Malam Seribu Rahmah

staialmusdariyah.ac.id

Biasanya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, yang terngiang di benak kaum Muslimin adalah Lailatul Qadr. Ada semacam semangat yang lebih menggebu di sepuluh malam terakhir setiap Ramadhan. Tidak heran jika harus ada semacam kepanitiaan untuk menjaring Lailatul Qadr sebagaimana terjadi di banyak masjid dan mushalla. Tentu saja itu sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw karena ada riwayat yang menegaskan betapa bersemangatnya Rasulullah Saw dalam beribadah di sepuluh malam terakhir.

Jadi, meskipun mendapatkan Lailatul Qadr adalah semacam kemewahan karena tidak semua orang yang menekuni sepuluh malam terakhir mendapatkannya, paling tidak, yang menekuni sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan adalah meneladani sunnah Rasulullah Saw. Hal itu, berkahnya pun tidak kurang banyaknya.

Bacaan Lainnya

Bersamaan dengan semangat untuk beribadah itu, terselip rasa sedih karena tidak lama lagi Ramadhan pergi. Memang demikianlah adanya. Setiap tamu pasti akan pergi dan Ramadhan juga adalah tamu dan juga pasti pergi. 

Ada juga yang mengistilahkan Ramadhan dengan Madrasatush Shawm yang berarti Sekolah Puasa. Maksudnya, bulan Ramadhan adalah masa-masa sekolah dan belajar atau pelatihan. Di bulan Ramadhan, fisik, mental, intelektual, dan spiritual umat Islam ditempa. Secara fisik, dilatih dengan lapar dan dahaga. Secara mental dilatih dengan menahan diri. Secara intelektual dilatih dengan berbagai macam kajian. Secara spiritual dilatih dengan ibadah-ibadah. Harapannya, umat Islam alumni Ramadhan adalah mereka yang siap untuk mengarungi bulan-bulan setelah Ramadhan dengan tetap menjadi orang baik. Namun, sebagaimana setiap tamu pasti akhirnya pergi, maka setiap sekolah pasti berakhir.  

Jadi, boleh saja umat Islam bersedih dengan perginya Ramadhan, tetapi sebagaimana sekolah, maka pasti ada akhir untuk sekolah. Seseorang tidak bisa terus-menerus bersekolah tanpa memanfaatkan ilmunya. Buat apa latihan lama-lama tetapi tidak pernah bertemu pertarungan yang sesungguhnya? Buat apa golok diasah tajam-tajam jika tidak dipakai memotong atau membelah?

Karena itulah kala Hari Raya tiba, maka itu ibarat wisuda. Tidak ada orang yang sedih kala wisuda, tapi keliru jika dipahami bahwa tantangan kehidupan sesungguhnya adalah lapar dan dahaga di bulan Ramadhan. Keliru jika dipahami bahwa target seorang bersekolah adalah wisuda. Target Ramadhan bukan Hari Raya dan tujuan puasa bukan pahala yang berlipat ganda. Target Ramadhan yang sesungguhnya adalah hari-hari setelah Ramadhan. Sebagaimana mereka yang bersekolah, maka target sesungguhnya adalah manfaat ilmu setelah wisuda.

Sebagaimana namanya, maka Lailatul Qadar berarti Malam Kekuatan atau the Night of Power. Kekuatan yang dilatih pada Ramadhan adalah kekuatan fisik, mental, intelektual, dan spiritual. Semua itu adalah modal yang penting agar umat Islam mampu mengarungi hari-hari di luar Ramadhan dengan lebih baik. 

Kekuatan yang disediakan Ramadhan mencapai kekuatan yang melampui seribu bulan, namun tidak semua orang mampu menggapai seribu bulan. Barangkali ada yang setengahnya, seperempatnya, seperenamnya, seperdelapannya, sepersepuluhnya, atau bahkan mungkin lebih sedikit lagi. Itulah yang digambarkan olen sebuah Hadis: Rubba shaaimin laysa lahuu min shiyaamihii illal juu’ wal ‘athsy. Artinya: Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.

Jadi, manfaat puasa sangat sangat sangat banyak hingga nilainya bisa melampaui seribu bulan. Manfaat puasa yang paling rendah adalah lapar dan dahaga jika yang berpuasa mampu mengambil manfaat dari lapar dan dahaga itu. Hadis di atas tidak memandang enteng lapar dan dahaga sebagai manfaat puasa karena itu adalah juga manfaat. Meski merupakan manfaat minimal yang berpuasa, lapar dan dahaga adalah hal penting bagi mereka yang mampu mengambil pelajaran darinya. Paling tidak, lapar dan dahaga adalah kenyataan yang berlaku kepada semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, tingkat ekonomi, agama, pilihan presiden, dan seterusnya. Pelajaran dari lapar dan dahaga adala rasa empati terhadap kenyataan lapar dan dahaga ini sehingga dengan mudah alumni Ramadhan bersedia membantu sesama.

Dengan demikian, kekuatan Ramadhan yang sesungguhnya adalah kekuatan rahmah atau kasih sayang. Umat Islam yang bersemangat untuk mengisi sepuluh terakhir Ramadhan demi menggapai Lailatu Qadr adalah sedang mengumpulkan kekuatan rahmah, sebuah kekuatan yang bisa mencapai lebih dari seribu bulan.

QS. al-Anbiya/21: 107 berbunyi: Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘aalamiin. Artinya: Dan Kami tidak menjadikan engkau (Muhammad) seorang rasul melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

Penegasan ayat di atas adalah posisi Nabi Muhammad Saw sebagai rasul sama dengan posisi beliau sebagai rahmah. Keduanya tidak terpisah, bagai dua sisi dari koin yang sama. Sedangkan titik penting Nabi Muhammad Saw menjadi rasul adalah saat turun Al-Qur’an kepadanya sehingga disebut-sebut sebagai saat-saat pelantikan beliau menjadi nabi dan rasul. Jadi, Al-Qur’an itu sendiri adalah rahmah. Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw adalah rahmah yang dilantik pada malam yang penuh rahmah. Kerena itu, kekuatan yang ada pada malam Lailatul Qadr adalah kekuatan rahmah.

Kini, tersisa sebuah pertanyaan: Bagaimana dampaknya orang-orang yang telah mengejar Lailatul Qadr bagi dunia? Tentu saja, alumni Ramadhan adalah mereka yang bersiap sedia menebarkan rahmah dengan bekal kekuatan fisik dan mental, kemampuan intelektual dan spiritual yang mumpuni ke seluruh penjuru dunia. Seberapa besar kekuatan Lailatul Qadr yang mampu dikumpulkan seorang hamba di bulan Ramadhan, maka sebesar itu pula rahmah yang mampu disebarnya kepada seluruh manusia. Barangkali ada yang sekuat lebih dari seribu bulan, ada yang setengahnya, ada yang seperempatnya, ada yang seperdelapan, dan seterusnya. Bahkan mungkin ada yang hanya berkekuatan 11 bulan dan setelah itu padam. Tidak masalah. Kekuatan rahmah yang hanya 11 bulan cukup untuk menerangi kasih sayang kepada seluruh umat manusia hingga Ramadhan tahun mendatang tiba. Insya Allah.

Yang masalah adalah saat hamba berlapar-lapar-dahaga karena puasa, berserak-serak suara karena membaca Al-Qur’an, dan berletih-letih begadang karena shalat malam, tetapi yang hadir darinya di luar Ramadhan hanyalah kebencian, ketamakan, caci maki, sumpah serapah, dan bahkan kezhaliman. Jangan-jangan kekuatan yang dikumpulkannya bukan kekuatan rahmah, tetapi kekuatan marah.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 Komentar

  1. Pencerahan luar biasa kanda, in Syaa Allah, jd peta konsep menelusuri jalan panjang di luar Ramadhan. 🙏