Hermeneutika Penafsiran Al-Qur’an dalam Analisis Adian Husaini

Seiring perkembangan zaman, metode hermeneutika diperkenalkan sebagai instrumen alternatif untuk mengungkap maksud di balik teks suatu ayat. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika dalam penerapannya sebagai metode tafsir masih diperselisihkan di kalangan ulama serta menjadi wacana menarik dikalangan ilmuan muslim. Bagi yang mendukung, mereka menerima hermeneutika sebagai salah satu metode yang tepat untuk digunakan dalam memahami teks Al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer yang belum ada penyelesaiannya dalam tafsir-tafsir klasik. Sedangkan bagi yang tidak medukung metode ini, mereka menolak hermeneutika sebagai manhaj tafsir dengan berbagai alasan. Salah satu tokoh yang gigih menolak metode hermeneutika sebagai manhaj tafsir adalah Adian Husaini.

  Husaini menegaskan penolakannya dengan alasan bahwa hermeneutika merupakan terminologi Barat yang awalnya digunakan untuk menafsirkan Bible. Penggunaan terminologi Barat tersebut dapat membawa dampak buruk bagi keteguhan iman umat Islam tentang status Al-Qur’an, sebab ontensitasnya sebagai kalam Allah SWT akan tergugat. Dengan sikap ekstrim, Husaini mengatakan bahwa hermeneutika telah tercemar oleh ideologi Barat yang kapitalis dan sekuler. Karena menurutnya, hermeneutika bukan produk tradisi keilmuan Islam, melainkan berasal dari tradisi Yahudi/Kristen yang kemudian diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modern menjadi metode interpretasi teks secara umum. 

Dalam terminologi modern, hermeneutika merupakan ilmu yang digunakan dalam memahami teks secara umum. Adapula yang menejalaskan bahwa hermeneutika merupakan satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal ini, makna sesungguhnya yang diinginkan oleh teks belum dapat dipahami secara jelas atau terdapat makna tersembunyi sehingga dibutuhkan penafsiran untuk menjadikan makna tersebut transparan, jelas, dapat dimengerti dan gamblang.

Dalam pandangan Husaini, istilah hermeneutika merujuk kepada seorang tokoh mitologis Yunani yang memiliki nama Hermes. Dalam mitologi Yunani, Hermes merupakan dewa penyampai pesan-pesan dewa kepada manusia. Hermeneutika setelah itu berkembang sebagai metodologi penafsiran Bible yang dikembangkan oleh para teolog dan filsuf di Barat sebagai metodologi penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tujuan dari hermeneutika itu sendiri demi menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bible khususnya di kalangan kristen sudah sangat lazim meskipun terdapat perdebatan.

Menurut Husaini, hermeneutika sebagai suatu metode tafsir tersendiri sangat berbeda dengan metode tafsir Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab yang tanzil, lafhzan wa ma’nan (Lafaz dan maknanya) dari Allah SWT, bukan kitab yang mendapatkan inspirasi dari Tuhan sebagaimana dalam konsep Bible. Teks dalam Bible merupakan teks yang ditulis oleh manusia yang mendapat inspirasi dari Rohulkudus. Sebagai teks manusiawi, Bible memungkinkan untuk diterapkan metode penafsiran hermeneutika. Beda halnya dengan sifat teks Al-Qur’an yang otentik dan final. 

Husaini menjelaskan, meskipun hermeneutika dijadikan sebagai alat penafsir Bible namun tak luput dari keritikan serta penolakan khususnya dari Vatikan.  Sifat selektif dan tidak membiarkan penafsiran liar dalam memahami teks-teks Bible yang ditekankan Vatikan menunjukan bahwa tidak semua metodologi hermeneutika yang diterapkan dalam memahami teks Bible dapat diterima. Vatikan menolak cara penafsiran yang melulu subyektif dan melekatkan makna apa saja pada teks Bible

Salah satu dampak dari hermeneutika jika diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah penyelisihan terhadap kaidah-kaidah umum Islam, merelatifkan batasan antara ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, usuhul dan furu’, serta qot’iyah dan zhonniyah, juga akan mereduksi sisi kerasulan Muhammad Saw sebagai penyampai wahyu hingga pada sebatas tingkatan manusia yang sarat dengan kekeliruan dan hawa nafsu.

Menurut Husaini, hermeneutika memiliki dampak terhadap penafsiran, yaitu relativisme tafsir, kecurigaan dan cercaan terhadap ulama dan dekontruksi konsep wahyu. Terkait relativisme tafsir, Husaini selalu menekankan akan bahaya faham ini. Penggunaan hermeneutika sebagai satu metode tafsir Al-Qur’an bisa sangat bahaya kerena berpotensi besar membubarkan ajaran-ajaran Islam yang sudah final. Dalam penerapannya, ajaran ini menegaskan bahwa semua kebenaran adalah relatif. Penganut faham relativisme tafsir meyakini bahwa tidak ada tafsir yang tetap, semua tafsir dalam pandangan mereka sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual temporal dan personal. Berdasarkan pemahaman relativisme maka tidak ada lagi satu kebenaran yang bisa diterima semua pihak. Semua manusia bisa salah. 

Menurut Husaini faham relativisme ini dapat merusak cara pandang, pemikiran, pemahaman dan bahkan perilaku umat. Faham ini begitu berbahaya, selain menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga akan selalu berusaha memandang kerelativan kebenaran Islam, faham ini juga dapat menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur’an dan Sunah yang sudah teruji ratusan tahun. Selain dua hal tersebut bahaya faham ini dapat menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Dalam pandangan mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum Islam  yang sudah final dan tsabit akan senantiasa bisa diubah disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Selain faham relativisme, dampak hermeneutika yang sangat besar lainnya adalah bahwa pendukung hermeneutika tidak segan-segan memberikan tuduhan yang membabi buta terhadap para ulama terkemuka, seperti kritikan yang dilakukan oleh Mun’im Sirri dalam buku Fikih Lintas Madzhab yang ditujukan kepada Imam Syafi’i.

Dampak besar lainnya adalah bahwa pendukung hermeneutika masuk pada wilayah mempersoalkan serta menggugat keontesitasan Al-Qur’an sebagai kitab yang lafaz serta maknanya dari Allah SWT. Mereka memandang bahwa teks sebagai produk budaya serta mereka abai terhadap hal-hal yang sifatnya Ilahiyah. Seperti yang digaungkan Nashr Hamid Abu Zaid yang memandang Al-Qur’an sebagai muntaj tsaqofi atau produk budaya.

Pada kata penutup dalam buku Hermenetika dan Tafsir Al-Qur’an karangannya, Husaini mengutip perkataan Wan Mohd. Nor Wan Daud bahwa tafsir benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengen hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interperetasi kitab suci dari kultur agama lain. Dalam pandangan Husaini, hermeneutika lebih relevan dipergunakan sebagai metode tafsir Bible dan tidak relevan jika diaplikasikan sebagai metode tafsir Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

Husaini, Adian, dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2007.

N, Abd.  Muid (ed.). Mengislamkan Hermeneutika. Jakarta: Haja Mandiri, 2018.

Muchtar, M. Ilham. “Analisis Konsep Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an.” dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 13 No. 1 Juni Tahun 2018.

Muzayyin. “Resepsi Hermeneutika Dalam Penafsiran Al-Qur’an Oleh M. Quraish Shihab: Upaya Negosiasi Antara Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an Untuk Menemukan Titik Persamaan dan Perbedaan.” dalam Jurnal Nun, Vol. 1 No. 1 Tahun 2015.Shobiri Muslim, Ahmad. “Problematika Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an.” dalam Jurnal Empirisma, Vol. 24 No. 1 Januari Tahun 2015.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *