Membangun Etos Keilmuan Qurani

inspiranusa.ruangdiri.com

Sudah menjadi hal yang natural bahwa setiap yang patah dan hilang harus berganti. Bahkan yang belum patah dan hilang namun sudah lawas pun seharusnya sudah menanti pengganti; paling tidak tunas untuk melanjutkan perjuangan, agar tidak terjadi kekosongan. Demikian pula dalam bidang keilmuan, khususnya keilmuan Islam, dan lebih khusus lagi keilmuan tafsir dan ulumul Quran. 

Indonesia memiliki Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M. A. dengan Tafsir Al-Misbah-nya. Lalu ada Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M. A. dengan Argumen Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an-nya, dan juga ada Prof. Dr. M. Darwis Hude, M. Si. dengan karyanya, Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia dalam Al-Qur’an. Dan masih banyak lagi yang masih aktif hingga kini. Namun mereka menantikan penerus karena perjuangan untuk memahami Al-Qur’an adalah perjuangan panjang yang panjangnya jauh melampaui usia manusia itu sendiri.

Bacaan Lainnya

Karena kenyataan di atas itulah, maka segenap upaya harus dilakukan; upaya yang harus menyesuaikan diri dengan zaman. Karya lewat buku dan kitab tentu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun itu tidak cukup karena kini kita hidup di era digital yang tidak hanya membutuhkan buku-buku yang berat untuk dibacara karena membutuhkan waktu luang, tetapi juga artikel-artikel ringan namun bermakna tentang Al-Qur’an yang bisa dinikmati sambil minum kopi tetapi tetap memberi arti hidup. 

Laman ibihtafsir.id diharapkan menjadi salah satu rumah sederhana bagi para calon penerus pemerhati tafsir dan ulumul Quran untuk mengekspresikan diri secara sederhana di antara kesibukan-kesibukan membuat makalah untuk jurnal ilmiah atau bahkan karya ilmiah dalam bentuk buku. 

Pada saatnya nanti akan lahir generasi baru penafsir dan pemerhati kajian Al-Qur’an yang menggantikan atau melengkapi tafsir generasi sebelumnya yang menurut hemat saya saat ini beliau-beliau para mufasir hebat dan mufasir mulia. Mereka pun sesungguhnya sangat mendambakan akan lahirnya tafsir yang lebih dekat lagi kepada kekinian serta mampu menjawab bukan saja hal-hal fundamental di tataran strategis, tetapi mampu pula menjawab hal-hal keseharian yang ketika disampaikan lebih membekas di jiwa sehingga tuntunannya dapat diimplementasikan dengan mudah sesaat setelah tafsirnya tersebut sampai dan dibaca. Tafsir yang berupa tuntunan-tuntunan tersebut tidak saja penting bagi generasi milenial yang membutuhkan kepraktisan dalam kesehariannya, tetapi penting juga bagi masyarakat umum yang juga membutuhkan tuntunan-tuntunan praktis dalam kehidupan kesehariannya.

Laman ibihtafsir.id ini diharapkan menjadi rumah bagi para ilmuwan cendekiawan penafsir pemikir kritis inovator yang kemudian ditaman kebun rumahnya bersama-sama menanam menyemai merawat kemudian menuai panen berupa karya prestasi anak bangsa yang diharapkan manfaatnya langsung bisa dirasakan untuk turut serta membangun peradaban bangsa. Kita sudah belajar dan melihat tentang perjalanan sejarah peradaban bangsa-bangs di dunia, tidak ada satupun bangsa yang mampu membangun peradabannya tanpa didukung oleh tradisi yangg mendasarinya. Tradisi bisa berdiri sendiri membangun dirinya sendiri, namun peradaban hanya bisa terbangun oleh kumpulan tradisi yg melingkupinya. Kita sudah menyaksikan peradaban Muslim di Eropa yang seakan hilang tidak berbekas, padahal dari kejayaan Muslim tersebut, Eropa bisa keluar dari zaman kegelapannya. 

Menarik melihat fenomena Drama Korea (Drakor) dan grup musik BTS yang sedang hit di dunia. Tradisi mereka sangat sederhana dibandingkan dengan kekayaan tradisi yang dimiliki bangsa kita. Ternyata di balik gemerlapnya dunia hiburan tersebut, selama beberapa dekade sebelumnya mereka bekerja melakukan kajian-kajian dan melakukan pembelajaran, membuat perencanaan-perencanaan dan mereka melakukan tafsir baru atas arah misi visi nasional yang hendak diraihnya. Kerja kerasnya terseabut menjadikan mereka mampu mengemas produk entertainmen dengan mengusung tradisi bangsanya sendiri sebagaimana apa yang kita lihat sekarang ini. 

Dalam Islam, kerja keras dan passion itulah sesungguhnya yang kita kenal dengan amal shalih, sebagaiman sering disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan sebutan aamanuu wa ‘amilus shaalihaat: orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Indonesia sampai saat ini di bidang perdagangan komoditi, sebagian besar baru sebatas mampu menjual bahan mentah sedangkan nilai tambahnya dinikmati oleh negara yang mampu mengemasnya dengan baik. Hilirisasi sesungguhnya sama saja dengan nilai tambah. Jika kita kembali ke hal passion dan amal shalih, maka pada industri kita pun bisnis modelnya harus ditambahkan dengan kemampuan mengemas. Kata shaalih di dalam bahasa Arab berarti baik dan berguna. Pengemasan yang baik dan berguna juga adalah implementasi dari amal shalih.

Rasulullah SAW adalah personifikasi dari amal shalih dalam hal pengemasan yang sempurna yang menyukseskan penyebaran Islam hingga kini. Ajaran Islam dikemas dalam dua bentuk, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Keduanya dituturkan dan dikemas dalam bahasa yang tiada taranya yang membuat para penentangnya pun mengakui keindahannya. Lalu sosok Rasulullah SAW pun dikemas dalam kesederhanaan, kelembutan, kesediaan untuk mendengar, keberanian, ketegasan, pengayoman, pembimbingan, dan seterusnya yang membuat beliau disebut khuluqin ‘azhiim, akhlak yang agung. Hanya saja yang perlu menjadi catatan adalah bahwa kemasan yang dimaksud di sini adalah kemasan yang sudah terbingkai dengan aamanuu (iman), jadi bukan kemasan yang semata-mata profit. Itulah makna dari rangkaian kata aamanuu wa ‘amilush shaalihaat.

‘Amilush shaalihaat yang pas untuk pemerhati, pemikir, dan penikmat tafsir dan ulumul Quran adalah kemampuan untuk mengemas pemikiran dan ide-ide dalam bentuk tulisan yang menarik namun berisi. Tentu saja tujuannya adalah untuk menegakkan akidah, syariat, dan akhlak. Kunci untuk itu adalah kehandalan dalam penguasaan metodologi penafisiran, yaitu Ulumul Quran, pemahaman yang baik tentang perkembangan zaman, dan kemampuan untuk menyajikannya dalam bentuk tulisan yang menarik.

Allah SWT berfirman dalam QS. Ali ‘Imran/3: 18

شَهِدَ  اللّٰهُ  اَنَّهٗ  لَاۤ  اِلٰهَ  اِلَّا  هُوَ   ۙ وَا لْمَلٰٓئِكَةُ  وَاُ ولُوا  الْعِلْمِ  قَآئِمًا  بِۢا لْقِسْطِ   ۗ لَاۤ  اِلٰهَ  اِلَّا  هُوَ  الْعَزِ يْزُ  الْحَكِيْمُ 

“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” 

Persaksian tentang keesaan Allah SWT adalah persaksian yang dilakukan oleh Allah SWT sendiri, lalu para Malaikat, dan kemudian orang-orang yang berilmu. Karena itu, persaksian itu sendiri adalah hal yang sudah mulia karena dilakukan oleh Allah SWT dan juga dilakukan oleh para Malaikat. Namun ayat tersebut memberikan rambu-rambu bagi para ilmuwan dengan sangat hebat yaitu lewat istilah qaa-imam bil-qisth lalu ditambah dengan huwal-‘aziizul-hakiim sebagai adaptasi terhadap sifat-sifat Allah SWT.

Persaksian adalah kata lain dari pernyataan, tesis, pendapat, tulisan, dan seterusnya. Sebuah pendapat haruslah qaa-imam bil-qisth, yaitu dalam rangka penegakan keadilan dan meruntuhkan ketidakadilan, bahkan ketidakadilan yang mengatasnamakan Tuhan. Namun agar pernyataan seorang ilmuwan bisa kokoh (‘aziiz), maka harus disertai metodologi yang solid dan permenungan yang dalam. Lalu puncak dari segala upaya para ilmuwan setelah menegakkan keadilan lewat argumen yang kokoh adalah agar menjadi hakiim. Itulah yang dimaksud dengan mengadaptasi sifat-sifat Allah SWT yang di ayat di atas disebutkan dengan laa ilaaha illaa huwal-‘aziizul-hakiim.

Persaksian tentu membutuhkan setidaknya dua hal penting, yaitu eyesight atau pandangan mata dan atau penguasaan Ilmu. Saksi ahli harus kompeten pada bidangnya sehingga kesaksiannya kredibel di depan majelis sidang kehidupan. Ayat ini menambahkan tentang qisth atau adil. Orang berilmu harus adil dalam menyampaikan kebenaran dan juga menerima kebenaran dari manapun datangnya. Orang berilmu bukan pencari pembenaran tetapi pencari kebenaran. Kata ‘aziiz pada ayat di atas bermakna kokoh dan kuat. Laman ibihtafsir.id seyogyanya memuat artikel, jurnal, tesis, dan tafsir yang dibuat dengan argumen kokoh dengan metodologi yang kuat. 

Akhir ayat di atas ditutup dengan kata hakiim yg dapat diartikan hikmah atau bijaksana, yaitu suatu tingkatan tertinggi dari pencapaian ilmu. Pintar dan cerdas belum tentu bijaksana, namun bijaksana tentu pintar dan cerdas dan ketetapan kebijakannya dibangun di atas fondasi keilmuan kokoh dengan nilai kebenaran yang diyakini  mendekati presisi. Kedua sifat yaitu ‘aziiz dan hakiim sesungguhnya menunjuk kepada sifat-sifat Allah, namun bukankah manusia di batas kemampuannya dituntut untuk meniru sifat-sifat Allah SWT?[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *