Literatur tidak lagi terbatas pada bacaan-bacaan konvensional yang berbau kertas, namun sudah terdigitalisasi ke dalam gadget maupun akses internet (paperless). Begitupun aktivitas literasi yang tidak lagi terbatas pada ruang-ruang formal yang harus terdiri dari guru maupun siswa (khususnya literasi keagamaan—dalam hal ini Islam), namun kini dapat dilakukan secara mandiri (Anderson: 2003). Pergeseran ini tidak hanya sekedar memperlihatkan perubahan tradisi, namun juga memiliki implikasi lain yang mengubah cara pandang dan resepsi manusia atas sesuatu (Lukman: 2018).
Jika dikaitkan dengan kajian al-Qur’an (tafsir) dan media sosial, maka penelitian Brett Wilson mengenai penerbitan al-Qur’an di Turki dapat memperlihatkan kesesuaian argumen di atas. Wilson mengatakan dalam penelitiannya bahwa teknologi penerbitan al-Qur’an di Turki telah mengubah atau menggeser posisi al-Qur’an serta cara pandangan masyarakat Turki yang sebelumnya menganggap al-Qur’an sebagai teks ekslusif menjadi teks populer yang bisa didapatkan di mana saja (Wilson: 2014). Artinya hal yang sama juga terjadi saat ini, sebab sumber penafsiran tidak lagi terbatas pada literatur kitab-kitab tafsir melainkan sudah menjelma dalam konten-konten media sosial sehingga persepsi bahwa kajian tafsir hanya bisa diakses oleh kalangan pesantren kini telah terpatahkan dan bahkan menjadi bidang yang dikontestasikan (Hairul: 2019).
Perubahan yang demikian mendasar dan merombak hal-hal konvensional, akan menimbulkan kekacauan atau yang dikenal dengan istilah disrupsi (Dhakidae: 2017). Dalam kajian yang dibahas kali ini, bisa dikatakan bahwa persebaran tafsir di media sosial merupakan salah satu wujud disrupsi dalam bidang kajian tafsir konvensional. Setidaknya ada dua poin yang bisa dielaborasi sebagai bentuk implikasi disrupsi yang terjadi dalam bidang ini: 1) terjadinya kontestasi otoritarianisme penafsiran dan; 2) terjadinya simplifikasi atau kesalahan epistemik dalam penafsiran.
Baik poin pertama maupun kedua tidak bisa dilepaskan dari ragam kecenderungan ideologis di dalamnya. Kontestasi wacana ideologis dalam konten keagamaan di media sosial, dapat berimplikasi pada resepsi “agama” baru dan “kiblat” kebenaran oleh para pengguna media sosial (Foltz: 2003). Maka perebutan otoritarianisme menjadi tidak terelakkan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa di satu sisi media sosial menjadi ladang basah untuk melakukan indoktrinasi serta pemapanan posisi/ status quo serta menarik dan di sisi lain konten-konten di media sosial juga memiliki potensi nilai ekonomis yang menyebabkan content creator yang tidak memiliki penguasaan pun turut meramaikannya (Mabrur: 2020). Kualifikasi dan hirarki pengetahuan runtuh begitu saja di hadapan disrupsi yang disebabkan oleh media sosial dan kepakaran bukan lagi menjadi pertimbangan (the death of expertise) (Nichols: 2017).
Setidaknya ada dua aliran ideologi utama yang saling berkontestasi hingga kini yaitu inklusivisme dan ekslusivisme. Keduanya merupakan ideologi yang saling berlawanan dan saling mengkritisi satu dengan lainnya. Inklusivisme di satu sisi lahir merupakan ideologi terbuka yang populer dengan gerakan moderasi dan toleransi beragamanya serta merupakan counter dari ekslusivisme. Sedangkan ekslusivisme merupakan ideologi tertutup yang dikaitkan dengan gerakan intoleransi dan ekstremisme (Fathurrosyid: 2020)(Fikriyati, Fawaid: 2019). Kontestasi kedua aliran ideologi ini setidaknya melahirkan hal menarik lainnya untuk di-highlight serta dianlisisdi sini yaitu mengenai “poin kedua” yang dapat dikatakan sebagai residu negatif dari lahirnya kontestasi tersebut.
Untuk mengurai poin kedua ini, peta tipologi penafsiran Abdullah Saeed (2006) menjadi alternasi yang menurut penulis mampu dijadikan sebagai kerangka analisis. Dalam karyanya, Intepreting the Qur’an, ia membagi tipologi aliran pemikiran tafsir kontemporer ke dalam tiga kelompok yakni 1) tekstualis; 2) semi tekstualis dan 3) kontekstualis.
Kelompok tekstualis adalah penafsir yang mengambil makna literal teks semata dan berasumsi bahwa makna literal teks sudah mewakili nilai universal Al-Qur’an. Kemudian, semi tekstualis adalah penafsir yang sudah memperhatikan aspek kebahasaan namun tetap tidak memperhatikan aspek sosio-historis teks sehingga tetap masih menghasilkan makna yang kaku dan kurang relevan dengan zaman terkini. Lalu, kontekstualis merupakan penafsir yang mempertimbangkan secara detail aspek linguistik serta konteks sosio-historis dari sebuah teks baik konteks yang mengiringi lahirnya teks (konteks mikro) maupun konteks yang melingkupi zaman teks itu muncul (konteks makro). Aliran kontekstualis ini menekankan akan nilai-nilai universal yang terdapat dalam teks (al-Tsawabit) yang dapat diambil dan selalu relevan dengan zaman (Saeed: 2006).
Secara sederhana, berdasarkan uraian di atas, bisa diasumsikan bahwa tipologi pertama umumnya akan diisi oleh content creator yang sama sekali tidak memiliki kecakapan di bidang tafsir dan cenderung berpegang pada terjemahan. Sebab dalam bidang ini, pemahaman terhadap bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an (Q.S. 12/ 2) menjadi salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang mufasir. Al-Suyuthi (2008) misalnya mengutip pendapat Malik ibn Anas, dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an yang menegaskan bahwa:
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الأخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالما باللغة العربية
“Tidak diperkenankan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara mengenai Kitabullah jika ia bukan seorang yang ‘alim atau paham akan ilmu bahasa Arab”.
Pemahaman atas teks oleh subjek yang termasuk dalam tipologi pertama ini cenderung memungkinkan terjadinya simplifikasi metodologis dalam memahami teks dan menghasilkan pemahaman yang salah—sangat berpotensi ditunggangi kepentingan subjektivis tertentu semisal politisasi agama. Ketidakmampuan untuk memahami teks melalui sense of the original language karena kurangnya pemahaman atas ilmu alat juga akan akan berpotensi melahirkan pemahaman yang “liberal” karena melampaui apa yang termuat di dalam teks atau jika meminjam istilah Noland Barthes (1968) disebut the death of the author.
Selanjutnya pada tipologi kedua akan diisi oleh kreator konten yang umumnya hanya menitikberatkan pada upaya memahami teks secara tekstual dan sebagaimana dipahami di masa teks itu diproduksi. Hasilnya teks akan terlihat sebagai warisan kuno yang tidak mampu memberikan kontribusi apapun terhadap konteks yang dialami oleh penafsirnya itu sendiri. Bahkan teks yang dipahami demikian sangat memungkinkan menggiring audiens pada pemahaman yang apologetik dan ingin membangkitkan romatisme masa lalu—dalam bahasa Abdul Mustaqim (2019) disebut sebagai tipologi yang ya’budun al-nushus (menghamba pada teks). Tipologi ini bisa dianggap sebagai basis epistemologis adanya kategorisasi ideologi ekslusivisme. Padahal tataran pemahaman teks pada level ini masih baru menyentuh level zahir yang disebut oleh al-Zarkasyi (1988) sebagai level makna terendah.
Tipologi terakhir merupakan pembanding atas dua tipologi sebelumnya yang terkesan tidak mampu menghadirkan metodologi yang ideal dalam memahami teks. Pada tipologi ini kajian atas al-Qur’an harus didudukkan dalam metode epistemis yang tidak hanya berkutat pada penelaahan atas teks berdasarkan dirasah ma fi al-nash yang berlandaskan analisis sintagmatik-paradigmatik, namun juga melacak data-data historis yang disebut sebagai dirasah ma haula al-nash dan berlandaskan pada analisis sinkronik-diakronik (Khulli: 1961), untuk mendapatkan apa yang disebut dengan istilah ratio legis/ maqasid/ weltanschauung yang nantinya dikembangkan untuk menghasilkan produk penafsiran baru yang membawa nilai-nilai universal teks yang tidak memiliki batas kadaluarsa (Syamsuddin: 2009). Maka setidaknya konten tafsir di media sosial harus memuat dua hal tersebut yaitu kajian tekstual-historis serta kajian kontekstualisasi.
Tipologi yang disebutkan di akhir, dapat dikatakan mampu untuk meminimalisir kesalahan epistemik saat memahami al-Qur’an sebagai kitabullah sekaligus sebagai hudan li-nas serta mengurangi tendensi subjektivitas yang tidak berdasar. Selain itu juga memberikan ruang bagi lahirnya penafsiran-penafsiran baru yang kontributif dan responsif terhadap perkembangan zaman (Neuwirth: 2019), sehingga al-Qur’an senantiasa menjadi teks yang mampu berbicara kepada setiap umat di setiap masa, shalih li kulli zaman wa makan.
Bibliografi
Al-Khuli, Amin. Manahij Tajdid fi al- Nahwu wa al- Balagah wa al- Tafsir wa al-Adab. Qahirah dar al-Ma’rifat. 1961.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Risalah Publisher. 2008.
Al-Zarkashi, Badr al-Din Muhammad. Al-Burhan fi’ulum al-Qur’an. Juz II. Dar al-Fikr. 1988.
Anderson, Jon W. “The Internet and Islam‘s New Interpreters in New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere”. ed. Dale F. Eickelman and Jon W. Anderson. 2nd ed.. Indiana Series in Middle East Studies. Bloomington: Indiana University Press. 2003.
Dhakidae, Daniel. ed.. Era Disrupsi: Peluang Dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia. Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2017.
Fathurrosyid. “Nalar Moderasi Tafsir Pop Gus Baha’.” Suhuf:Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya Vol. 13. 2020.
Fikriyati. Ulya. and Ahmad Fawaid. 2019. “Pop-Tafsir on Indonesian YouTube Channel: Emergence. Discourse. and Contestations.” In Proceeding AICIS 2019.
Hairul. Moh Azwar. “Tafsir Al-Qur’an di Youtube.” Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol. 2. 2019.
Lukman, Fadhli. Digital Hermeneutics and A New Face of The Qur`an Commentary: The Qur`an in Indonesian`s Facebook. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 56. No. 1. 2018.
Mabrur. “Era Digital dan Tafsir al-Qur’an Nusantara: Studi Penafsiran Nadirsyah Hossen di Media Sosial”. Prosiding Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2020.
Mustaqim, Abdul. “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam”. Pidato Pengukuhan Guru Besar. UIN Sunan Kalijaga. 2019.
Neuwirth, Angelika. The Qur’an and Late Antiquity: A Shared Heritage. United Kingdom: Oxford University Press. 2019.
Nicols, Tom. The Death Of Expertise. USA: Oxford University Press. 2017.
Richard C. Foltz. Frederick M. Denny. dan Azizan Baharuddin. ed.. Islam and Ecology. Vol. 3. United States of America: Harvard University Press. 2003.
Saeed, Abdullah, Intepreting the Qur’an: Towards Contemporary Approach. US: Routledge. 2006.
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press. 2009.
Wilson, Brett. Translating the Qur’an in an Age of Nationalism: Print Culture and Modern Islam in Turkey. London: Oxford University Press. 2014.