Seluruh komunitas Muslim di berbagai belahan dunia meyakini bahwa bulan Ramadan merupakan bulan yang sangat istimewa. Secara formal, setiap individu diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa pada bulan tersebut. Lebih dalam dari itu, esensi puasa bagi umat beriman yang beristirahat dari normalitas dan kehidupan sehari-hari mereka adalah untuk kembali berfokus pada penemuan makna hidup (Ramadan, 2009, p. 239). Tidak hanya menahan diri dari aktivitas biologis—makan, minum, dan berhubungan seksual, umat Muslim juga didorong untuk menumbuh-kembangkan spiritualitas, daya reflektif, rasa kemanusiaan, dan hubungan sosial yang baik selama bulan Ramadan berlangsung (Saud, 2013, pp. 48–49).
Salah satu ibadah yang dianjurkan dalam bulan Ramadan untuk mengultivasi spiritualitas umat beriman adalah membaca Al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui, ada begitu banyak riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad terkait keutamaan membaca Al-Qur’an. Hadis yang dinarasikan oleh Ibn Mas‘ūd misalnya, menyatakan bahwa Nabi bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan, sedangkan satu kebaikan tersebut dibalas oleh Allah dengan sepuluh kebaikan. Tidak dikatakan alif lām mīm sebagai satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lām satu huruf, dan mīm satu huruf”.
Berpijak pada hadis tersebut dan berbagai hadis lainnya yang menekankan keistimewaan membaca Al-Qur’an, umat Muslim kemudian berbondong-bondong untuk mengkhatamkan Al-Qur’an selama bulan Ramadan berlangsung. Tidak berhenti pada pengajian-pengajian di rumah dan/atau di masjid saja, aktivitas membaca Al-Qur’an hari ini telah bertransformasi sedemikian rupa hingga menjangkau ruang-ruang digital. Pada level tertentu, fenomena demikian sebetulnya mencerminkan hal yang positif bagi keberagamaan umat Muslim. Akan tetapi, menurut penulis, penekanan yang berlebihan pada keharusan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an cenderung akan mengabaikan salah satu dimensi yang paling fundamental dalam interaksi kita dengan Al-Qur’an, yaitu dimensi tażakkur (proses merenungkan sekaligus mengambil pelajaran dari Al-Qur’an).
Dalam tulisan ini, penulis hendak mengajak pembaca untuk merenungkan ulang dimensi krusial yang tidak terpikirkan dalam pergulatan sehari-hari kita dengan Al-Qur’an. Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk merevitalisasi pentingnya membersamai aktivitas membaca Al-Qur’an dengan proses tela’ah, renungan, dan pembelajaran. Melalui proses reflektif, berinteraksi dengan Al-Qur’an akan mempertajam daya pikir, memperhalus daya zikir (Q. 38:29), serta mengembangkan karakter yang berkeutamaan bagi manusia (Q. 20:113); suatu capaian yang selaras dengan tujuan utama dari berpuasa, yaitu membentuk pribadi yang bertakwa (Q. 2:183).
Al-Qur’an sebagai Kitab Pengingat
Penulis akan memulai uraian ini dengan mendiskusikan deklarasi Al-Qur’an bahwa dirinya adalah pengingat (al-żikr). Dalam Q. 15:9, Al-Qur’an menyatakan, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al- żikr, dan Kami pasti akan memeliharanya.” Secara garis besar, para mufasir, baik di abad pertengahan maupun di era modern, bersepakat bahwa makna al- żikr dalam Q. 15:9 adalah Al-Qur’an (al-Ṭūsī, 2019, p. 274; al-Māwardī, n.d., p. 149; al-Maraghi, 1946, p. 9; Tabataba’i, 1997, p. 99).
Sementara itu, makna dari penjagaan terhadap Al-Qur’an adalah bahwa dalam Al-Qur’an, terkandung kebenaran universal, komprehensif, dan perenial yang berlaku sepanjang zaman. Sekaitan dengan ini, perkembangan akal budi manusia dan kemunculan berbagai ilmu pengetahuan baru akan menjadi bukti-bukti yang menjustifikasi kebenaran tersebut, tandas penulis tafsir al-Kāsyif (Mughniyyah, n.d., p. 468).
Di tempat lain, Al-Qur’an juga menegaskan bahwa ia merupakan kitab yang mengandung peringatan (Q. 38:1). Segala sesuatu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, termasuk kisah-kisah mengenai umat terdahulu, merupakan pengingat bagi umat manusia yang hidup hari ini (Q. 20:99). Sekalipun mengambil bentuk kesusasteraan yang tinggi dan mengandung fungsi estetis yang khas, Al-Qur’an sendiri menolak untuk diidentifikasi sebagai syair (Q. 36:69).
Sebaliknya, Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai kitab pengingat yang darinya manusia dapat mengambil pelajaran untuk kehidupan mereka (Q. 17:41). Lebih jauh lagi, Q. 68:52 dan 81:27 menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah pengingat bagi alam semesta beserta seluruh penghuninya.
Sampai di sini, kita dapat mengajukan pertanyaan, apa sebetulnya yang hendak diperingatkan oleh Al-Qur’an? Menurut Khaled Abou El Fadl (2014, pp. 11–12), Al-Qur’an secara konsisten mengingatkan manusia terkait kebenaran (keesaan Tuhan) dan nilai-nilai kebaikan yang telah dibekali Tuhan dalam diri mereka. Secara implisit, Al-Qur’an seakan menyapa pembacanya untuk bergabung (kembali) di dalam suatu percakapan yang telah berlangsung lama (Q. 7:172 El Fadl, 2001, p. 20).
Sebagai teks yang mengandung kebenaran abadi dan panduan etis serta diperuntukkan secara universal bagi umat manusia, Al-Qur’an berusaha untuk menghubungkan fitrah dan kepekaan moral pembacanya kepada kesadaran terkait keesaan Tuhan (tauḥīd) dan hukum moral yang universal (natural law). Maka dari itu, pergumulan dengan teks Al-Qur’an sudah seharusnya dapat menghadirkan pengalaman religius dan makna hidup bagi kita, terutama dalam kaitannya dengan penghubungan (kembali) jiwa kita dengan sesuatu yang paling primordial (Tuhan) (Shabestari, 2014).
Membaca Al-Qur’an: Belajar Merealisasikan Kehendak
Untuk memperoleh pengalaman religius dan pemahaman spiritual dari Al-Qur’an, umat manusia dituntut untuk mengenal mekanisme kehendak mereka, mempelajarinya, dan merealisasikannya secara tepat. Sejatinya, perjumpaan dengan Al-Qur’an adalah undangan dan sambutan bagi pencarian abadi dalam diri manusia—kebutuhan eksistensial akan makna—sehingga membebaskan pikiran dan perasaan manusia sekaligus mengajak mereka untuk mengamati, mengobservasi, menganalisis, menafsirkan, dan memahami kandungan teks tersebut (Ramadan, 2009, p. 91).
Tatkala berjumpa dengan ayat-ayat Al-Qur’an, kita kemudian dituntut agar tidak hanya menjadi penerima pasif dari apa yang kita lantun-dengarkan. Dalam hal ini, imperatif Al-Qur’an dengan tegas mendorong kita secara aktif untuk merealisasikan kehendak kita dalam rangka mengambil pelajaran dari apa yang kita baca.
Dalam Q. 74:54-56 dan 76:29-30, Al-Qur’an menegaskan bahwa ia akan tampil sebagai tażkirah/admonition (peringatan) bagi manusia, hanya ketika seseorang yang mempersepsi fenomena kehadiran ayat-ayat Al-Qur’an dalam dirinya mampu ‘menghendaki’ untuk mengambil berbagai pelajaran dari Al-Qur’an. Dalam hal ini, kita memerlukan kualitas kehendak yang kuat agar dapat memahami kandungan Al-Qur’an, menubuhkan makna-maknanya dalam diri kita, dan memproyeksikan suatu kehidupan yang etis. Dan, hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui proses mengalami, berinteraksi, dan menghayati ayat-ayat Al-Qur’an secara aktif dan berkelanjutan.
Ayat-ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa peringatan Tuhan dan kehendak untuk mengambil pelajaran dari Al-Qur’an adalah nexus (pertalian) yang menghubungkan agensi Tuhan dengan agensi manusia (al-Syirazi, 2003, pp. 558–559; Amrullah, 2001, pp. 286–287; Qutb, 2003, p. 3763). Maksudnya, dorongan untuk mengambil pelajaran dari Al-Qur’an mengandaikan agensi manusia dalam berkehendak. Pada saat yang sama, Al-Qur’an juga mengeksplisitkan bahwa kapasitas kehendak tersebut digaransikan melalui agensi Ilahi. Pertalian vertikal dan horizontal dari kedua bentuk agensi ini yang oleh sejumlah sarjana Muslim di kemudian hari disebut sebagai al-amr bain al-amrain (Mughniyyah, 1993, pp. 74–76; Mutahhari, 2015, pp. 114–115; Yazdi, 2008, pp. 183–184).
Al-Qur’an dan Ketenangan Jiwa
Renungan intelektual dan pengalaman spiritual yang dicapai seseorang melalui interaksi dialektis bersama Al-Qur’an akan menumbuhkan ketenangan jiwa dalam diri mereka. Dalam Q. 13:28, Al-Qur’an menyatakan bahwa mengingat Allah, yang salah satu caranya adalah dengan membaca Al-Qur’an, akan membuat hati (jiwa) manusia menjadi tenteram (al-Qāsimī, 1957, p. 3677). Tentu saja, maksud mengingat dalam ayat tersebut bukan sekadar melalui ungkapan lisan, seperti tasbīḥ, tahlīl, taḥmīd, dan takbīr.
Zikir, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nasr Makarim Syirazi, juga mesti mencakup upaya untuk mengorientasikan diri secara eksistensial kepada Tuhan; menyadari bahwa Dia senantiasa hadir dan membersamai kita. Orientasi eksistensial demikian adalah titik tolak bagi seluruh gerak, usaha, dan perbuatan kita dalam merealisasikan nilai-nilai kebaikan di dunia (Syirazi, 2013, p. 395).
Pada titik ini, membaca Al-Qur’an akan membentangkan suatu cakrawala makna bagi manusia untuk mengingat Tuhan dan menemukan arti hidup yang autentik. Diperhadapkan dengan berbagai absurditas dan krisis makna hidup (nihilism) yang menjadi penanda zaman saat ini, manusia dituntut untuk kembali merenungkan pertanyaan ontologis terkait asal-usul, makna hidup, dan tujuan dari keberadaan mereka.
Pada titik ini, pergumulan yang dinamis dan resiprokal dengan Al-Qur’an menemukan relevansinya. Mereka yang membaca Al-Qur’an dengan penuh perenungan dan kemudian dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan akan menemukan tujuan eksistensial bagi kehidupannya, yaitu mencapai kesempurnaan hidup dan kebahagiaan yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat (Qera’ati, 2014, pp. 242–246).
Poin penting yang perlu penulis tekankan adalah bahwa refleksi yang memadai terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dapat kita peroleh apabila kita mampu menarik diri dari kerumunan manusia dan memusatkan perhatian kepada apa yang kita baca. Poin tersebut mengingatkan kita pada salah satu aforisma dari guru agung Alexandria, Ibn ‘Ataillah.
Dalam al-Ḥikām, ia menyatakan “Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hati daripada ‘uzlah, di mana ia dapat memasuki medan meditasi” (Ibn ‘Ataillah, 1984, p. 25). Term ‘uzlah (menarik diri) dalam aforisma ini perlu dipahami sebagai sebuah upaya untuk menarik diri secara berkala dari keramaian komunal serta kehidupan keseharian yang bergerak begitu cepat dalam rangka menemukan makna hidup yang autentik, bukan sebagai indivdualisme egoistis maupun asketisme yang alergi terhadap dunia.
Kultivasi Pribadi yang Berkeutamaan bersama Al-Qur’an
Selain membentangkan horizon yang dapat menghubungkan diri dengan Tuhan, pembacaan yang memadai terhadap Al-Qur’an akan menumbuh-kembangkan kesadaran moral manusia. Dalam Q. 20:113, Al-Qur’an menyatakan bahwa ia, sebagai pengingat, diturunkan agar umat manusia bertakwa. Sehubungan dengan ini, Fazlur Rahman (2009) berargumen bahwa tujuan utama dari wahyu Al-Qur’an adalah untuk menghidupkan kembali ketakwaan yang telah dianugerahkan Tuhan dalam fitrah manusia sebagai bekal untuk menjalani kehidupan. Dengan menamai dirinya sebagai pengingat, Al-Qur’an bermaksud untuk mengingatkan umat manusia mengenai perbedaan yang jelas antara kebaikan dengan keburukan; suatu distingsi yang telah tertanam dalam diri mereka (Brown, 1999, p. 183).
Maka dari itu, pergulatan manusia dengan Al-Qur’an berkaitan erat dengan bagaimana mereka berinteraksi dengan yang-lain secara etis. Al-Qur’an, demikian tulis Abdulaziz Sachedina (2009, p. 82, 2022, p. 121), hendak menyediakan sebuah sumber petunjuk moral, yang mana siapapun dengan menggunakan akal sehatnya dapat mengapropriasi suatu pedoman etis dari teks tersebut. Pedoman tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai basis untuk mengembangkan dan mewujudkan keadilan sosial yang bermanfaat bagi manusia, baik secara individual maupun komunal. Pada titik ini, mempraktikkan agama, termasuk membaca Al-Qur’an, berjalan beriringan dengan bagaimana seseorang mesti berpartisipasi di dalam tatanan sosial untuk membentuk suatu masyarakat yang etis (Ramadan, 2001, p. 39).
Pada saat yang sama, mengambil pelajaran, termasuk dari membaca Al-Qur’an, akan menghindarkan manusia dari ragam tindakan amoral yang menuhankan hawa nafsu mereka (Q. 45:23). Al-Qur’an yang membingkai masalah etika ke dalam bingkai eskatologi Islam kemudian menegaskan bahwa di hari kemudian, semua manusia akan dinilai dan dihakimi di hadapan pengadilan Ilahi berdasarkan performasi moral mereka sebagai anggota masyarakat dunia (Sachedina, 2001, p. 28).
Mereka yang tidak berpegang teguh kepada nilai-nilai universal Al-Qur’an yang universal dan/atau tidak mengambil pelajaran darinya akan dimintai pertanggungjawaban moral di hari kemudian (Q. 43:43-44). Hemat penulis, interaksi yang tepat dengan Al-Qur’an akan mengantarkan kita menuju kesadaran Ilahi sekaligus menumbuhkan visi berikut sensitivitas etis terhadap dunia dan kemanusiaan.
Sebagai catatan penutup, penulis hendak menegaskan kembali bahwa membaca Al-Qur’an mesti disertai dengan upaya untuk memahami, merenungkan, dan mengamalkan kandungannya. Dalam konteks ini, obsesi yang berlebihan terhadap kuantitas dari mengkhatamkan Al-Qur’an hanya akan menjauhkan seseorang dari dimensi tażakkur dalam interaksi mereka dengan Al-Qur’an.
Sebaliknya, upaya membersamai aktivitas pembacaan Al-Qur’an dengan usaha untuk mengambil kebijaksanaan dari teks tersebut akan memberi akses bagi pembaca untuk belajar meningkatkan mutu kehendaknya, menemukan dirinya berjumpa (kembali) dengan Tuhan, dan menghadirkan ketenangan bagi jiwanya.
Mengingat bahwa teks-teks keagamaan, tak terkecuali Al-Qur’an, menyediakan makna religius, eksistensial, moral, dan sosial bagi kehidupan, kita lantas dituntut untuk menemukan, menafsirkan, dan mengapropriasi “dunia” atau “jalan” hidup yang dibentangkan oleh horizon teks tersebut (Ricoeur, 1995, pp. 43–44). Apropriasi yang proporsional terhadap jalan hidup yang dibentangkan oleh Al-Qur’an juga akan mempertajam perasaan moral pembacanya.
Dengan kata lain, pembacaan Al-Qur’an yang disertai upaya perenungan akan menstimulus kesadaran religius dan etika sosial manusia sekaligus. Maka dari itu, interaksi yang tepat bersama Al-Qur’an akan membentuk pribadi yang bertakwa (religius-etis).
Daftar Pustaka
al-Maraghi, A. M. (1946). Tafsīr al-Marāghī: Vol. XIV. Syirkah Maktabah wa Maṭba‘ah al-Bābī al-Ḥalbī wa Awlāduh.
al-Māwardī, A. al-Ḥasan ‘Ālī ibn M. ibn Ḥabīb. (n.d.). Al-Nukat wa al-‘Uyūn: Vol. III ( al-S. ibn ‘Ābd al-M. ibn ‘Abd al-Raḥīm, Ed.). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Qāsimī, M. J. al-Dīn. (1957). Maḥāsin al-Tāwīl: Vol. IX (M. F. ‘Abd al-Bāqī, Ed.). Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabiyyah.
al-Syirazi, M. al-Husaini. (2003). Taqrīb Al-Qur’ān ilā al-Ażhān: Vol. V. Dār al-‘Ulūm.
al-Ṭūsī, A. J. (2019). Al-Tibyān fī Tafsīr Al-Qur’ān: Vol. VIII. Mu’assasah al-Nasyr al-Islāmī.
Amrullah, H. A. A. (2001). Tafsir Al-Azhar: Vol. X (IV). Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura.
Brown, D. (1999). Islamic Ethics in Comparative Perspective. The Muslim World, 89(2), 181–192. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1999.tb03677.x
El Fadl, K. A. (2001). Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. Oneworld Publications.
El Fadl, K. A. (2014). Reasoning with God: Reclaiming Shari’ah in the Modern Age. Rowman & Littlefield.
Ibn ’Ataillah. (1984). Ibn ‘Aṭā’illāh’s Ṣūfī Aphorisms (Kitāb al-Ḥikam) (V. Danner, Trans.). Brill.
Mughniyyah, M. J. (n.d.). Tafsīr al-Kāsyif: Vol. IV. Dār al-Anwār.
Mughniyyah, M. J. (1993). Falsafāt Islāmiyyah. Dār al-Jawād.
Mutahhari, M. (2015). Al-’Adl al-Ilāhī (M. ‘Abd al-Mun‘im, Trans.). Dār al-Irsyād.
Qera’ati, M. (2014). Tafsīr al-Nūr: Vol. IV (M. Ayyub, Trans.). Dār al-Mu’arrikh al-‘Arabī.
Qutb, S. (2003). Fī Ẓilāl Al-Qur’ān: Vol. VI. Dār al-Syurūq.
Rahman, F. (2009). Major Themes of the Qur’an (Second Edition). The University of Chicago Press.
Ramadan, T. (2001). Islam, the West and the Challenges of Modernity (S. Amghar, Trans.). The Islamic Foundation.
Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford University Press.
Ricoeur, P. (1995). Figuring the Sacred: Religion, Narrative, and Imagination (D. Pellauer, Ed.; M. I. Wallace, Trans.). Fortress Press.
Sachedina, A. (2001). The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Oxford University Press.
Sachedina, A. (2009). Islam & The Challenge of Human Rights. Oxford University Press.
Sachedina, A. (2022). Islamic Ethics: Fundamental Aspects of Human Conduct. Oxford University Press.
Saud, L. (2013). Religious Structures: Tawhīd. In A. B. McCloud, S. W. Hibbard, & L. Saud (Eds.), An Introduction to Islam in the 21st Century (pp. 31–50). Blackwell Publishing.
Shabestari, M. M. (2014). Naẓariyyah al-Qirā’ah al-Nabawiyyah li al-‘Ālam: Kalām Allah wa Kalām al-Basyar. Qaḍāyā Islāmiyyah Mu‘āṣirah, 57–58, 320–349.
Syirazi, N. M. (2013). Al-Amṡal fī Tafsīr Kitab Allah al-Munzal: Vol. VI. Mu’assasah al-A’lamī li al-Maṭbū‘āt.
Tabataba’i, M. H. (1997). Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qurʾān: Vol. XII. Muʾassasah al-’Alamī li al-Maṭbūʿāt.
Yazdi, M. T. M. (2008). Durūs fi al-‘Aqīdah al-Islāmiyyah: Vol. I. Dār al-Rasūl al-Akram.