Permasalahan melihat Allah di akhirat menjadi perdebatan panjang di kalangan umat Islam. Kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat, baik di dunia maupun di akhirat. Alasannya adalah apabila zat Allah dapat dilihat berarti zat-Nya sama dengan zat yang lain padahal zat Allah tidak berada pada arah tertentu, tidak mempunyai tempat, tidak berbentuk, tidak mempunyai rupa, tidak terdiri dari materi, tidak menempati ruang, tidak berpindah-pindah, tidak dapat dibilang, tidak berubah, dan tidak terpengaruh. Oleh sebab itu, menurut mereka ayat-ayat mutasyabbihat wajib ditakwilkan.
Beda halnya dengan ahlussunnah wal jama’ah, mereka berpendapat bahwa kelak Allah dapat dilihat di surga. Alasannya adalah Allah itu ada dan setiap yang ada dapat dilihat. Menurut Imam Hasan al-Asy’ari, hakikat ru`yat (penglihatan) ada dua. Pertama, penglihatan itu adalah pengetahuan khusus yakni khusus melihat yang ada dan bukan yang tidak ada. Kedua, penglihatan itu adalah temuan di belakang ilmu, bukan refleksi dari yang ditemui dan bukan pula pengaruh dari yang ditemui.
Perbedaan pandangan tersebut berdasarkan perbedaan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, misalkan dalam menafsirkan QS. Al-Qiyamah/75:22-23.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ {22} إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ {23}
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.”
Ulama` ahlussunnah wal jama’ah menjelaskan bahwa ayat di atas sebagai dalil orang mukmin akan melihat Allah di hari kiamat. Melihat tanpa disamakan dengan melihat makhluk, tanpa takyîf, dan tanpa batas, sebagaimana yang sudah maklum bahwa Allah tidak ada yang seperti sepertinya. Hal ini pun dikuatkan dengan pendapat Ibnu al-Anbâriy, bahwa penetapan ru`yah (melihat) karena melihat berkaitan dengan wajah, dan di-muta’addi-kan dengan huruf إلى, sehingga menunjukkan makna melihat dengan mata.
Sedangkan Mu’tazilah menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan:
إِنَّهُمْ لَايَتَوَقَّعُوْنَ النِّعْمَةَ وَالْكَرَامَةَ إِلَّا مِنْ رَبِّهِمْ
“Mereka hanya berharap kenikmatan dan kemurahan dari Tuhan mereka.” Sehingga makna lengkap kedua ayat itu adalah:
“Pada hari itu wajah-wajah manusia berseri. Mereka (wajah-wajah) itu hanya berharap kepada kenikmatan dan kemurahan Tuhannya”
Al-Zamakhsyari menafsirkan kata نَاظِرَةٌ dengan makna تَتَوَقَّعُ sejalan dengan makna نَظَرَ yang mengandung makna hakiki dan majazi. Makna ini sangat popular dalam bahasa Arab seperti ungkapan:
(أَنَا إِلَى فُلَانٍ نَاظِرٌ مَا يَصْنَعُ بِىْ ( تُرِيْدُ مَعْنَى التَّوَقُّعِ وَالرَّجَاءِ
“Saya hanya berharap kepada seseorang, apa yang akan ia perbuat kepadaku”.
Sebagian ulama mu’tazilah juga menafsirkan kata إلى pada ayat di atas bukanlah termasuk huruf jar, akan tetapi merupakan bentuk mufrad dari kata الآلاء, sehingga maknanya: menunggu atau mengharapkan nikmat Tuhannya, maka kalimatnya tepat: “نَظَرْتُكَ” diartikan “انْتَظَرْتُكَ”.
Pendapat tersebut dibantah oleh al-Azhari, menurutnya kata نَظَرَ tidak mungkin bermakna اِنْتَظَرَ. Jika orang berkata: نَظَرْتُ اِلَى فُلَانٍ, tidak ada makna selain melihat dengan mata, jika ingin maknanya انْتَظَرَ, maka kalimat yang tepat adalah: نَظَرْتُهُ. Al-Halabiy juga mengutip pernyataan Sarawiyyah, bahwa orang-orang Arab Makkah menolak argumen yang mengatakan bahwa نَاظِرَةٌ pada Surat al-Qiyâmah tersebut berartikan انْتَظَرَ. Disebabkan jika ada huruf “اِلَى” pada kata “نَظَرَ”, itu menunjukkan makna melihat dengan mata, bukan maknanya menunggu atau berharap. Maka salah jika kita ucapkan kalimat: انْتَظَرْتُ اِلَى زَيْدٍ, tetapi yang tepat adalah نَظَرْتُ اِلَى زَيْدٍ. Sehingga siapa yang mengartikan “نَاظِرَةٌ” dengan makna menunggu atau berharap, jelas-jelas dia melakukan kesalahan; baik dari segi makna maupun i’rab, dan tentu meletakkan kalimat bukan pada tempatnya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh tim Lajnah ‘Ulama di Al-Azhar, bahwa nazhara bermakna ru`yah. Wajah-wajah orang mukmin akan melihat Tuhannya pada hari kiamat tanpa batasan sifat, bentuk, jarak. Maksudnya adalah orang-orang mukmin akan melihat dengan mata kepala mereka pada hari kiamat.
Penafsiran lain bisa ditemukan pada QS. Al-An’am/6:103.
لاَتُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ {103}
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.”
Al-Zamakhsyari memulai menafsirkan dengan menjelaskan makna al-bashar. Menurutnya al–bashar berarti esensi lembut/lunak yang Allah letakkan pada indera penglihatan, dengannya bisa melihat segala sesuatu. Sehingga maknanya adalah indera penglihatan tidak dapat menjangkau dan melihat-Nya, karena Allah Mahatinggi yang melihat dengan zat-Nya. Oleh karena itu, jika penglihatan dihubungkan dengan bentuk aslinya (mata), maka otomatis akan sama dengan makhluk-Nya (tajsîm).
Sedangkan menurut ahlussunnah wal jama’ah kelak di hari kiamat Allah bisa dilihat, dengan mengutip sejumlah riwayat shahih dan mutawâtir, yang redaksinya berbeda-beda, mereka memilah antara melihat Allah di dunia dan melihat-Nya di akhirat, begitu pula mereka memilah antara makna idrâk dan ru`yah. Idrâk mengandung makna: meliputi sesuatu secara mendalam dan semua aspek, sedangkan ru`yah tidak mengharuskan orang yang melihat itu meliputi segala aspek dari apa yang dilihatnya. Ibnu ‘Athiyyah menafsirkan bahwa makna Idrâk disini bukan melihat dengan mata kepala, tetapi merupakan makna pinjaman (isti’arah) yang mana orang mukmin akan melihat Allah dengan indera keenam yang akan diciptakan pada hari kiamat. Dan ayat ini dikhususkan kepada orang-orang kafir yaitu mereka tidak bisa melihat Allah karena tertutupi (mahjûb).
Hal ini diterangkan oleh banyak riwayat dan pendapat di kalangan ulama ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri. Diantaranya adalah pendapat Ibnu ‘Abbas yang mengatakan: “Tidaklah Allah Swt. dilihat di dunia, sedangkan orang mukmin akan melihat-Nya kelak di akhirat. Ibnu ‘Abbas juga mengatakan bahwa melihat Allah tidak bisa dijangkau oleh penglihatan di dunia (mata kepala), akan tetapi Allah akan menciptakan bagi siapa yang Dia kehendaki kemuliaannya sebuah penglihatan dan kemampuan (menggapai-Nya), sebagaimana yang Allah lakukan terhadap Nabi Muhammad Saw.
Ada perbedaan pendapat mengenai apakah Nabi Muhammad Saw. melihat Allah dengan mata kepala atau tidak. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. melihat Tuhannya dengan matanya, ini adalah pendapat yang masyhur. Dalilnya adalah Al-Qur’an Surat An-Najm/53:11 (مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَأَى). Diceritakan juga oleh Abdullah bin Harits, suatu ketika Ibnu ‘Abbas dan Ka’ab berkumpul, maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Adapun kami dari Bani Hasyim berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. melihat Tuhannya dua kali.” Kemudian Ibnu ‘Abbas melanjutkan: “Apakah kalian tidak bangga gelar khalîlullah diberikan kepada Nabi Ibrahim as., kalâmullah kepada Nabi Musa as., dan Ru`yatullah kepada Nabi Muhammad Saw.? Ka’ab pun langsung takbir dan berkata: “Sesungguhnya Allah membagi ru`yah dan kalam antara Nabi Muhammad Saw. dan Nabi Musa as., maka Nabi Musa as. berbicara dengan Allah, sedangkan Nabi Muhammad Saw. melihat Allah. Pendapat inilah yang kemudian menjadi pegangan Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sebagian dari yang lain, diantaranya Abu al-‘Aliyah, al-Quraiyzhi, Robi’ bin Anas dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. melihat Allah dengan mata hatinya.
Dapat disimpulkan, menurut ulama ahlussunnah wal jama’ah, Allah kelak dapat dilihat bagi siapa yang Dia kehendaki, tentu terserah Allah bagaimana dan seperti apa nantinya. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang terpilih.[]
Editor: MAY
Sumber:
M. Agus Yusron, (2021). Memahami Makna Ayat Kalam; Pendekatan Semantik al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyyah Terhadap Makna Ayat Kalam,