Pada abad ke-20 ini westernisasi bukan hanya terpaut oleh 3F (food, fashion, and film) tetapi juga 1T (thought) yang mempengaruhi cara berpikir kaum muslimin. Di zaman kolonialisme klasik hal seperti ini tidak pernah terjadi. Karena ketika itu mereka berfokus pada sumber daya alam dunia Islam dan mereka tidak ada yang berani mencampuri urusan keagamaan yang sangat personal. Di zaman itu tidak ada cendekiawan yang mengkritik Al-Qur`an. Sekarang di zaman globalisasi mengkritik Al-Qur`an menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Ini terjadi karena fenomena merebaknya hermeneutika di kalangan akademisi muslim. Seakan menjadi “mainan baru” yang dapat memberikan banyak maslahat bagi umat Islam, bahkan hermeneutika menjadi cara utama dalam menafsirkan Al-Qur`an.
Berawal dari kegelisahan terhadap pemikiran Arab kontemporer, termasuk di dalamnya pemikiran Islam, para penganut hermeneutika menilai bahwa dunia Islam mengalami krisis metodologis, karena :
- Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang objektif dalam kajian teks yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.
- Kajian-kajian keislaman yang ada sering bertolak dari sakralitas terhadap perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan.
- Tidak adanya apresiasi terhadap filsafat humaniora karena kecurigaan terhadap pemikiran filsafat Yunani sebagai filsfat yang keliru dan sesat.
- Tidak adanya epistemologi Islam yang valid sehingga melahirkan fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad pertengahan.
- Kecenderungan umat Islam mengulutuskan ijtihad ulama pendahulu.
Ada perbedaan utama mengenai konsep antara Bibel dan Al-Qur`an menurut Adian Husaini. Bibel adalah kitab suci yang interpretasinya menggunakan hermeneutika. Ini terjadi karena Tuhan bekerja melalui makhluk-Nya. Maka kata-kata dalam Bibel bukan hanya kata-kata tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah dan juga kata-kata Markus. Dalam istilah Paus, “Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-kata-Nya kepada manusia”. Sedangkan Al-Qur`an adalah kitab suci yang kata-katanya diturunkan Tuhan langsung kepada Muhammad SAW melalui Jibril AS dan kata-katanya bersifat abadi. Hal ini menjadikan tidak adanya peluang untuk menyesuaikan dengan kondisi dan situasi atau menafsirkannya kembali.
Seperti yang kita ketahui bersama arti dari kata hermeneutik adalah menginterpretasikan, menafsirkan, dan menerjemahkan. The New Encyclopedia Britania menulis hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip umum tentang interpretasi Bible dan memiliki tujuan untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Pengartian ini melekat erat dalam menafsirkan kitab Injil oleh umat kristiani. Tetapi seiring berjalannya waktu, hermeneutika tidak hanya diaplikasikan kepada kitab Injil saja, hermeneutik di aplikasikan kepada semua teks yang pada akhirnya pemaknaan itu diperbarui oleh bapak hermeneutika modern yaitu Schleiermacher. Schleiermacher mendefinisikan hermeneutika sebagai seni memahami yang dibutuhkan untuk menangkap makna teks, tidak terbatas pada teks dari disiplin tertentu, melainkan semua jenis teks.
Kemudian Adian Husaini mengatakan ada beberapa dampak dari hermeneutika, yaitu: relativisme tafsir, curiga dan mencerca ulama Islam, dan deskontruksi konsep wahyu. Dampak relativisme tafsir adalah pengaplikasian dari pemahaman bahwa tidak ada tafsir yang tetap. Menurutmya ini sangat berbahaya karena hal-hal yang bersifat pasti dan tetap di dalam Al-Qur`an jadi tidak ada artinya, semuanya dapat berubah sesuai “waktu dan kondisi”. Pemahaman ini dapat membubarkan Islam. Padahal perkataan yang menyatakan bahwa “semuanya adalah relatif” adalah juga relatif, sehingga ucapan itu sendiri bersifat relatif.
Kemudian dampak negatif lain dari hermeneutika adalah kecurigaan dan cercaan terhadap ulama Islam yang sangat tidak dapat dibenarkan. Menurut Adian Husaini mencerca ulama Islam adalah salah satu bentuk keinginan mereka agar dapat merubah Islam supaya dapat disesuaikan dengan zaman modern. Para Hermeneut ini ingin “Islam yang baru”, bukan Islam yang memiliki pondasi yang kokoh dari para ulama terdahulu. Mereka terlalu terpesona terhadap hermeneutika yang akhirnya dipaksakan masuk kedalam Al-Qur`an.
Kritik berikutnya dari Adian Husaini terhadap hermeneutika adalah dapat mendekontruksi konsep wahyu yang lebih terfokus terhadap teks Al-Qur`an. Di sini tokoh yang sering dijadikan rujukan adalah Nashr Hamid Abu Zaid. Dalam banyak tulisan, seringkali Al-Qur`an dijadikan sebagai alat untuk memasukkan pemikiran hermeneutikanya. Abu Zaid berpendapat bahwa Al-Qur`an merupakan hasil budaya yang dibuat oleh Muhammad melalui inspirasi-inspirasi yang diberikan oleh Tuhan. Ini berarti bahwa Al-Qur`an itu ditulis oleh Muhammad dalam kurun waktu 20 tahun, jadi apa yang disampaikan dan dimaknai oleh umatnya adalah hasil dari budaya ketika Al-Qur`an ditulis. Menurut Adian Husaini, dengan menekankan teks Al-Qur`an sebagai produk budaya Arab maka hilanglah unsur-unsur universalitas hukum Islam.
Kesimpulan Adian Husain dalam penafsiran Al-Qur`an menggunakan hermeneutika sangat tidak dianjurkan karena perbedaan antara ilmu tafsir dan hermeneutik. Ilmu tafsir mengedepankan riwayat-riwayat, tekstual, pemahaman dari ulama-ulama tafsir dsb. Sedangkan hermeneutik sangat mengedepankan kebebasan akal dalam penafsiran yang berakibat pada pemahaman-pemahaman yang keliru. Tetapi Adian Husaini sendiri sebenarnya tidak secara total menolak hermeneutik, ia lebih kepada waspada untuk tidak menggunakananya karena dapat merusak pemahaman-pemahaman yang ada.
Kemudian Abdurrahman Al-Baghdadi menuturkan ada beberapa point dalam menafsirkan Al-Qur`an :
- Sebelum mengetahui isi kandungan Al-Qur`an secara menyeluruh kita selayaknya mengerti isi teks secara global terlebih dahulu (ta’wil) atau secara lafazh kita harus mendapatkan pemahaman awal mengenai teks tersebut. Ditambah kita juga harus mempunyai ilmu yang mendukung untuk memahami ayat-ayat kauniah di dalam Al-Qur`an. Kemudian dari yang global di khususkan menjadi hukum-hukum yang spesifik untuk permasalahan tertentu.
- Bahasa Arab harus dikuasai secara bagaimana orang Arab menguasai bahasanya. Secara kalimat bagaimana mereka mengertinya, kemudian secara kata sampai huruf perlu pemahaman sebagaimana mereka menggunakan dan memhami bahasa Arab. Dan yang paling utama dari itu adalah “rasa bahasa” yang harus dimiliki oleh penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an.
- Pemakaian As-Sunnah dinilai berperan penting dalam penafsiran karena Al-Qur`an adalah kalam ilahi yang diturunkan kepada orang paling mulia di muka bumi yakni nabi Muhammad SAW. Yang dimana semua perkataan, perlakuan dan sifatnya adalah As-Sunnah. Maka pemakaian As-Sunnah sangat dianjurkan.
Kesimpulan dari Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi dalam pemakaian hermeneutika untuk penafsiran Al-Qur`an sebaiknya dihindari. Karena dalam beberapa contoh banyak sekali kesalahan pehamanan yang fatal dan dapat diikuti banyak orang. Pemakaian hermeneutika bukan tidak baik untuk digunakan tetapi dampak yang diakibatkan seperti LGBT, pernikahan beda agama dll adalah buah dari pemahaman hermeneutik dalam menafsirkan Al-Qur`an. Secara keseluruhan Al-Qur`an memiliki caranya sendiri dalam menafsirkannya, dan para ulama terdahulu sudah berijtihad sedemikian rupa dan menghasilkan cara-caranya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Faiz, Fachruddin. Hermeneutika Qur`an: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualitasi. Yogyakarta: Qalam, 2002.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeunetik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Husaini, Adian, dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Hermeneutika & Tafsir Al-Qur`an. Jakarta: Gema Insani, 2007.
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2005. Ilham, M. “Hermeneutika Al-Qur’an: Studi Pembacaan Kontemporer Muhammad Shahrour”, dalam jurnal KURIOSITAS, Vol. 11, No. 2, Desember 2017.