Secara literal, hermeneutika berarti penafsiran. Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang bermakna menafsirkan. Istilah ini dikaitkan dengan tokoh mitologi Yunani bernama Hermes atau Mercurius, yang dikenal sebagai dewa pembawa pesan dari para dewa kepada manusia.
Sebagian pendukung hermeneutika bahkan menghubungkan figur Hermes dengan Nabi Idris, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai sosok yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan mendalam, sehingga menegaskan peran penting hermeneutika dalam proses memahami dan menginterpretasikan pesan-pesan suci.
Hermeneutika berasal dari tradisi Yunani, dan kemudian berkembang menjadi sebuah metodologi sistematis untuk menafsirkan teks-teks suci, khususnya Bibel. Seiring waktu, pendekatan ini diadaptasi dan dikembangkan oleh para teolog serta filsuf Barat, meluas fungsinya menjadi metode penafsiran yang komprehensif dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk studi ilmu sosial, humaniora, dan filsafat, untuk memahami makna di balik teks, konteks, dan budaya. (Husaini & Baghdadi, 2007: 7-8)
Hermeneutika, sebagai cabang filsafat yang membahas teori penafsiran teks, khususnya teks-teks suci, telah menjadi perdebatan panjang dalam studi keislaman kontemporer. Meskipun metode ini berkembang dalam tradisi Barat untuk memahami teks-teks agama Kristen, beberapa kalangan mencoba mengadaptasikannya ke dalam studi Al-Qur’an. Namun, adaptasi ini menuai kritik tajam dari para pemikir Muslim seperti Abdurrahman Baghdadi dan Adian Husaini. Keduanya menilai bahwa hermeneutika, khususnya dalam tradisi Barat, tidak sesuai dengan prinsip dasar dalam memahami wahyu Al-Qur’an.
Hermeneutika dalam konteks Barat memiliki sejarah panjang yang berakar dari pemikiran filsuf seperti Friedrich Schleiermacher, Hans-Georg Gadamer, hingga Jacques Derrida. Dalam perkembangan modern, hermeneutika tidak hanya membahas makna teks tetapi juga bagaimana teks dipahami dalam konteks yang berbeda-beda. Hal ini menjadi problematis ketika diterapkan pada Al-Qur’an karena Al-Qur’an bukan sekadar teks biasa, melainkan wahyu ilahi yang memiliki otoritas mutlak. Inilah yang menjadi titik kritik utama dari Abdurrahman Al-Baghdadi dan Adian Husaini.
Kritik Abdurrahman Baghdadi terhadap Hermeneutika Abdurrahman Baghdadi mengkritik hermeneutika sebagai produk epistemologi Barat yang tidak kompatibel dengan tradisi keilmuan Islam. Baghdadi menegaskan bahwa hermeneutika lahir dari krisis otoritas teks dalam agama Kristen Barat, yang berbeda secara fundamental dengan Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi yang terjaga. Baginya, hermeneutika membawa kecenderungan relativisme makna, membuka ruang interpretasi subjektif tanpa batas, yang dapat mengancam kemurnian pesan wahyu. (Husaini & Baghdadi 2007: 13-17)
Lebih lanjut, Baghdadi menilai bahwa hermeneutika modern, terutama versi dekonstruksionis seperti yang dikembangkan Jacques Derrida, berpotensi merusak otoritas teks suci. Hermeneutika mendorong pembacaan yang terus-menerus terfragmentasi, di mana makna tidak pernah bersifat final (Mangihut, 2019: 69). Pendekatan ini bertentangan dengan keyakinan bahwa Al-Qur’an memiliki makna yang jelas dan otoritatif. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Hijr/15: 9, “Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, baik dari segi teks maupun maknanya.
Baghdadi juga mengkritik bahwa hermeneutika menempatkan pembaca sebagai pusat makna, bukan teks itu sendiri. Dalam studi Al-Qur’an, pendekatan ini bisa mengaburkan pesan ilahi yang bersifat universal dan abadi. Tafsir Al-Qur’an dalam tradisi Islam selalu berlandaskan pada metodologi ilmiah yang ketat, seperti ilmu nahwu, balaghah, dan asbabun nuzul, yang bertujuan menjaga konsistensi makna sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Kritik Adian Husaini terhadap Hermeneutika Adian Husaini, seorang intelektual Muslim kontemporer, mengkritik hermeneutika dalam konteks liberalisme Islam. Ia menilai bahwa hermeneutika sering kali digunakan sebagai alat untuk meliberalisasi ajaran Islam, dengan menafsirkan ulang teks-teks suci untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai modern yang bertentangan dengan syariat Islam. Husaini menegaskan bahwa pendekatan ini melemahkan otoritas ulama dan tradisi keilmuan Islam yang telah mapan. (Husaini & Baghdadi, 2007: 21)
Menurut Husaini, hermeneutika mengklaim diri sebagai metode ilmiah yang netral, namun secara epistemologis sarat dengan bias sekuler. Oleh karena itu, penggunaan hermeneutika dalam studi tafsir berisiko membawa agenda ideologis tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Husaini menekankan pentingnya merujuk kepada pemahaman ulama salaf dan metodologi tafsir klasik yang berbasis pada ilmu-ilmu alat seperti ilmu nahwu, balaghah, dan asbabun nuzul. (Husaini, 2006, 153-155)
Husaini juga mengaitkan kritiknya dengan QS. Al-Isra/17:36, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” Ayat ini menegaskan pentingnya ilmu dalam memahami Al-Qur’an. Hermeneutika yang mengedepankan pengalaman subjektif tanpa landasan ilmiah yang kokoh bisa mengarah pada penafsiran spekulatif yang berbahaya bagi umat Islam.
Kaitan dengan Ayat-ayat Al-Qur’an Kritik Baghdadi dan Husaini terhadap hermeneutika dapat diperkuat dengan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an yang menegaskan pentingnya otoritas wahyu dan batasan dalam penafsiran:
QS. Al-Hijr/15:9 “Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. “Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, baik dari segi teks maupun maknanya. Hermeneutika yang membuka peluang bagi interpretasi subjektif berpotensi bertentangan dengan konsep penjagaan wahyu ini.
QS. Al-Isra/17:36 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” Ayat ini menegaskan pentingnya ilmu dalam memahami Al-Qur’an. Hermeneutika yang mengedepankan pengalaman subjektif tanpa landasan ilmiah yang kokoh bisa mengarah pada penafsiran spekulatif.
QS. An-Nahl/16:89 “Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki kejelasan makna dan mampu memberikan peyunjuk yang terang bagi umat manusia. Hermeneutika modern yang menganggap teks selalu ambigu bertentangan dengan prinsip ini.
QS. Ali ‘Imran/3:7 “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya.” Ayat ini memperingatkan tentang bahaya penafsiran yang disengaja untuk menyesatkan. Kritik Husaini terhadap hermeneutika liberal sejalan dengan peringatan ini. karena pendekatan hermeneutika semacam itu dapat digunakan untuk membenarkan ideologi atau pandangan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Kesimpulan Abdurrahman Baghdadi dan Adian Husaini mengkritik hermeneutika karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam memahami Al-Qur’an. Hermeneutika yang menekankan relativisme makna, subjektivitas interpretasi, dan dekonstruksi otoritas teks dinilai bertentangan dengan tradisi keilmuan Islam yang menegaskan otoritas wahyu dan pentingnya metodologi tafsir yang sahih. Kritik ini diperkuat dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan pentingnya menjaga kemurnian makna wahyu dan berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat suci.
Referensi:
Adian Husaini & Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2007
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Gema Insani, 2006
Mangihut Siregar, Kritik Terhadap Teori Dekonstruksi Derrida, Journal of Urban Sociology, V.2.1, 2019.
QS. Al-Hijr/15:9, QS. Al-Isra/17:36, QS. An-Nahl/16:89, QS. Ali ‘Imran/3:7