Kehadiran al-Qur’an sejak awal pada hakikatnya merupakan respon terhadap problematika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Arab saat itu di mana Nabi Saw hidup. Pada perkembangan selanjutnya Nabi berfungsi sebagai penafsir tunggal untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dipahami oleh para sahabat dan masyarakat sekitar yang secara tidak langsung Nabi berfungsi sebagai penafsir pertama al-Qur’an (Faqih, 2024).
Setelah Nabi wafat para Sahabat mengambil peran untuk menafsirkan al-Qur’an dan diteruskan ke masa Tabi’in hingga ulama-ulama klasik sampai era modern-kontemporer, yang dijadikan rujukan oleh masyarakat muslim saat ini. Pada hakikatnya al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw tidak sekedar sebagai bentuk mukzijat kerasulan apalagi hadiah nomenklatur, namun al-Qur’an merupakan inspirasi etik yang membebaskan dan cahaya yang menyinari kesadaran dalam tindakan sosial untuk membangun kehidupan manusia yang sejahtera, berkeadilan dan untuk mencapai kesetaraan.
Wacana dalam penafsiran al-Qur’an tidak seharusnya bertahan pada relasi antara teks dan mufassir, tetapi lebih dari itu ia harus dibenturkan secara langsung oleh realitas sosial dan kebudayaan manusia. Hal ini dikarenakan al-Qur’an sebagai episentrum dan juga pemegang legalitas tertinggi harus menampung sekaligus memecahkan solusi problematika yang terjadi dalam dimensi kehidupan manusia yang itu tidak bisa dikesampingkan dengan otoritas teks al-Qur’an.
Posisi al-Qur’an yang telah mengalami kodifikasi yang oleh Arkoun disebut dengan corpus resmi secara tidak langsung menuntut pembacaan terhadapnya sebagai bagian dari proses penggalian makna konseptual, sebab secara inheren teks al-Qur’an tidak akan pernah bisa berbicacara sendiri, ia justru perlu disuarakan dengan pembacaan yang selalu produktif (Mubin, 2019). Permasalahan sosial seperti kemiskinan, politik, ekonomi dan kemanusiaan yang terus berlangsung harus diselesaikan dengan merujuk pada teks kitab suci.
Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa agama jika diformulasikan menggunakan spirit teologi pembebasan maka akan memainkan peran penting sebagai praktik yang revolusioner (Engineer & Prihantoro, 1999). Hal ini bisa kita lihat dalam lembaran sejarah bahwa ketika Nabi masih hidup dan beberapa dekade sesudahnya, Islam menjadi kekuatan yang cukup revolusioner, Nabi yang sebagai utusan Allah mampu menggulirkan tantangan yang membahayakan bagi para saudagar-saudagar kaya di Mekkah.
Asghar lebih lanjut menjelaskan secara komprehensif dan kritis tentang Muhammad sang pembebas. Ia menganalisis kondisi yang terjadi pada saat itu sebelum hadirnya Nabi di tengah-tengah masyarakat Arab Pra-Islam. Ia membedah konteks sosio-kultural masyarakat Arab Pra-Islam dan secara objektif memberikan cara pandang baru kepada pembaca untuk melihat Nabi sebagai seorang yang bukan saja sebagai utusan tetapi juga aktivis yang secara terang-terangan turun ke lapangan dalam menjawab krisis ekonomi, politik juga sosial.
Untuk itu, penting untuk menggali kembali pemahaman ini, terutama melalui lensa teologi pembebasan. Teologi ini menekankan bahwa iman harus berkontribusi pada pembebasan dari berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan. Ini merupakan sebuah antitesa bagi para pengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang perlu dilirik dan menjadi perhatian khusus saat ini hingga masa mendatang.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Hassan Hanafi bahwa perlu adanya upaya kongkret dalam merumuskan teologi pembebasan dengan metode tafsir yang mencakup komitmen secara politik dan sosial, bahwa seorang mufasir harus memiliki keprihatinan dan kepedulian atas kondisi kontemporernya. Karena menurutnya seorang mufasir adalah revolusioner, reformis dan sebagai aktor sosial. Selain itu mufasir juga harus memiliki keberpihakan berupa kesadaran untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi. Dengan cara mengelompokkan ayat-ayat yang terkait pada satu tema dan dibaca secara seksama dan dipahami berkali-kali hingga orientasi umum dari ayat tersebut menjadi nyata (Hanafi, 2010).
Dalam konteks Indonesia, problem sosial yang terjadi pada konteks ekonomi sangat terlihat jelas, persoalan ini menuntut perhatian dengan cara menganalisis menggunakan kacamata sosial dan bukan dengan sudut pandang kerohanian yang abstrak, tetapi perlu ada suatu rumusan pemahaman keagamaan dan kemudian merefleksikan secara kritis dan melakukan tindakan perubahan itu sendiri. Dalam konteks situasi saat ini, di mana arus modernisasi yang berjalan begitu cepat dengan perubahan signifikan dalam sendi kehidupan yang turut membawa ketidakstabilan ekonomi, ketidakpastian politik dan kerumitan sosial yang semakin kompleks.
Hal itu telah menciptakan lingkungan yang sulit diprediksi di tengah masyarakat menuntut adanya religious perspective sebagai alternatif untuk membimbing moral dan spiritual umat Islam. Farid Esack dalam karyanya al-Qur’an, Liberation and Pluralism menunjukkan bagaimana al-Qur’an dapat diinterpretasikan dalam cara yang mendukung pluralisme agama, kesetaraan sosial, dan keadilan bagi semua kelompok tanpa memandang agama atau identitas tertentu (Farid, 2009). Problem-problem ini menunjukkan suatu lahan yang subur untuk menghasilkan satu penafsiran al-Qur’an yang relevan guna menjawab situasi sosial saat ini.
Dalam tinjauan ekonomi misalnya, kapitalisme sebagai biang kerok utama yang menyebabkan ketimpangan ekonomi yang semakin dalam di berbagai negara terutama di Indonesia telah menciptakan gap yang semakin jelas antara yang kaya dengan yang miskin menuntut pengadvokasian atas pembebasan ekonomi yang memihak pada kelas pekerja dan menolak akumulasi kekayaan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Pandangan ini sejalan dengan ajaran Islam yang menolak ketidakadilan ekonomi dan mendorong distribusi kekayaan yang lebih merata, sebagaimana tercermin dalam kewajiban zakat dan larangan riba.
Sebagaimana yang al-Qur’an pesankan bahwa “Harta rampasan Fa’i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”… (Qs. Al-Hasyir : 7).
Dalam karyanya Tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa makna “daulah” dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang didapatkan dengan cara yang bergantian. Menurutnya kekayaan berupa harta dan benda tersebut ada baiknya tidak hanya menjadi milik dan dikuasai oleh segelintir orang saja melainkan harus diedarkan agar dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Pesan dari ayat ini tidak hanya ditujukan kepada masyarakat Arab Pra-Islam yang membatalkan tradisi mereka mengenai kekuasaan pemimpin suku yang memperoleh seperempat dari pendapatan harta itu dan memberikan sisanya secara semena-mena, tetapi juga telah menjadi prinsip dasar ekonomi Islam dalam menjaga keseimbangan peredaran harta bagi seluruh masyarakat.
Hal ini sejalan dengan prinsip teologi pembebasan yang memperjuangkan keadilan sosial dan transformasi sosial untuk orang-orang yang miskin dan tertindas. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ali Syariati yang berjuang atas nama kemanusian untuk membebaskan rakyat dari rezim yang dipimpin oleh Syah Pahlevi yang otoriter dengan semangat revolusioner yang berlandaskan pada ketauhidan untuk mengangkat derajat dan menopang egalitarianisme antar sesama manusia.
Karena menurutnya tauhid adalah kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam semesta. Maka segala bentuk diskriminasi sosial seperti ketidakadilan, kezaliman dan penindasan harus dilawan dengan berlandaskan pada teologi pembebasan (Siti Syamsiyatul Ummah, 2020). Spirit semacam inilah yang diharapkan dari para pengkaji al-Qur’an untuk menjawab isu-isu sosial yang kian nyata pada hari-hari ini khususnya yang terjadi dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Referensi
Engineer, A. A., & Prihantoro, A. (1999). Islam dan teologi pembebasan. Pustaka Pelajar.
Faqih, M. W. (2024). Sejarah Perkembangan Tafsir.
Ḥanafī, Ḥasan. (2010). Dari akidah ke revolusi: Sikap kita terhadap tradisi lama (A. U. Ismail, Penerj.; Cetakan II). Paramadina ; Dian Rakyat.
Mubin, F. (2019). TAFSIR EMANSIPATORIS: PEMBUMIAN METODOLOGI TAFSIR PEMBEBASAN. Mumtaz: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, 3(1), 131–151. https://doi.org/10.36671/mumtaz.v3i1.37
Siti Syamsiyatul Ummah. (2020). Teologi Pembebasan Ali Syari’ati (Kajian Humanisme dalam Islam). Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 2(2), 52–75. https://doi.org/10.32939/ishlah.v2i2.8