Asimetri pada pelbagai bidang dalam masyarakat masih terus ditelusuri dan dipelajari. Terutama, asimetri yang menyangkut pada hak laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, acap kali ditemukan diskriminasi dan sikap membeda-bedakan terhadap perempuan. Padahal, laki-laki dan perempuan mengemban derajat yang sama (Irvan: 2021, 64) Sebagai solusi, Al-Qur’an dan agama Islam menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah Swt (Rizki: 2025, 25)
Mengenal Feminisme dan Patriarki
Pada Linguistik, Feminisme diketahui berasal dari bahasa Latin, “femina”, yang dimaknai sebagai sifat perempuan. Adapun, “isme” dimaknai sebagai sebuah pemahaman. Lebih lengkap lagi, feminisme diartikan sebagai pemahaman akan perempuan. (Lisa: 1986, 107) Dulunya, istilah feminisme berawal dari anggapan atas wujud ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, perlu diadakan gerakan untuk menyelasaikan masalah terkait. (Hafid: 2021, 98)
Patriarki acap kali dimaknai sebagai batasan sosial yang menuntut bahwa, hak sosial, politik dan sebagainya sebaikya dikuasai oleh laki-laki bukan perempuan. (Syahrizan: 2024, 123) Pada konteks linguistik, patriarki berangkat dari term patriarkat, yang bermakna “keadaan yang memberikan ruang kepada laki-laki agar menempati penguasa tetap dan tunggal”. Sehingga, pada konteks masyarakat hal demikian memunculkan masalah kesenjangan gender. (Nursaptini: 2021, 16)
Biografi Mufassir dan Corak Tafsir Al-Munir Wahbah Ibn Musthafa al-Zuhaili atau dikenal dengan Wahbah Zuhayli ialah ulama’ ahli tafsir sekaligus ahli fiqih dari Syam. Beliau diketahui terlahir pada tahun 1932 M yaitu di Suriah. Beliau dikenal sebagai pribadi yang rajin dan istiqomah (Ayazi: 1386, 1190). Selain itu, beliau juga merupakan pribadi yang cukup aktif mengajar hingga diangkat menjadi Dekan dan Guru Besar di Damaskus, Suriah (Saiful: 2011, 134) Beliau diketahui meninggal pada Sabtu, 08 Agustus 2015 pada umur 83 tahun (Saiful: 2008, 174)
Di antara karya beliau yang cukup fenomal ialah Tafsir al-Munir Fi al-‘Aqidat wa al-Syari’at wa al-Manhaj. Tafsir tersebut menggunakan metode bi al-ma’tsu>r dan bi al-ra’yi. Adapun pada konteks fikih, Wahbah menganut mazhab Hanafi. (Faizah: 2011, 169) Dalam menguraikan ayat, beliau menganut gaya Muhammad ‘Abduh, yaitu menghubungkan dengan teori-teori ilmiah yang teruji dan mengutamakan pembahasan yang logis (Ayazi: 1386, 1192)
Analisis Wahbah Zuhayli pada Q. S Al-Nisa’ [4]: 34 Mengenai Kesetaraan Gender Feminisme dan Patriarki hingga hari ini masih menjadi pembahasan yang menarik. Dalam Al-Qur’an, diskusi yang dikehendaki terlihat dalam Q. S Al-Nisa’ [4]: 34,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ…
Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya…”
Pada Tafsir Al-MuniRr, Wahbah Zuhayli menerangkan atmosfer feminisme pada Q. S Al-Nisa’ [4]: 34 dalam pembahasan yang luas. Adapun sebelum menguraikan hal yang dimaksud, perlu diuraikan terlebih dahulu asbabun nuzul Q. S Al-Nisa’ [4]: 34.
Diriwayatkan dari Ibnu Hatim dan Hasan al-Basri, beliau berkata, “Telah datang kepada Rasulullah Saw seorang perempuan yang mengadu bahwa ia telah ditampar oleh suaminya”. Nabi Saw menjawab, “balasannya adalah qisas”. Kemudian Allah Swt menurunkan ayat “…al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’…” atau “…para lelaki adalah pemimpin bagi para wanita..”. Lalu perempuan tersebut kembali tanpa diperintahkan untuk menunaikan qisas. (Zuhayli:2009, 57)
Tidak cukup pada asababun nuzul, Wahbah Zuhayli juga merelasikan dengan ayat-ayat sebelumnya (munasabat al-ayat). Menurut beliau, Allah Swt menyebutkan demikian (al-rijal qawwamun ‘ala al-nisa’) karena 2 alasan. Pertama, bagian yang diperoleh laki-laki lebih banyak dari pada perempuan (Q. S Al-Nisa’ [4]: 11). Kedua, Allah Swt melarang perempuan untuk berangan-angan (berharap) atas perkara yang telah ditetapkan kepada laki-laki (Q. S Al-Nisa’ [4]: 32). (Zuhayli:2009, 57)
Secara tegas, Wahbah Zuhayli tidak mengatakan bahwa, derajat laki-laki lebih tinggi (tidak sederajat) dari pada perempuan (patriarki). Namun, beliau menjelaskan melalui Q. S Al-Nisa’ [4]: 34 bahwa terdapat 2 alasan utama laki-laki menjadi penanggung jawab (diangggap lebih tinggi) atas perempuan (Zuhayli:2009, 58):
Pertama, wujud laki-laki secara postur dan penciptaan lebih kuat dari perempuan. Wahbah Zuhayli berpendapat bahwa, bentuk fisik laki-laki lebih sempurna, kedewasaannya lebih matang, akalnya lebih kuat, emosinya mudah terkontrol dan struktur tubuhnya lebih sempurna. Maka, laki-laki diutamakan dalam berbagai aspek, seperti berfikir, berpendapat, memutuskan masalah dan berkapabilitas. Oleh karena itu, perkara kenabian, kepemimpinan, pengadilan dan syiar agama islam seperti adzan, iqomah, khutbah dan jihad diamanahkan kepada laki-laki. (Zuhayli:2009, 58)
Kedua, taklif wajib berinfak kepada istri dan kerabat terdekat. Wahbah Zuhayli mengatakan, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Hal demikian merupakan kebaikan-kebaikan yang digagas dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Q. S Al-Nisa’ [4]: 228, “…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”.
Wahbah Zuhayli menambahkan interpretasi dalam beberapa hal: 1) manajemen rumah tangga, membimbing, mengarahkan, dan mengawasi keluarga adalah tuntutan yang diberikan kepada laki-laki berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Lebih luas lagi, segala jenis tanggung jawab dan beban hidup (tuntutan) juga diserahkan kepada laki-laki berdasarkan dudrah atau kemampuan mereka. 2) Adapun perempuan, mereka mendapat hak berupa perlindungan atau jaminan dalam harta mereka, atau dijamin akan nafkahnya. Namun, sebagai kewajiban, mereka diberi kebebasan serta dituntut agar mampu mengatur keuangan keluarga dengan baik. (Zuhayli:2009 ,58)
Pada konteks feminisme, Wahbah Zuhayli sungguh tidak terlalu berkobar-kobar menyatakan hal tersebut dalam tafsirnya. Namun, beliau menguraikan beberapa logika (melalui pemaknaan ayat) yang cukup membantu untuk ber-istidlal bahwa, laki-laki dan perempuan adalah setara. Adapun laki-laki dikatakan lebih superior dari perempuan karena beban dan amanah yang ditangguhkan kepadanya tidak sama.
Daftar Pustaka
Ayâzî, Muhammad A’lî. al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum (Iran: Wizârah al-Syâqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1386 H.
Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 169
Ghofur, Saiful Amin Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Ghofur, Saiful Amin. Mozaik Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2011, 136
Irvan, “Analisis Pengaru Ketimpangan Gender Terhadap Pertumbuhn Ekonomi di Sulawesi Selatan”, ICOR: Journal of Regional and Economics, Vol. 02, No. 03 (Desember: 2021), 64
Muhammad, Hafid Nur. “FEMINISME DALAM AL-QUR’AN (Analisis Penafsiran Fatima Mernissi Surat An-Nisa Ayat 34)”, Al-Muhafidz: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 01, No. 02 (Agustus, 2021), 98.
Nursaptini, “Budaya Patriarki dan Akses Perempuan dalam Pendidikan”, AL-MAIYYAH: Media Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan”, Vol. 12, No. 02 (February, 2021), 16.
Rizki, Saiful Amin. “Kedudukan Feminisme dalam Islam Menurut K. H Hussein Muhammad”, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Sosial, Vol. 03, No. 04 (Januari, 2025), 235.
Syahrizan, Muhammad, “Budaya Patriarki dalam Rumah Tangga menurut Perspektif Hukum Islam”, Bertuah: Jurnal of Shariah and Islamic Economics, Vol. 05, No. 01 (April, 2024), 123.
Tuttle, Lisa, Encylopedia of Feminim. New York: Fact Of File Publication, 1986.
Zuhayli (al), Wahbah bin Musthafa, Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-‘Aqi>dat wa al-Syari>’at wa al-Manhaj. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009.