Paul Ricoeur merupakan tokoh hermeneutik yang lahir di Valence, Perancis pada tahun 1913 dan meninggal pada tahun 2005 dalam usianya yang ke-92 tahun. Ia mengajar di Universitas Paris dan Universitas Chicago. Di Universitas Chicago, ia dianggap mampu menggantikan sosok Paul Tillich yang merupakan tokoh teolog terkenal saat itu. Ricoeur mempunyai karya lebih dari 30 buku dan ratusan artikel yang ia tulis dibeberapa jurnal. Tema-tema yang ia angkat seputar eksistensialisme, fenomenologi, antropologi filosofis, ontologi, hermeneutika Bible, moral politik, filsafat, agama, hingga hukum.[1]
Posisi hermeneutika Ricoeur adalah mencoba membangun filsafat interpretasi yang cenderung berseberangan antara problem ontologis dan metodis, sehingga ia mendapat julukan mediating thinker (pemikir yang menengahi). Proses mediasi dua perspektif hermeneutik yang berseberangan itu terlihat jelas dalam teori yang dikembangkannya untuk memahami teks, yakni menggabungkan antara pemahaman dan penjelasan dengan meramunya menjadi model dialektis penafsiran teks. Ricoeur berargumen bahwa keduanya dibutuhkan untuk membongkar makna yang terkandung dalam sebuah teks.
Sebenarnya Ricoeur mewarisi dua kubu yang berseberangan dalam membaca teks. Kubu pertama, mereduksi interpretasi sebagai pemahaman, karena memahami teks berarti secara intuitif merangkap kehendak pengarang. Kubu kedua berargumen, dengan mengesampingkan pengarang dan memfokuskan pada teks, kita dapat menjelaskan teks secara lebih objektif. Padahal menurut Ricoeur keduanya merupakan hal yang saling melengkapi, bahkan saling membutuhkan. Pemahaman merupakan tujuan penjelasan, dan penjelasan adalah cara menuju pemahaman. Membaca adalah menafsirkan, dan menafsirkan adalah memahami dan menjelaskan.[2]
Menurut Ricoeur, ada perbedaan antara memahami dan menjelaskan, sebagaimana penjelasannya sebagai berikut:
“Dalam penjelasan, kita memperjelas atau membuka jajaran proposisi dan makna, sementara dalam pemahaman kita memahami atau mengerti rangkaian parsial secara keseluruhan dalam satu upaya sintesis.”[3]
Lebih jelasnya, memahami adalah mengambil bagian, sedangkan menjelaskan adalah mengambil jarak; memahami adalah menafsirkan, sedangkan menjelaskan adalah merefleksikan atau menganalisis.[4]
Menurut Ricoeur, ada tiga langkah pemahaman. Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, berpikir dengan menggunakan simbol-simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah ini berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa, yaitu: semantik, refleksi, serta eksistensial atau ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni. Sementara refleksi adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang mendekati tingkat ontologi. Sedangkan eksistensial adalah langkah pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu sendiri. Atas dasar langkah-langkah ini, Ricoeur menyatakan bahwa pemahaman itu pada dasarnya adalah “cara berada” atau “cara menjadi.”[5]
Menurut Sumaryono bahwa apa yang dikatakan oleh Ricoeur tersebut sulit dimengerti, namun sebenarnya ia ingin mengubah pandangan kita bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang dapat bersaing dalam tingkat yang sejajar dengan metode dalam sains. Ricoeur menyatakan bahwa pemahaman adalah salah satu aspek dari proyeksi manusia seutuhnya. Untuk mempermudah pemahaman ini kita ambil contoh misalnya: manusia kita pahami sebagai manusia seutuhnya. Artinya kita memandang manusia dari segala aspek yang ia miliki, baik secara asal-usul, cita-cita, gaya, penampilan, kejelekan, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi “khas”. Jadi kita memahami manusia sebagaimana “ia menjadi”.[6]
Secara sederhana, teori hermeneutika Ricoeur memiliki tiga tahapan. Pertama, proses menafsirkan teks berawal dengan menebak atau mengira-ngira makna teks, karena pembaca sesungguhnya tidak mempunyai akses untuk mengetahui maksud pengarang. Kedua, penafsir mulai mencari penjelasan kritis dan metodis menyangkut pemaknaan awal yang dihasilkan oleh pemahaman prareflektif. Pemaknaan awal tersebut bisa saja divalidasi, dikoreksi, atau diperdalam dengan mempertimbangkan struktur objektif teks. Ketiga, bercirikan memahami diri sendiri di hadapan dunia yang diproyeksikan teks, dan merupakan puncak dari proses penafsiran, di mana seseorang lebih memahami dirinya. Dalam konteks ini, Ricoeur memasukkan aspek eksistensial ke dalam teori hermeneutiknya. Memahami suatu teks berarti menerangi keberadaan diri sendiri dengan memasuki dunia yang terbebas dari praktikularitas. Pada poin yang ketiga ini terjadi dialog antara pembaca dengan teks.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Susanto, Edi. Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar. Jakarta: Kencana, 2016.
[1] Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar, Jakarta: Kencana, 2016, hal. 59.
[2] Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar,… hal. 61.
[3] Edi Susanto, Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar,… hal. 61.
[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 259.
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 104.
[6] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat…, hal. 105.
[7] Edi Susanto, Studi Hermeneutika Kajian Pengantar,… h. 62.