Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919, ketika anak benua Indo-Pakistan masih belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, sebuah negara yang kini terletak di Barat Laut Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan sederetan pemikir liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Amir Ali, dan Sir Muhammad Iqbal. Dengan latar sosio-historis semacam ini, tidak mengherankan jika Rahman berkembang menjadi seorang pemikir liberal dan radikal dalam peta pembaharuan pemikiran Islam.
Rahman dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang bercorak rasionalistik dibandingkan dengan tiga mazhab lainnya. Meskipun dibesarkan di kalangan tradisionalis bermazhab Hanafi, Rahman semenjak umur belasan tahun telah melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit di dalam batas-batas mazhab sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas.
Ia memulai pendidikannya secara formal di Madrasah. Di samping itu, ia juga menerima pelajaran keagamaan dari ayahnya sendiri, seorang kyai yang berasal dari Doubun, sebuah madrasah tradisional paling bergengsi di anak Benua Indo-Pakistan. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Rahman meneruskan studinya di departemen ketimuran Universitas Punjab pada tahun 1942. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademiknya di lembaga tersebut hingga mendapat gelar Master (MA) dalam bidang Sastra Arab. Kemudian ia melanjutkan studinya dalam program Ph.D. di Lahore. Akan tetapi, karena kekecewaannya atas mutu pendidikan Islam di India tersebut, ia memutuskan untuk melanjutkan studi doktoralnya di Inggris yakni Oxford University. Di universitas tersebut, selain mengikuti kuliah-kuliah formal, ia giat mempelajari bahasa-bahasa Barat (Inggris, Prancis, dan Jerman). Dengan keluasan pengetahuan bahasa yang dikuasainya, ia dapat memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studi-studi Islam yang ditulis oleh para orientalis dengan penuh kritis.Kemudian pada tahun 1950, Rahman berhasil merampungkan studi doktoralnya dengan mengajukan sebuah disertasi tentang Ibn Sina. Setelah mapan pengetahuannya dan diakui keilmuannya di tingkat Internasional, ia dipercaya untuk mengajar di Durham University Inggris, Mc Gill University Kanada sebagai asisten profesor filsafat.
Menjelang kepulangannya ke Pakistan, rasa cemas atas dirinya sebagai seorang sarjana keislaman yang terdidik di Barat akan dikucilkan masih menghantui pikirannya. Namun demikian, pada tahun 60-an, Rahman memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, Pakistan, dengan kesiapan menanggung segala resiko yang akan muncul. Tahun 1962, ia diangkat oleh Ayyub Khan sebagai direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan. Dengan pendidikan formalnya di Barat, pengalaman mengajar di sarang Orientalisme ditambah dengan latar sosio-historis dan liberalisme Indo-Pakistan, Rahman dapat tumbuh dan kembali ke negeri asalnya sebagai seorang sarjana dan pemikir modernis yang bebas dan radikal. Ia sangat kritis terhadap pemikiran keagamaan para modernis pendahulunya, dan juga terhadap kalangan tradisionalis fundamentalis. Saat itu kontroversi antara kubu modernis dengan tradisionalis fundamentalis sangat menyemarak. Situasi demikian tampaknya kondusif bagi pengembangan pemikiran keagamaannya. Namun demikian, ternyata, realitasnya berbalik, Rahman yang mencoba memberikan kontribusi dan respon terhadap berbagai kontroversi tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif. Bahkan justru menyebabkan kebencian kaum
Tradisionalis fundamentalis. Akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke Chicago. Di tempat barunya itulah, Rahman dapat mengaktualisasikan segala kemampuan intelektualnya baik atas kajian normatif maupun historis.
Dari paparan biografi di atas, terdapat beberapa hal yang harus dikaji lebih jauh, terutama yang menyangkut sebab-sebab andilnya Rahman dalam dialektika pembaharuan pemikiran keislaman dengan menawarkan sebuah gerbong Neomodernisme. Dalam gerbong tersebut Rahman mengagendakan dua program besar dalam rangka mengembangkan pikiran umat Islam, sekaligus menjaganya agar tetap mengacu pada ideal moral al-Qur’an dan substansi tradisi aktual Nabi.
Dalam gerakannya, Rahman menggunakan pendekatan kritis dan dialektis. Rahman ingin secara kritis mempelajari tradisi Islam dan bagaimana tradisi itu dibentuk, yakni oleh lingkungan di mana al-Qur’an diwahyukan dan perkembangan-perkembangannya yang terjadi. Dalam bentangan pemikiran keislaman, Rahman menyadari bahwa pendekatan tersebut niscaya untuk dilakukan karena gagalnya tradisi menghadapi tantangan modernitas dewasa ini. Dalam konteks ini, Rahman menyusun dua agenda besar dalam gerakannya, yaitu mengkritisi cara pemahaman umat Islam terhadap hadis dan kemudian menyusun sistematika pemahaman terhadap al-Qur’an secara lebih komprehenship.
Secara historis, arus pemikiran keislaman dikuasai oleh dua kecenderungan, yaitu pertama, kecenderungan mensakralkan teks serta tradisi, dan kedua, kecenderungan untuk mendekontruksi pensakralan tersebut. Kecenderungan yang pertama berefek pada munculnya pembekuan, kejumudan, dan purifikasi ajaran Islam. Oleh karena itu, pensakralan teks dan tradisi tersebut menyebabkan meredupnya cahaya dan dinamika wacana Islam, yang pada akhirnya semakin mengeras ketika terjadi intervensi ideologis dari penguasa yang memihak secara ekstrem pada suatu paham tertentu. Kondisi semacam ini yang diamati oleh Rahamn di Pakistan, di samping datangnya paradigma baru pemikiran Barat yang mengkritik secara habis-habisan terhadap seluruh sendi ajaran Islam.
Realitas di atas mengusik kesadaran Rahman untuk memposisikan diri pada kecenderungan yang kedua. Rahman mulai mencoba mengkritik tradisi dan merespons tantangan modernitas tanpa larut pada pemikiran Barat. Namun demikian, Rahman tetap merujuk pada tradisi tanpa harus menjadi tradisionalis. Bahkan Rahman memandang bahwa tanpa tradisi umat Islam tidak akan memahami sumber dari segala sumber hukum. Dari konsepsinya ini, Rahman secara ilmiah, paling tidak, mengkritisi tiga komunitas, pertama, kalangan tradisionalis yang berupaya menghidupkan kembali warisan kehidupan keagamaannya, kedua, kalangan fundamentalis, yang menampilkan Islam terikat secara literal pada akar spiritualnya dan antagonis dengan Barat, dan ketiga, kalangan modernis yang menyuguhkan sebuah Islam bersandar pada akar spiritualitasnya, namun juga tampak kebarat-baratan.
Dari ketiga komunitas di atas tampaknya Rahman berharap dapat menggabungkan kelompok yang pertama tanpa menjadi tradisionalis dengan komunitas yang ketiga tanpa terbaratkan. Gabungan dari dua kelompok di atas dikenal dengan Neomodernisme.
Neomodernisme yang ditawarkan Rahman bertitik tolak pada ide pembaharuan pemikiran dan mencoba membongkar doktrin-doktrin Islam dengan bersikap kritis terhadap Barat, juga warisan-warisan kesejarahannya sendiri secara objektif. Oleh karena itu, Rahman menganggap bahwa suatu bentuk pengembangan pemikiran Islam yang tidak berakar dalam sejarah (pemikiran klasik) atau luput dari kemampuan menelusuri benang merah kesinambungannya dengan masa lalu adalah tidak autentik. Karenanya, akan tidak mampu mengembangakan dinamika internalnya serta tidak sanggup bertahan, yang akhirnya kehilangan energi apresiasinya dan dengan begitu terancam lekas padam. Di samping itu mengabaikan sejarah masa lalu tidak saja mengisyaratkan akan penafian eksistentsi sejarah itu sendiri, tetapi juga mengakibatkan pengingkaran diajukannya penanganan serius tentang eksistensi diri dan sistem keyakinan sendiri dalam kerangka sejarah masa kini.
Kekhawatiran Rahman hanya satu, yakni bahwa suatu pengungkapan pikiran Islam tanpa akar sejarahnya akan mudah terbelokkan ke arah sekedar usaha pencarian legitimasi dan rasionalisasi keagamaan bagi suatu expediency (kegunaan) sosial, politik, dan ekonomi.
Sikap kritis Rahman tersebut ditunjukkan kepada kaum modernis Islam klasik. Rahman melihat agaknya kaum Modernis Islam klasik, yang kebanyakan di berbagai negara terdiri dari mereka yang berlatar belakang sekuler, dalam pengungkapan pikiran mereka sebenarnya secara tak sadar terjerembab dalam kerangka dan persyaratan pemikiran Barat. Oleh karena itu, mereka tidak saja kurang kreatif, tetapi juga tidak jarang bersemangat apologetik. Kurangnya perspektif sejarah pemikiran masa lalu membuat modernisme klasik mandul dan menjadi tawanan tak berkutik dari lingkungan waktu dan tempat immediate-nya, yakni kekinian dan kesinian.
Rahman juga mengkritisi pemikiran kaum fundamentalis yang menampilkan Islam terikat secara literal pada akar spiritualnya. Dengan metode yang dikembangkannya, ia melihat bahwa kaum fundamentalis gagal membedakan antara doktrin dengan tradisi yang islami15 yang murni historis. Bahkan tradisi diterimanya sebagai otoritas masa lampau yang tertutup dan tak bisa dipertanyakan. Oleh karenanya, menurut Rahman, harus dibedakan antara yang Islam normatif dan Islam historis. Pembedaan ini akan mampu memberi kontribusi bagi tradisi dalam menjawab tantangan modernitas.
Kegagalan umat Islam merespon tantangan modernitas, menurut Rahman, disebabkan oleh keterpakuannya pada masa lampau (tradisi). Tradisi dianggap sesuatu yang final dan tertutup bagi pengkajian. Sementara di sisi lain umat Islam dihadapkan pada perkembangan zaman modern yang notabene merupakan produk Barat. Oleh karena itu, Rahman mengajak umat Islam untuk kembali menengok sejarah masa lampau. Dalam ajakannya, Rahman terlihat ingin memperoleh secara autentik hakekat dan substansi ajaran Islam dengan merujuk pada kondisi objektif masyarakat Arab dan sekitar Makkah pada saat Islam diturunkan.
Untuk tujuan tersebut, Rahman mulai menggulirkan konsepnya, yakni, pertama, membedakan sunnah dengan hadis, dan kedua, membatasinya secara transparans antara yang ideal moral (sunnah konseptual) dengan yang murni hukum (teks legal spesifik atau sunnah literal) Al-Qur’an. Dalam merealisasikan pemikirannya, Rahman memformulasikan metodologi tafsir Al-Qur’an dengan model gerakan ganda (double movement) sebagai bentuk aplikasinya.
Satu hal yang sangat ditekankan Rahman adalah keniscayaan melacak sejarah masa lalu (pendekatan historis) dan menangkap sosio moral masyarakat. Pendekatan ini ditujukan dalam rangka mengetahui secara autentik substansi ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1994.
Berton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Mouleman, JH. (ed.), Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme. LKiS, Yogyakarta, 1996.Ozdenir, Ibrahim. “Tradisi Islam dalam Pandangan Fazlur Rahman,” dalam JurnalIslamika, No. 2 Oktober-Desember Tahun 1993.