Mendiskusikan Ulang Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI

Salah satu Tafsir Ilmi yang dihadirkan oleh Kementerian Agama RI ialah seri Samudra dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Hal yang menarik bagi saya ialah adanya salah satu subbab dengan judul “Selat Sunda, Selat Makassar, dan Laut Banda”. Menarik untuk melihat bagaimana ketiga objek tersebut kemungkinan dianggap sebagai informasi yang bersifat “ilmiah ilahiah”—meminjam istilah J.J.G. Jansen, “divine ‘scientific’ information”—yang kemudian dipaparkan penafsirannya oleh Kementerian Agama dalam Tafsir Ilmi-nya.

Tatkala membuka halaman pada subbab tersebut, dijumpai dua ayat Al-Qur’an yang dicantumkan oleh tim dari Kementerian Agama untuk memberikan eksposisi tentang Selat Sunda, Selat Makassar, dan Laut Banda. Dua ayat tersebut ialah Surah al-Isrā’/17: 44 (“langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah…”) dan al-Naml/27: 88 (“dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan…”) (Kementerian Agama RI, 2013: h.18).

Bacaan Lainnya

Secara metodologi penyusunan, Tafsir Ilmi tersebut disusun tematis berdasarkan sejumlah subtema yang dibendung dalam satu tema besar, dalam kasus ini terkait samudra. Artinya, ia disusun melalui pengumpulan beberapa ayat yang disinyalir mempunyai pesan kesatuan makna terkait tema samudra, setidaknya menurut tim penyusun tafsir itu sendiri. Hemat saya, Tafsir Ilmi yang digagas oleh Kementerian Agama ini bisa dimasukkan pada kategori tafsir tematik (al-mauḍû’ī) yang menggunakan pendekatan saintifik. Hanya saja, tematik berdasarkan apa pemilihan ayat tersebut dilakukan, ini tampaknya masih harus dipertanyakan.

Sebagaimana umumnya, tafsir tematik dilakukan dengan cara memperhatikan beberapa faktor internal ayat, seperti analisis kemiripan kosa kata antar ayat dan mengurutkan ayat berdasarkan urutan diturunkannya, dengan memperhatikan tempat turunnya apakah di Makkah atau Madinah (dalam artian lain memperhatikan konteks ayat turun/asbâb al-nuzūl ayat) (Ibn ‘Awad, 1428: h.26-27).

Pada halaman pengantar yang disampaikan oleh wakil ketua tim penyususnan Tafsir Ilmi Kemenerian Agama, Muchlis M. Hanafi, turut serta mencantumkan prinsip dasar dalam penyusunan tafsir tersebut. Dua prinsip dasar yang berkaitan dengan faktor internal ayat yang disebutkan sama halnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn ‘Awad di atas, yaitu memperhatikan arti dan kaidah kebahasaan, serta memperhatikan konteks turunnya ayat yang akan ditafsirkan.

Melihat pengaplikasian metodologi penafsirannya pada subbab “Selat Sunda, Selat Makassar, dan Laut Banda”, prinsip-prinsip dasar yang disebutkan di awal itu justru sama sekali tidak tampak. Eksposisinya dimulai dengan pengantar yang menyatakan bahwa semua yang ada di alam ini bertasbih pada Allah dan bergerak meskipun tak terlihat oleh mata manusia.  Diikuti oleh kutipan Surah al-Isrā’/17: 44.

Berikutnya dilanjutkan dengan penyebutan gunung sebagai salah satu contoh benda yang terus bergerak, sebagaimana diisyaratkan dalam Surah al-Naml/27: 88. Ayat inilah yang kemudian menjadi landasan dalam Tafsir Ilmi ini untuk menafsirkan lebih lanjut terkait Selat Sunda, Selat Makassar, dan Laut Banda.

Menilik Kembali Pemilihan Ayat dalam Tafsir Ilmi Kementerian Agama RI

Tulisan ini tidak akan mendiskusikan bagian analisis Oseanografi yang dipaparkan dalam Tafsir Ilmi Kementerian Agama—karena hal itu sudah dijabarkan langsung oleh para ilmuwan yang otoritatif di bidangnya, sebagaimana disebutkan dalam tim penyusunannya yang berkolaborasi dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)—melainkan yang menarik ialah bagaimana kemudian fakta-fakta ilmiah tersebut ditarik dan “dicocokologikan” dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dipilih oleh tim Kementerian Agama.

Pemilihan ayat pertama, Surah al-Isrā’/17: 44:

تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ وَلَـٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًۭا ٤٤

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (Surah al-Isrā’/17: 44)

Oleh tim Kementerian Agama, ayat di atas digunakan untuk mengklaim narasinya tentang pergerakan setiap yang ada di alam sebagai wujud ketundukan alam pada hukum Allah, yang mana salah satu contohnya ialah bertasbihnya seisi alam termasuk pergerakan gunung.

Jika melihat redaksi Surah al-Isrā’/17: 44 ini, tampaknya kata “tusabbih” yang maknanya adalah “bertasbih”, juga dikaitkan penafsirannya dengan makna “bergerak” oleh Kementerian Agama. Sementara jika melihat dalam al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, kata tasbih dalam ayat ini bermakna menguduskan atau menyucikan Allah SWT secara hakikat, hanya saja tidak diketahui secara pasti bagaimana cara bertasbihnya langit dan bumi tersebut. Sejalan dengan penggalan terakhir dalam redaksi ayatnya, “tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka” (Al-Asfahani, 1412: h. 393).

Penjelasan yang lebih rinci, misalnya sebagaimana yang ditemukan dalam penafsiran Quraish Shihab, menyatakan adanya perbedaan pendapat para ulama tafsir mengenai makna tasbih pada ayat tersebut, yakni dengan pemaknaan hakiki atau majasi. Bagi yang menganggapnya dengan pemaknaan hakiki, maka akan memaknai bahwa tujuh langit, bumi, dan seisinya memang betul bertasbih pada Allah dan dengan bentuk ucapan, sama halnya seperti malaikat dan manusia bertasbih. Namun bagi benda-benda tersebut, tasbihnya tidak harus dipahami dengan adanya suara yang terdengar atau dengan lafaz tertentu. (Shihab, 2021: h. 108)

Sementara yang berpegang pada pemaknaan majasi, memahami tasbihnya langit dan bumi dalam artian kepatuhan dan ketundukannya pada hukum Allah yang telah ditetapkan bagi benda-benda tersebut. Berdasarkan perdebatan makna tasbih di atas, baik secara hakiki maupun majasi, tidak ada pemaknaan yang mengarah pada pergerakan bumi. Terlebih lagi dimaknai secara spesifik tentang pergerakan gunung, sebagaimana yang dijelaskan dalam Tafsir Ilmi Kementerian Agama. (Shihab, 2021: h. 108).

Pemilihan ayat kedua, Surah al-Naml/27: 88:

وَتَرَى الۡجِبَالَ تَحۡسَبُهَا جَامِدَةً وَّهِىَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنۡعَ اللّٰهِ الَّذِىۡۤ اَتۡقَنَ كُلَّ شَىۡءٍ اِنَّهٗ خَبِيۡرٌۢ بِمَا تَفۡعَلُوۡنَ‏  ٨٨

“Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti atas apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Naml/27: 88)

Pemilihan ayat kedua ini kelanjutan atas penafsiran Kementerian Agama dari pemilihan ayat pertama, di mana langit, bumi, dan segala isinya bertasbih dan juga dimaknai bergerak. Sejalan dengan redaksi ayat kedua ini, yang menyatakan secara spesifik tentang gunung yang berjalan layaknya awan.

Meskipun yang terdapat dalam ayat tersebut hanyalah kata “jibāl” yang berarti “gunung-gunung”, Kementerian Agama secara tiba-tiba menafsirkannya dengan “bumi dan lempengan bumi”—tanpa adanya uraian yang memadai—yang selanjutnya pergerakan lempeng bumi itu akan menghasilkan selat-selat. Dalam redaksinya sebagai berikut:

“Tafsir al-Muntakhab (tanpa tahun: 2/271) menjelaskan makna ayat di atas sebagai berikut. ‘Wahai Rasul, engkau melihat gunung-gunung itu tetap di tempatnya dan engkau mengira mereka diam, padahal yang terjadi sesungguhnya mereka bergerak cepat laksana gerakan awan.’ Pergerakan-pergerakan bumi, lempengan bumi, dan semua benda-benda di atasnya tentu menimbulkan berbagai perubahan, baik pergerakan cepat, sedang, maupun pergerakan lambat yang tidak disadari oleh manusia…. Selat Sunda, Selat Makassar, dan Laut Banda merupakan beberapa contoh selat yang terbentuk akibat lempengan-lempengan yang bergerak.” (Kementerian Agama RI, 2013: h. 19).

Perdebatan terkait ayat ini juga telah diringkas oleh Quraish Shihab, dengan berdasarkan pada uraian yang disampaikan oleh Ibn ‘Asyur dan Tabataba’i. Terdapat dua pendapat; yang memaknai pergerakan gunung dalam konteks Hari Akhir dan yang memaknainya dalam konteks gunung di kehidupan saat ini (Shihab, 2021).

Ibn ‘Asyur condong pada pandangan yang menyatakan bahwa ayat ini berbicara terkait gunung dalam konteks saat ini, yaitu tentang pergerakan bumi yang mengelilingi matahari, sehingga terciptanya siang dan malam. Konon katanya, zaman dahulu orang-orang tidak mengetahui pergerakan bumi dan mempercayai bahwa mataharilah yang bergerak mengitari bumi. Penyebutan bumi menurut Ibn ‘Asyur dikarenakan gunung—sebagaimana redaksi asli Surah al-Naml/27: 88—merupakan bagian bumi yang menonjol dan melekat pada bumi. Sehingga ketika dikatakan gunung bergerak, secara otomatis bumi juga ikut bergerak.

Kemudian pendapat yang menyatakan pergerakan gunung dalam konteks Hari Akhir, disampaikan oleh Tabataba’i. Pendapat ini didasarkan pada posisi ayat ke-88 dari Surah al-Naml ini berada di antara ayat-ayat yang berbicara tentang Hari Kiamat. Ayat ke-87 berbicara tentang keadaan segala yang ada di langit dan bumi pada saat ditiupnya sangkakala:

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, maka terkejutlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri.” (Surah al-Naml/27: 87)

Ayat ke-89-90 berbicara tentang apa yang dibawa dan diperoleh oleh para makhluk setelah peniupan sangkakala:

“Barangsiapa membawa kebaikan, maka dia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka merasa aman dari kejutan (yang dahsyat) pada hari itu. Dan barangsiapa membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Kamu tidak diberi balasan, melainkan (setimpal) dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (Surah al-Naml/27: 89-90)

Sementara ayat ke-87 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, yakni keadaan gunung-gunung yang bergerak layaknya awan yang berpencar-pencar dan melayang-layang setelah ditiupnya sangkakala, bersamaan dengan bangkitnya manusia dari alam kubur. Demikian pendapat yang juga dikutip oleh Shihab dari al-Biqa’i yang senada dengan Tabataba’i.

Pendapat yang melihat ayat ini dalam konteks Hari Kiamat tampak lebih jelas alasannya dan lebih bisa diterima dibandingkan dengan pendapat pertama, yaitu dengan mempertimbangkan aspek-aspek internal ayat seperti munasabah ayat dan konteksnya. Hal ini juga telah didiskusikan oleh Jansen dalam karyanya yang dipublikasikan pada tahun 1974, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt.

Setelah diuraikan terkait dua ayat yang dipilih oleh Kementerian Agama dalam memberikan penafsiran tentang terbentuknya Selat Sunda, Selat Makassar, dan Laut Banda di atas, apakah kedua ayat ini masih koheren dengan analisis Oseanografis yang ingin disampaikan? Terdapat beberapa aspek penting yang diabaikan dalam pemilihan ayat-ayat Al-Qur’an pada Tafsir Ilmi sebagaimana disampaikan di awal. Hal ini bisa diatasi dengan pembentukan metodologi yang jelas dan prinsip dasar penafsiran yang aplikatif, bukan sekedar dicantumkan pada halaman pengantar tafsir.

Sumber Bacaan:

Al-Asfahani. Al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Qalam, 1412 H.

‘Awad, Zahir ibn. Dirâsât fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li Al-Qur’ân al-Karîm. Riyad, t.p., 1428 H.
Jansen, J.J.G. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt. Leiden: E.J. Brill, 1974.
Kementerian Agama RI. Tafsir Ilmi: Samudra dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2013.
Shihab, M. Quraish. Tafsîr al-Mishbâẖ: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Tangerang:  PT. Lentera Hati, 2021.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *