Memahami Dunia Sosial-Historis

innovationnewsnetwork.com

Filsafat menurut Dilthey bersifat esensial historis, artinya untuk memahami apa yang ada dalam sejarah tidak bisa terlepas dari filsafat. Dilthey membagi ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu naturwissenschaften (nature science) dan geisteswisssenschaften (human science). Pembagian ini sangat penting, karena naturwissenschaften merupakan ilmu pasti yang penerapannya menggunakan metode sains yang sangat ketat, dan hasilnya harus bisa dibuktikan dengan cara-cara ilmiah di laboratorium. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu pengetahuan tentang alam fisik yang meliputi biologi, kimia, fisika, dan sains. Sedangkan geisteswisssenschaften adalah semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan batin manusia, seperti sejarah, psikologi, filsafat, ilmu-ilmu sosial, seni agama dan sebagainya.[1]

Kekhasan Objek Hermeneutika Dilthey

Kekhasan hermeneutika Dilthey sebagai seni memahami dunia sosial-historis yaitu dengan adanya persamaan dan perbedaan antara memahami karya-karya seorang pengarang seperti buku, dokumen atau surat-surat, dan memahami manusia dan masyarakat atau yang disebut oleh Dilthey sebagai dunia sosial-historis.[2]

Dalam memahami tulisan dan memahami masyarakat terdapat perbedaan dan persamaan. Persamaannya adalah bahwa keduanya merupakan susunan simbol-simbol yang bermakna, yang mana susunan simbol-simbol bermakna itu kemudian disebut teks. Adapun perbedaanya adalah terletak pada dinamikanya. Untuk karya-karya seperti surat-surat, kitab-kitab suci dan teks-teks kuno, dapat dianggap sebagai teks-teks yang sudah selesai. Berbeda dengan masyarakat (sosial-historis), seperti praktik ritual, problem gender dan sebagainya adalah teks-teks yang belum selesai dan akan terus berubah.

Ketiga Konsep Kunci Hermeneutika Dilthey

Dilthey dalam hermeneutika siosial-historisnya terdapat tiga konsep kunci yang harus dipahami yaitu verstehen (memahami), elebnis (penghayatan), dan ausdruck (ungkapan). Ketiga konsep kunci Dilthey ini ada hubungan timbal balik yang mana verstehen (memahami) sebagai jembatan antara erlebnis (penghayatan) dan ausdruck (ungkapan).

Erlebnis yaitu pengalaman yang dimiliki seseorang dan dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna, dialihkan ke dalam bahasa Inggris sebagai lived experience, selanjutnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai penghayatan[3]. Erlebnis merupakan kenyataan sadar keberadaan manusia dan juga kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan dieksplisitkan. Dalam erlebnis hidup merupakan realitas fundamental yang teralami secara langsung, sehingga belum memunculkan subjek dan objek. Erlebnis adalah basis kenyataan bagi munculnya imaginasi, ingatan dan pikiran. Ia ada sebelum adanya refleksi dan sebelum adanya pemisahan subjek dan objek.[4]

Ausdruck yaitu ekspresi atau ungkapan kegiatan jiwa. Ekspresi muncul dalam berbagai bentuk tindakan. Ada beberapa bentuk ekspresi; Pertama, ekspresi yang isinya telah tetap dan identik. Kedua, ekspresi tingkah laku manusia baik individual atau serangkaian tindakan yang panjang. Ketiga, ekspresi spontan seperti tersenyum, tertawa dan sebagainya. Ekspresi ini merupakan ungkapan perasaan yang kadang dangkal dan kadang sangat dalam.[5]

Verstehen adalah pemahaman, yaitu suatu proses mengetahui kehidupan kejiwaan  lewat ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indra. Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain, lewat suatu tiruan pengalamannya. Dengan kata lain verstehen adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diriku.[6]

Ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah (minat khusus Dilthey), tidak akan memperoleh pengetahuan yang dicari tanpa mempergunakan verstehen atau pemahaman yang membedakan dari ilmu alam. Manusia sebagai objek pengertian dalam ilmu kemanusiaan memiliki kesadaran. Dan ini memungkinkan bagi penyelidikan tentang alasan-alasan tersembunyi dibalik perbuatannya yang dapat diamati. Kita dapat memahami perbuatan dengan mengungkap pikiran, perasaan, dan keinginannya. Ilmu kemanusiaan tidak hanya mampu mengetahui apa yang telah diperbuat manusia, tetapi juga pengalaman batin (erlenbis), pikiran ingatan, keputusan nilai dan tujuan yang mendorongnya berbuat.

Penelitian ilmu kemanusiaan harus berusaha seperti hidup dalam objeknya atau membuat objek hidup dalam dirinya. Dengan penghayatan tersebut akan memudahkan munculnya verstehen atau pemahaman. Dalam konteks ilmu sejarah, dengan menghayati kembali masa lampau, sejarawan akan memperluas dan membuat berkembang kepribadiannya, menggabungkan pengalaman pada masa lalu ke dalam pengalaman masa kini. Setiap pengalaman baru ditentukan oleh semua pengalaman yang sampai pada saat itu kita miliki. Sebaliknya, pengalaman baru itu memberi arti dan penafsiran baru kepada pengalaman-pengalaman lama. Ketika seorang peneliti ingin mengerti perbuatan pelaku sejarah yang berupa ekspresi-ekspresi (ausdruck), maka ia hanya merekonstruksikan kesatuan dan kebersatuannya dengan pemahaman batin (erlebnis).

Dilthey dengan hermeneutika sosial-historisnya sangat menekankan kedekatan batin yang memberikan ciri khas pada pengalaman yang hidup (lived experience). Pengalaman inilah yang menjadi objek sesungguhnya dari hermeneutika. Pengalaman-pengalaman hidup kita sehari-hari tidak seluruhnya dapat disebut sebagai pengalaman hidup. Hanya pengalaman yang memberi makna dan kedekatan batin terhadap masa lalu dan masa depan yang dikategorikan sebagai pengalaman yang hidup.[7]

Roh Objektif

Roh objektif merupakan hasil-hasil proses pencurahan isi pikiran, perasaan atau dunia mental para individu dalam bentuk produk-produk kultural seperti gaya hidup, adat istiadat, seni, hukum, agama dan sebagainya. Produk-produk kultural ini bukan realitas-realitas objektif, melainkan realitas-realitas yang diobjektifkan atau dalam istilah Dilthey dunia yang dikonstruksi pikiran yang timbul dari penghayatan.[8]

Sebagai contoh interpretatif, seorang tukang seni ukir yang dalam pikirannya terdapat suatu konsep huruf-huruf atau gambar yang hendak diukir. Kemudian pengukir tersebut mempersiapkan peralatan ukir dan juga bahan-bahan yang dibutuhkan. Selanjutnya dia mengeksternalisasi konsep ukiran yang ada dalam pikiran dan mengukirnya ke bahan-bahan yang telah disediakan hingga menjadi produk seperti konsep yang ada dalam pikirannya. Hasil dari eksternalisasi konsep ide dalam pikiran ini kemudian disebut sebagai ‘Roh Objektif.’

Melalui ciri khas dari metode beserta unsur-unsur di dalamnya, Dilthey berhasil mendasarkan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan pada suatu metode khas yang berbeda dengan metode ilmu-ilmu alam, yaitu verstehen. Sehingga lewat Dilthey, hermeneutika juga berkembang menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, dengan mendekati manusia dan kebudayaannya sebagai objek dan melibatkan diri untuk memahami makna.[9]

DAFTAR PUSTAKA

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeunetik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Sholikhah. “Pemikiran Hermeneutika Wilhelm Dilthey.” Dalam Jurnal Studi Keislaman. Vol. 7 No. 2 Tahun 2017.

Soebarna, Ahmad Baihaqi. “Nilai-Nilai Kemanusiaan Muhammad Persfektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey.” Dalam Jurnal HIMMAH. Vol. 03 No. 1 Tahun 2019.

Wisarja, I Ketut. “Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan: Persfektif Hemeneutika Wilhelm Dilthey.” Dalam Jurnal Filsafat. Vol. 35 No. 3 Tahun 2003.


[1] Sholikhah, “Pemikiran Hermeneutika Wilhelm Dilthey,” dalam Jurnal Studi Keislaman, Vol. 7 No. 2 Tahun 2017, hal. 113.

[2] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeunetik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 79.

[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeunetik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 83.

[4] I Ketut Wisarja, “Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan: Perspektif Hemeneutika Wilhelm Dilthey,” dalam Jurnal Filsafat, Vol. 35 No. 3 Tahun 2003, hal. 205.

[5] I Ketut Wisarja, “Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan: Persfektif Hemeneutika Wilhelm Dilthey”, hal. 205-206.

[6] I Ketut Wisarja, “Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan: Persfektif Hemeneutika Wilhelm Dilthey”, hal. 206.

[7] I Ketut Wisarja, “Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan: Persfektif Hemeneutika Wilhelm Dilthey”, hal. 208.

[8] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 81.

[9] Ahmad Baihaqi Soebarna, “Nilai-Nilai Kemanusiaan Muhammad Persfektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey,” dalam Jurnal HIMMAH, Vol. 03 No. 1 Tahun 2019, hal. 326.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *