Positivisme: Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Data

Positivisme pada dasarnya adalah ilmu pengetahuan yang mendasarkan dirinya pada data. Sebelum positivisme, ada Immanuel Kant yang memandang ilmu pengetahuan sebagai sistem yang berdasar pada prinsip dasar yang a priori. Beda kedua hal itu adalah pada yang kedua, kesimpulan ilmiah ditentukan berdasar prinsip-prinsip universal. Adapun yang pertama, kesimpulan ilmiah tergantung kepada obeservasi dan eksperimen hingga berlaku tidak universal, tetapi parsial.

Pada yang pertama sebagaimana disebut di atas, ilmu pengetahuan dipraktikkan sebagai kegiatan mengumpulkan dan mengelompokkan data yang dikembangkan bersamaan dengan usaha menginterpretasikannya dalam terang fakta-fakta lain yang sudah lama dikenal. Praktik tersebut tidak terlalu terikat pada teori tertentu selain sebagai untuk membantu memahami fakta, bukan sebagai faktor utama karena faktor utama tetap adalah data itu sendiri.

Padangan tentang pentingnya data bagi ilmu pengetahuan pada sejarahnya paling awal dimulai ketika adalah gerakan pemikiran yang mengkritisi ilmu pengetahuan yang mengacu kepada penjelasan teologis dan atau penjelasan filosofis teoretis yang lebih dipentingkan daripada data. Dampaknya, data yang harus mengikuti penjelasan-penjelasan tersebut, bukan penjelasan-penjelasan itu yang tunduk kepada data.

Pementingan penjelasan teologis dan atau penjelasan filosofis teoretis hadir dengan alasan untuk menangkap sesuatu yang tidak berubah karena data atau pengalaman empiris dianggap selalu berubah sehingga melahirkan pengetahuan yang tidak pasti hingga tidak bisa diperpegangi.

Pada lanjutan sejarah, pentingnya data yang melahirkan positivisme membedakan dirinya dari semua sistem penjelasan lain seperti filsafat, agama, dan ideologi. Ketiga hal yang disebutkan barusan tidak terlalu menekankan penjelasannya kepada data, sedangkan positivisme mengandalkan data dan hanya data. Data dalam filsafat, agama, dan ideologi untuk memperkuatnya, bukan untuk mengkritisinya.

Apa yang kini terpatri di benak bahwa data itu sangat penting bagi ilmu pengetahuan adalah hasil upaya positivisme yang pengaruhnya masih terasa hingga kini. Positivisme sendiri adalah istilah yang diperkenalkan oleh St. Simon, seorang filosof dan ekonom sosial pada abad ke-19 di Eropa. Istilah itu semakin dipopulerkan oleh Auguste Comte ketika menjelaskan perkembangan masyarakat. Bagi Comte, masyarakat modern memasuki fase positivistis, suatu fase pemikiran yang ditentukan oleh ilmu pengetahuan empiris. Adapun dua fase sebelumnya adalah mistis-teologis pada masyarakat tradisional dan fase rasional-filosofis pada masyarakat permulaan ilmu pengetahuan.

Saat masyarakat telah masuk ke fase positivistik, maka segalanya harus tunduk pada aturan ilmu pengetahuan empiris. Teologi, filsafat, dan seni, pun harus tunduk. Kalaupun tidak tunduk, maka ketiganya harus menentukan sendiri posisinya yang harus tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang sudah bersifat positivistik.

Dasar bagi positivisme adalah empirisme, yaitu ilmu pengetahuan adalah yang kita dengar, yang kita lihat, dan kita rasakan, bukan apa yang kita pikirkan. Lebih canggihnya, ilmu pengetahuan adalah sebuah struktur yang dibangun di atas data yang diperoleh melalui pengamatan dan eksperimen.

Positivisme lebih mendetailkannya bahwa fakta tidak lebih daripada sejumlah pengetahuan indrawi yang berhubungan satu sama lain dan hanya akan menerima yang bisa masuk ke dalam kerangka hubungan antara satu fakta dengan fakta lain tersebut. Dampaknya adalah bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal realitas secara keseluruhan sistem yang komprehensif, yang satu, total, dan integral menurut prinsip sebab-akibat. Yang ada hanyalah elemen-elemennya yang atomistis. Pada hal ini, pembedaannya dengan ilmu pengetahuan yang dimaksudkan oleh Immanuel Kan semakin nyata.

Jika ada teori yang seakan-akan dijelaskan oleh hadirnya sebuah data atau sebaliknya ada data yang seakan-akan bisa dijelaskan oleh sebuah teori, maka itu hanya kebetulan semata yang hubungan keduanya hanyalah sesaat itu saja karena setelah itu, akan hadir data yang lain yang benar-benar baru dan bisa saja berbeda.

Secara natural, positivisme tidak memiliki klaim untuk menjelaskan segala hal dan keseluruhan realitas, tetapi hanya data-data partikular yang saling berhubungan satu sama lain. Empirisme memfokuskan diri pada persoalan bagaimana ilmu pengetahuan bisa lahir. Adapun positivisme menjawab bagaimana ilmu pengetahuan bisa disebut ilmiah.

Perkembangan positivisme kemudian memasuki era baru. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa inti dari positivisme adalah data, maka positivisme selanjutnya mulai memasuki pascadata. Tentu saja, setelah data, akan ada pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi ilmiah yang hadir. Proposisi-proposisi ini dianalisis untuk memastikan apakah pernyataan ilmiah merupakan pernyataan yang jelas dan tidak ambigu. Mengapa proposisi? Hanya di dalam proposisi ada makna logis yang bisa dinilai benar atau tidaknya. Inilah yang disebut dengan positivisme logis. 

Proposisi pada positivisme logis ini tidak sama dengan proposisi pada umumnya yang bisa dianalisis secara logis semata dan dibandingkan dengan proposisi logis lainnya. Proposisi pada positivisme logis hanya dapat dinilai berdasarkan hubungannya dengan data atau fakta. Jadi, tidak ada pernyataan ilmiah yang analitis. Maksudnya, tidak ada kesimpulan ilmiah yang hanya diambil dari kesimpulan yang lain. Pernyataan ilmiah selalu sintetis (berdasarkan fakta).

Di antara yang tidak peduli fakta adalah proposisi-proposisi metafisik seperti proposisi-proposisi tentang Allah, tentang keabadian jiwa, tentang kebebasan manusia, dan sebagainya. Konsekuensinya, semua itu tidak lebih dari proposisi subjektif menurut positivisme, karena tidak lebih dari keyakinan seseorang. Satu hal tentang keyakinan adalah tidak bisa diverifikasi; sedangkan inti dari positivisme (logis) adalah verifikasi secara empiris. Karena itu, dalam positivisme, sedapat mungkin dihindari hal-hal yang tidak bisa diukur seperti pengetahuan tentang hakikat suatu hal.

Dengan semua prinsip yang telah dijelaskan di atas, maka tampak kelebihan positivisme yang kini memang tampak berhasil membangun peradaban modern. Namun demikian, upaya positivisme dalam memegang teguh data dengan gigi geraham, bukan tidak memiliki problem. Ketika setiap proposisi harus diuji dengan data, maka sepertinya hampir setiap ilmu pengetahuan harus selalu memulai dari awal dan itu berarti ilmu pengetahuan mengalami pelambatan; padahal banyak proposisi yang sebenarnya tidak begitu penting untuk diuji dan seharusnya langsung saja diterima sebagai kebenaran. Misalnya, “setiap akibat memiliki sebab”. Bukankah tidak perlu ada pengujian data dan fakta untuk itu?

Selain itu, jika hanya data semata, maka yang hadir sesungguhnya hanyalah data yang diam. Persoalannya, ketika sebuah data berkaitan dengan manusia, maka manusia bukan hanya data yang diam. Di balik setiap tingkah laku manusia ada hasrat, ada motif, ada tujuan, dan bahkan ada nilai. Saat terjadi perang, bagaimana membedakan antara pembunuhan atas nama kejahatan dengan atas nama pembelaan negara? Positivisme tidak sampai ke sana.

Keengganan positivisme meninggalkan proposisi yang partikular menuju yang universal membuatnya mengingkari salah satu misi utama ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu hendak merumuskan kodrat, sifat, dan hakikat benda-benda. Konsekuensinya, ilmu pengetahuan hanya untuk saat ini dan di sini, bukan untuk di sana dan di masa depan. Barangkali memang tingkat ilmiah proposisi partikular lebih tinggi dan lebih bisa diukur dibandingkan dengan proposisi universal, tetapi proposisi universal sama sekali tidak bisa dianggap bukan ilmu pengetahuan.

Lebih jauh daripada itu, positivisme seperti menempatkan para ilmuwan di dalam kotaknya masing-masing dan tidak ada kemungkinan untuk saling mengintip ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan dari disiplin berbeda harus dipastikan dulu kebenarannya dengan data untuk dapat diterima. Problemnya, otoritas verifikasi atas sebuah ilmu pengetahuan hanya dipegang oleh pakarnya, bukan oleh pakar disiplin lain. Dengan seperti itu, apakah ilmu pengetahuan akan berkembang dengan baik?

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *