Wacana feminisme belakangan ini menjadi salah satu kajian yang menarik dan menjadi fenomena tersendiri di kalangan umat Islam. Gelombang globalisasi agaknya sangat berpengaruh bagi masuknya wacana feminisme di kalangan umat Islam. Paling tidak sekitar satu abad feminisme menjadi kosakata paling hidup dalam perbincangan sehari-hari. Istilah ini menunjuk pada suatu gerakan dan pemikiran yang mempertanyakan, mengkritik sekaligus menuntut pemenuhan atas hak-hak kemanusiaan kaum perempuan.
Diskursus feminisme diarahkan kepada soal ketertindasan kaum perempuan, aliansi sosial dan perlakuan tidak adil serta kekerasan yang dialami mereka. Kebudayaan manusia selama berabad-abad telah menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang. Perempuan diperlakukan secara subordinat, the second class, dimarginalkan dari peran-perannya sebagai makhluk sosial dan politik, hanya karena mereka memiliki tubuh perempuan.
Kaum feminisme menggugat struktur kebudayaan dan ideologi yang disebut patriarkisme ini. Ideologi ini telah mendeterminasi laki-laki sebagai makhluk superior, pemegang otoritas yang mendefinisikan struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik. Praktik kehidupan sosial pada masa Nabi diakui telah menempatkan posisi perempuan dalam kedudukan yang setara dengan laki-laki. Struktur patriarki pada masa jahiliah dibongkar Islam dengan memberikan hak-hak kepada perempuan yang pada masa sebelumnya tidak diberikan.
Jika pada masa jahiliah, perempuan tidak diberi hak untuk mewarisi misalnya, Islam memberikannya. Jika pada masa perempuan masyarakat arab membenci kelahiran seorang anak perempuan, Islam justru membenci tradisi masyarakat Arab tersebut dan memberikan janji pahala bagi yang memperlakukan anak perempuan sebagaimana memperlakukan anak laki-laki (Engineer, 1994: 55-82). Berbeda dengan perlakuan masyarakat Arab Jahiliah kepada perempuan, Islam menempatkannya dalam posisi yang sangat terhormat.
Feminisme muncul tidak lain untuk menjawab ketertindasan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Pada hakikatnya feminisme lahir sebagai suatu refleksi filosofis dalam ranah mencari jalan keluar yang terbaik, bijaksana dan penuh rasa kemanusiaan serta memperhatikan keadilan kaum perempuan dalam kehidupannya (Smith & Rapper, 2004: 228).
Wadud dan Ayat Gender
Wadud mengungkapkan bahwa tidak ada penafsiran atas Al-Qur‘an yang bersifat definitif, sehingga oleh karena itu, Al-Qur‘an harus terus menerus ditafsirkan (Wadud, 1999). Berangkat dari anggapannya bahwa tafsir tradisional sarat dengan perspektif laki-laki, Wadud menggagas tafsir dengan perspektif perempuan. Berbagai karyanya tentang Al-Qur an bermuara pada keinginannya untuk menemukan jati-diri perempuan muslim yang telah “dirampas” oleh penafsiran yang dinilainya bias laki-laki. Hal demikian, baginya, hanya bisa dilakukan jika persepsi mengenai keadilan dirumuskan ulang dengan makna yang mendukung pada kesetaraan laki-laki dan perempuan (Baidowi, 2005: 109).
Dalam catatannya, dia berusaha menerapkan konsep “kesetaraan gender” dengan cara menafsirkan ulang ayat-ayat yang dianggap merugikan perempuan. Dalam perspektifnya, banyak hukum Islam yang selama ini diterapkan di tengah masyarakat Islam adalah hasil konstruksi kaum laki-laki. Wadud ingin membuat konstruksi hukum baru dalam perspektif dan kepentingan perempuan.
Salah satu ayat yang banyak digugat kaum feminisme adalah kepemimpinan dalam rumah tangga sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Konsep budaya menjadi hal terdepan dalam memimpin rumah tangga bagi seorang wanita, bukan hal yang kodrati (Husaini & Husni, 2015: 370). Wadud menulis tentang hal ini: “Seorang wanita yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin suatu bangsa menuju upaya masa depan mereka. Demikian juga, seorang suami mungkin saja lebih sabar terhadap anak-anak. Jika tidak selamanya, maka mungkin secara temporer, misalnya ketika istri jatuh sakit, suami harus dibolehkan untuk melaksanakan tugas. Sebagaimana kepemimpinan adalah bukan karakteristik abadi dari semua laki-laki, begitu pun perawatan anak bukan karakteristik abadi dari semua wanita” (Wadud, 2001: 33).
Wadud berpendapat bahkan jika laki-laki qawwamun atas perempuan berdasarkan sesuatu yang lain, ayat ini secara jelas menyatakan bahwa hanya beberapa laki-laki yang menjadi qawwamun, yang sangat berbeda dengan definisi laki-laki yang bersifat kategoris atau esensial sebagai yang lebih baik dari perempuan (Saeed, 2016: 203-204).
Para mufasir feminisme senantiasa mengkritik para mufasir klasik yang dalam penafsiran mereka atas beberapa ayat Al-Qur‘an sering kali mencari-cari tentang kelebihan laki-laki atas perempuan. Sebagian mufasir klasik menegaskan bahwa laki-laki dianggap sebagai “qawwam” yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan perempuan karena laki-laki memiliki kelebihan akal, kekuatan tekad, kekuatan fisik, kemampuan menulis, matang dalam perencanaan, keteguhan dan keberanian (Baidowi, 2011: 71).
Ayat di atas juga membahas mengenai kerukunan dalam suatu rumah tangga yang terjadi kepada perempuan. Dalam hal ini selanjutnya akan disebut dengan nusyuz. Maka kemudian apa yang terjadi dengan penafsiran ayat di atas? Bahwa sebenarnya sering kali ditafsirkan dan dijadikan legitimasi oleh kaum laki-laki untuk dasar kekuatan melakukan tindak kekerasan (violence) terhadap istri (perempuan) yang dianggap telah nusyuz.
Di dalam kitab-kitab Fiqh atau tafsir klasik, kata nusyuz sering dibawa pengertiannya pada istri yang tidak taat kepada suami. Dengan mengartikan demikian, mengindikasikan bahwa si istri memiliki tuntutan kepatuhan terhadap suami. Padahal menurut Wadud, konsep nusyuz di dalam Al-Qur‘an kata nusyuz tidak hanya dirujukkan untuk istri semata, tapi juga untuk suami (Wadud, 1999: 75). Dalam QS. al-Nisa’ ayat 128:
وَإِنِ ٱمْرَأَةٌ خَافَتْ مِنۢ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا.
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ungkapan nusyuz bukan hanya ditujukan pada istri melainkan kepada suami. Wadud berupaya menarik makna jender pada ayat tentang nusyuz. Ia mengambil makna itu menjadi makna kata yang netral. Oleh karenanya, nusyuz yang diartikan istri yang tidak taat kepada suami tidak dapat diterima sepenuhnya.
Untuk memaknai nusyuz, Wadud setuju dengan pemaknaan yang dikemukakan Sayyid Qhutub.
Sebagaimana yang ia kutip bahwa kata nusyuz lebih merujuk kepada pengertian terjadinya ketidakharmonisan dalam suatu perkawinan. Makna ini tentu saja bersifat umum dan universal. Yang lebih penting adalah bahwa makna tersebut merupakan makna yang netral sehingga tidak bias jender.
Untuk perkara dalam rumah tangga ketika terjadi nusyuz. Al-Qur‘an menawarkan berbagai solusi.
Pertama, solusi verbal, baik antara suami istri itu sendiri, seperti dalam Surat An-Nisa’ ayat 34, atau melalui bantuan (seorang penengah) seperti dalam surat An-Nisa’ ayat 128. Jika solusi ini masih belum menemui jalan buntu, maka bisa dilakukan solusi yang lebih drastis. Boleh dipisahkan (pisah ranjang). Langkah terakhir hanya boleh dilakukan dalam kasus-kasus yang ekstrem, yakni memukul mereka (Wadud, 1999: 75).
Dalam menciptakan dan menjaga keharmonisan dalam rumah tangga, Wadud menyarankan beberapa hal. Pertama, Al-Qur‘an mengutamakan terciptanya suasana harmonis. Artinya, tidak perlu melakukan tindakan kekerasan tertentu saat terjadi pertengkaran antara suami dan istri. Kedua, apabila langkah-langkah yang diambil mengikuti ajaran Al-Qur‘an, maka sangat mungkin keharmonisan dapat dipulihkan sebelum mengambil langkah terakhir. Namun, jika tahap ketiga terpaksa dilakukan, tindakan memukul istri tidak diperbolehkan karena dapat memicu kekerasan atau konflik fisik di antara keduanya, yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Engineer, 2003: 253).
Tampak bahwa solusi pertama adalah pilihan terbaik yang disarankan dan dianjurkan oleh Al-Qur‘an. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip dasar dalam Al-Qur‘an, yaitu musyawarah (syura), yang dianggap sebagai cara paling baik untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak. Perdamaian adalah jalan yang lebih baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan Al-Qur‘an adalah menciptakan perdamaian, bukan menerapkan kekerasan atau memaksakan kepatuhan pasangan (Engineer, 2003: 75).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
Adian Husaini, d. R. (November 2015). Problematika Tafsir Feminis: Studi Kritis Konsep Kesetaraan Gender. Jurnal Al-Tahrir, Vol.15, No.2, 370.
Baidowi, A. (2005). Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufassir Kontemporer. Bandung: Nuansa.
Baidowi, A. (2011). Memandang Perempuan: Bagaimana al-Qur’an dan Penafsir Modern Menghormati Kaum Hawa. Bandung: Marja.
Engineer, A. A. (1994). Hak-Hak Perempuan dalam Islam terj. Farid Wajidi dan Cicik Farcha Assegaf. Yogyakarta: LSPPA.
Engineer, A. A. (2003). Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LKiS.
Mernissi, F. (1996). Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti dan Enna Hadi. Bandung: Mizan.
Rapper, L. S. (2004). Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, terj. Handono Hadi. Yogyakarta: Kanisius.
Roded, R. (1996). Kembang Peradaban, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.
Saeed, A. (t.thn.). Al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual. Bandung : Mizan.
Wadud, A. (1999). Qur’an and Women Rereading the Sacred Text From a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press.
Wadud, A. (2001). Quran Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi, terj. Abdullah Ali. Jakarta: Serambi.