia Kajian Ensiklopedis. Depok: Sahifa Publishing.

Syamsudin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.

Wardani. 2021. Ragam Tafsir Nusantara Varian Local, Kreativitas Individual dan Peran Perguruan Tinggi dan Media Sosial. Yogyakarta: Zahir Publishing.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *