Gadamer dan Hermeneutik Filosofis
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Ia belajar filsafat di Universitas di kota asalnya. Ia pernah belajar filsafat kepada Nikolai Hartman dan Martin Heideger, serta pernah mengikuti kuliah pada Rudolf Bultman, seorang teolog protestan yang cukup terkenal. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928.
Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis. Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaan. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca dan merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis:
Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks.
Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan.
Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca.
Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.
Konsep Hermeneutika Gadamer
Adapun konsep hermeneutika Gadamer antara lain: pertama, paham tentang pengetahuan. Kedua, sumber dan hakikat pengetahuan. Menurut Gadamer, sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya semua sistem pengetahuan. Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horison kehidupan di masa depan. Bahasa memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas setempat. Oleh karena itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau pemikiran suatu masyarakat harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka. Singkatnya, kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks.
Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer harus dikomunikasikan sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut muncul. Seorang pembaca teks harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Gadamer berpendapat bahwa memahami tidak selalu berarti mengatasi keasingan, dalam hal ini isi pikiran pengarang-dengan interpretasi. Mengapa? Karena kita sudah selalu bergerak kedalam pemahaman.
Gadamer berpendapat bahwa hermeneutika bukan hanya sekedar menyangkut persoalan metodologi penafsiran, melainkan penafsiran yang bersifat ontologi, yaitu bahwa understanding itu sendiri merupakan the way of being dari manusia. Jadi baginya lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasi sebuah teks, baik teks keagamaan maupun lainnya seperti seni dan sejarah. Dengan demikian, suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh adanya kesesuaian antara konsep teoritis dan realitas objektif (sebagaimana dilakukan oleh kalangan positivisme dengan dalih mencari objektivitas), tetapi oleh tersingkapnya esensi atau hakikat sesuatu. Dan, satu- satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia.
Relasi Hermenetika dengan Tafsir
Dari uraian di atas sekilas secara etimologis nampaknya tidak ada perbedaan antara hermeneutika dengan penafsiran. Atau dengan ungkapan lain hermeneutika adalah merupakan seni berintrepretasi. Hermeneutika sebagai bentuk upaya penafsiran dan memberi makna atas sebuah teks, maka inti dari pemikiran hermeneutika Gadamer bertumpu pada konsep “memahami”.
Bila kita merujuk kepada sejumlah kitab-kitab tafsir nampaknya para mufassir juga menggunakan teori hermeneutika dalam penafsiran mereka, meskipun istilah yang mereka gunakan bukan hermeneutika. Satu contoh karya tafsir al-Baidhawi, “Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil “. Metode hermenutika al-Baidhawy, dan para mufassir pada umumnya adalah apa yang disebut dengan internatal relationship (hubungan internal) yaitu hubungan internal dalam al-Quran, atau dalam terminologi tafsir disebut dengan al-Quran yufassiru ba’dhahu ba’dhan.
Dalam hal ini sebuah teks al-Quran misalnya dapat kita lihat dari tiga perspektif, yaitu perspektif teologis, filsafat linguistik dan mistikal. Dari sudut pandang teologi al-Quran adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku dimana dan kapan saja, sehingga dengan begitu yang namanya al-Quran tidak mungkin bisa dirubah dan diterjemahkan. Begitu ia diterjemahkan dan ditafsirkan maka ia bukan lagi al-Quran. Namun dari sudut historis dan filsafat linguistik, begitu kalam Tuhan membumi dan sekarang malah menjelma kedalam teks, maka al-Quran tidak bisa mengelak untuk diperlakukan sebagai obyek kajian hermeneutik.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.
- Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.
Kau, Sofyan A.P. “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsir.” dalam Jurnal Farabi, Vol 11. No. 2 Tahun 2014.
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: PT Kanisius, 1999. Thalib, Abdullah A. Filsafat Hermeneutika dan Semiotika. Sulawesi Tengah: Penerbit LPP-Mitra Edukasi. 2018.