Childfree dan Maternal Dilemma Perspektif Al-Qur’an

Definisi dan Perkembangan Childfree

Childfree secara sederhana adalah orang yang hidup tanpa anak, sebagaimana yang ditemukan dalam kamus Merriam Webster yang mengartikan childfree dengan without children. Akan tetapi pengertian secara sederhana ini melahirkan banyak pertanyaan mengenai kategorisasi seseorang dapat disebut childfree. Sejak tahun 1970, childfree diartikan sebagai orang yang tidak memiliki anak dan tidak ingin memiliki anak, baik anak kandung maupun anak angkat (Hadi, 2022).

Bacaan Lainnya

Moore mempersempit definisi ini dengan menjelaskan lebih detail mengenai kata “memilih,” sehingga childfree berarti mereka yang memiliki kesanggupan secara finansial dan kesehatan untuk memiliki anak, akan tetapi memilih untuk tidak memiliki anak (Utamidewi, 2022). Kata “memilih” juga disematkan dalam pengertian yang terdapat di kamus Collins. Definisi serupa juga dijelaskan Agrillo dan Nelini bahwa childfree adalah istilah yang digunakan bagi orang yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak (Indah, 2022).

Kata “memilih” juga digunakan dalam definisi ini dengan menekankan “kesadaran” dalam pilihan. Dari beberapa definisi tersebut, penulis menyimpulkan terdapat kata kunci yang harus ditekankan dalam mengartikan childfree sebagaimana pengertian dari Agrillo dan Nelini yaitu “memilih secara sadar.” Penekanan kata kunci ini mengecualikan mereka yang tidak memiliki anak karena disebabkan faktor lain, bukan karena pilihan secara sadar.

Penulis sampai saat ini belum menemukan kapan tepatnya istilah childfree ini marak digunakan, akan tetapi berdasarkan beberapa penelitian, childfree ramai dibicarakan pada tahun 1970. Selanjutnya tiga tahun berikutnya yaitu 1973 terdapat perayaan yang disebut “Non-Parents Day.” Terdapat sumber lain yang mengatakan bahwa perayaan ini telah ada sejak tahun 1972 (Nurjanah, 2022).

Perayaan ini didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran tentang menjadi orang tua sebagai sebuah pilihan, khususnya sebagai sebuah alternatif yang masuk akal dan wajib dipertimbangkan oleh manusia dewasa (Blackstone, 2019). Meskipun istilah childfree mulai sering digunakan sejak tahun 1970, akan tetapi beberapa abad sebelumnya beberapa pasangan sudah mulai membatasi jumlah anak mereka (Chrastil, 2020).

Menurut sosiolog Rosemary Gillespie selalu ada perempuan yang berusaha mencegah pembuahan, menggugurkan janin yang tidak diinginkan dan menelantarkan anak atau membunuhnya. Hal baru yang terjadi adalah meningkatnya jumlah perempuan yang tidak ingin menjadi ibu dan mampu mengartikulasikan penolakannya tersebut sebagai sesuatu yang tidak bisa dilakukan pada generasi sebelumnya (Blackstone, 2019)

Childfree tentunya muncul tidak dari ruang kosong, melainkan banyak faktor yang melatarbelakanginya. Seperti permasalahan ekonomi, psikologi, atau lingkungan hidup. Semua faktor tersebut didukung dengan adanya arus modernitas. Doyle dalam risetnya menghasilkan kesimpulan bahwa komunitas childfree biasanya muncul dan berkembang di negara-negara industri dengan isu peningkatan tenaga kerja, kesadaran kesetaraan gender, dan alat kontrasepsi (Jenuri, 2022).

Di samping itu, tingkat pendidikan juga mempengaruhi kepetusan seseorang untuk memilih childfree. seperti hasil penelitian mengenai jumlah masyarakat di Amerika dengan keputusan childfree berdasarkan tingkat pendidikannya untuk seorang perempuan dengan rentan umur 40-44 tahun (Thornton dan Young-Demarco 2001; Biddlecom dan Martin 2006). Hasilnya sangat memberikan perbedaan pada setiap tingkat jenjang pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan tersebut maka semakin tinggi pula persentase yang memilih untuk childfree.

Dilema Keibuan dan Identitas Anak

Sejak tahun 1970-an telah terjadi banyak sejarah termasuk perubahan status perempuan dan ibu. Gerakan feminis gelombang kedua sangat mempengaruhi perubahan ini. Pada tahun 1960-an dan 70-an, perempuan mulai memiliki lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka, seperti pilihan untuk memiliki anak (Blackstone, 2019).

Meski demikian, masih tersisa masalah-masalah lama, salah satunya masalah yang susah diselesaikan adalah dilema keibuan. Di kalangan feminis, terjadi ragam pendapat mengenai “keibuan.” Ada yang mengharuskan perempuan untuk menduduki posisi ibu sebagai bakat alami, sedangkan yang lain menyesalkan keterbatasan mereka ketika menjadi ibu. Beberapa menganjurkan pengendalian kelahiran dan aborsi, sedangkan yang lain menentangnya.

Beberapa menggambarkan mengurus anak adalah kebahagiaan dan yang lain justru melihatnya sebagai sebuah neraka. Beberapa menstigmatisasi perempuan yang belum menikah dan memiliki anak, sedangkan yang lain membela dari diskriminasi tersebut (Allen, 2005). Perdebatan ini terus bergulir sehingga memunculkan sebuah istilah childlessness -keputusan yang masih terus diperdebatkan- bagi mereka yang tidak mengharuskan menjadi ibu dan memilih hidup bebas anak. Meskipun di masa sekarang, istilah itu lebih tepat disebut sebagai childfree.

Membahas childfree berarti tidak hanya membahas identitas “ibu” melainkan juga terkait dengan identitas “anak.” Sehingga selain pandangan terhadap posisi “ibu” tentu pandangan terhadap “anak” juga ikut berpengaruh terhadap keputusan childfree. Awalnya, anak dipandang sebagai aset ekonomi berubah menjadi anak adalah tanggung jawab.

Hubertine Auclert memandang ini adalah salah satu tanda kemajuan peradaban dan berkata “bagi orang tidak beradab, anak adalah aset, sedangkan bagi orang beradab, anak adalah tugas.” Pandangan terhadap dua posisi ini yaitu ibu dan anak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan childfree.

Maka adanya keputusan childfree dan cara menyikapinya tergantung dari cara memandang kedua posisi tersebut. Jika memandang posisi ibu sebagai sebuah pilihan dan anak adalah tanggung jawab yang membutuhkan kesiapan, maka childfree merupakan salah satu pilihan yang masuk akal. Berbeda jika memandang posisi ibu adalah keharusan dan anak adalah aset berharga, maka childfree tidak memiliki tempat sebagai pilihan dalam pandangan ini.

Childfree mengalami lebih besar penolakan dari pada penerimaan dipengaruhi oleh budaya yang terjadi di dalam masyarakat. Pierre Bourdieu dan Wacquant menyatakan bahwa keputusan individu adalah cerminan habitus yang mereka huni, terbukti dalam pengambilan keputusan menjadi orang tua.
Tumbuh dan hidup dalam sebuah masyarakat pronatalis membuat individu-individu membayangkan sebuah keluarga dengan anak-anak. Sehingga menjadi orang tua merupakan keharusan yang diharapkan dan bukan sesuatu secara sadar dipilih oleh individu (Harrington, 2019). Keharusan memiliki anak dapat dilihat dari kejadian sehari-hari ketika terdapat pasangan suami istri yang ditanyakan adalah “kapan” punya anak, bukan “jika” mereka memiliki anak (Sthanke, 2020).

Bahkan bukan berhenti pada pertanyaan kapan, tetapi sudah berupa asumsi-asumsi seperti “jangan menunda punya momongan, tidak baik loh” Pertanyaan dan asumsi ini membuat beberapa pasangan, khususnya bagi perempuan yang belum atau tidak ingin memiliki anak mengalami tekanan sehingga memunculkan perasaan malu, bersalah, tidak sempurna atau merasa telah melakukan sebuah kesalahan.

Salah satu pencirian yang sangat sering disematkan kepada childfree yaitu kurang dalam ketaatan beragama. Tidak jarang perdebatan childfree ini menggunakan dalil-dalil agama yang pada dasarnya tidak membahas childfree secara khusus, akan tetapi membahas tema lain yang berkaitan dengannya.

Salah satu tema yang memiliki keterkaitan dengan isu childfree adalah keluarga. Pemahaman mengenai konsep keluarga sangat mempengaruhi penerimaan atau penolakan terhadap childfree. Sebagaimana yang umum kita ketahui bahwa keluarga ideal biasanya terdiri dari bapak yang mencari nafkah dan ibu yang tinggal di rumah untuk merawat anaknya (L. Poston). Jika demikian, tentu childfree tidak memiliki ruang penerimaan dalam pemahaman ini. Akan tetapi, pemahaman-pemahamn ini terus berkembang dan mengalami perubahan dengan munculnya bentuk-bentuk keluarga ideal lain seperti pasangan childfree.

Konsep Keluarga dalam Al-Qur’an sebagai Kacamata dalam melihat Childfree

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara langsung mengenai isu childfree. Oleh karena itu, untuk melihat isu ini dimulai dengan melihat konsep keluarga dan posisi anak dalam keluarga perspektif al Qur’an. Pembahasan keluarga dalam literatur Islam sangat melimpah ruah. Penulis menemukan bahwa keluarga dalam Al-Qur’an memiliki beberapa term yaitu ahl, âlun, rahth, qurbâ, ‘asyîrah, dan arẖâm.

Berdasarkan penelusuran penulis mengenai kata yang bermakna keluarga dalam Al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa ciri umum dari semua makna dari kata tersebut yaitu sekelompok orang yang hidup bersama karena adanya hubungan. Hubungan yang dimaksud disini berbeda-beda, bisa berupa hubungan perkawinan, senasab, atau seagama.

Adapun masing masing kata memiliki cakupannya masing-masing, dalam beberapa ayat antara satu kata dengan kata yang lain memiliki cakupan yang sama, sedangkan beberapa ayat lain memiliki cakupan yang berbeda. Seperti kata ahl yang memiliki cakupan berbeda-beda di beberapa ayat, ada yang hanya mencakup istri, istri dan anak, keluarga besar, bahkan dengan cakupan yang lebih luas yaitu penduduk, pengikut, atau kaum.

Al-Qur’an melihat keluarga sebagai sebuah komunitas yang penting dengan berbagai fungsinya yang harus dijalankan untuk menciptakan kebahagiaan. Adapun fungsi keluarga berupa fungsi keagamaan (Surat Maryam/19:55), sosial budaya, perlindungan (Surat at-Taẖrîm/66:6), biologis (Surat An-Nisâ`/4: 1 dan Surat al-Mu’minûn/23:5-6), pendidikan (Surat at-Taẖrîm/66:6 dan Surat al-Nisâ’/4:34, dan ayat 128), dan ekonomi (Surat al-Mâidah/5:89).

Salah satu fungsi keluarga yang berkaitan dengan memiliki anak adalah fungsi biologis, akan tetapi fungsi ini dibarengi dengan tanggung jawab yang besar ketika memiliki anak. Sehingga dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa peran anak baik yang membawa dampak baik maupun sebaliknya yang ditentukan bagaimana orang tua mengemban tanggung jawab tersebut.

Adapun pandangan Al-Qur’an mengenai posisi anak yaitu bisa menjadi penyejuk hati (Surat al-Furqân/25:74), ujian (Surat al-Hadîd/57:20), cobaan (Surat at-Tagâbun/64:15 dan Surat al-Anfâl/8:28), bahkan musuh (Surat at-Tagâbun/64:14). Kesemua posisi tersebut tergantung orang tua dalam mendidik anak sebagai tanggung jawab yang sangat besar.

Hal ini menggambarkan bahwa anak terkadang bisa menjadi penyejuk hati atau bisa menjadi sebaliknya yaitu ujian dan cobaan, yang berarti pula bahwa memiliki anak merupakan tanggung jawab yang besar. Islam memandang anak sebagai sebuah amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, butuh kesiapan baik secara biologis maupun psikis, bahkan sebelum anak tersebut dilahirkan yaitu pada saat hamil.

Konsep keluarga ini dapat menjadi kacamata dalam melihat isu childfree perspektif Islam dengan menggunakan kerangka pemahaman maqâshid al-syarî’ah yang dirumuskan oleh Jasser Auda. Maqâshid al-syarî’ah menjadi tawaran untuk menyelesaikan permasalahan kontemporer karena membuka pintu ijtihad dengan tetap berada pada koridor agama.

Menganalisis childfree dengan menggunakan maqâshid dilakukan untuk melihat secara detail alasan seseorang memilih childfree. Alasan tersebut memberikan pengaruh terhadap posisi keputusan childfree. Terdapat banyak alasan seseorang memilih childfree, akan tetapi penulis menyimpulkan terdapat tiga faktoru utama.

Pertama, memilih childfree karena faktor psikologi. Faktor psikologi ini beragam, mulai dari adanya trauma masa kecil sehingga takut untuk memiliki anak, tidak siap secara mental untuk memiliki anak, hingga takut kebebasannya terganggu ketika memiliki anak.

Beberapa jenis hambatan dari segi psikologis tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang memilih childfree dikarenakan tidak siap secara emosional untuk memiliki anak. Jika dilihat dari beberapa literatur terdahulu mengenai tujuan pernikahan perspektif maqâshid as-syarî’ah, terdapat unsur hifzh an-nasl berupa memiliki keturunan, akan tetapi seharusnya dibarengi dengan pemeliharaan yang baik. Sedangkan pemeliharaan anak dapat berjalan dengan baik jika orang tua sudah siap dari berbagai aspek, khususnya dari segi emosional.

Kedua, memilih childfree karena faktor lingkungan dan sosial. Keputusan seseorang untuk hidup tanpa anak dipengaruhi oleh lingkungan alam yang saat ini menjadi masalah. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan alam adalah peningkatan populasi saat ini.

Overpopulasi dapat menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan dan menimbulkan banyak masalah baru, seperti peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, peningkatan jumlah limbah dan sampah, kemiskinan dan kelaparan di mana-mana, udara yang tidak sehat, serta kepunahan flora dan fauna karena tingginya kebutuhan manusia.

Oleh karena itu, banyak pasangan saat ini menolak memiliki anak karena mereka terlalu banyak. Karena keadaan dunia yang tidak baik ini, beberapa orang percaya bahwa tidak ada anak dapat membantu menyelamatkan dunia dari kerusakan yang lebih besar.

Tragedy of the Commons (1968) oleh Garrett Hardin merupakan salah satu teori penting dalam melihat permasalahan ini. Selain ilmu ekonomi dan ekologi, teori ini juga membahas bagaimana populasi mengelola sumber daya commons (milik bersama). Hardin menemukan bahwa karena tidak menyadari bahwa mereka merusak sumber daya umum, pemanfaatan sumber daya umum cenderung mengarah pada eksploitasi.

Argumen ini didukung oleh dua keyakinan utama. Pertama, manusia adalah makhluk rasional yang selalu berusaha memaksimalkan keuntungan. Kedua, karena kepemilikan bersama, setiap individu yang memanfaatkan commons tidak menyadari bahwa tindakan pribadi mereka akan berdampak pada semua orang. Kedua pernyataan tersebut semakin menguatkan bahwa overpupulasi bisa berbahaya dengan adanya budaya konsumtif yang berlebihan, sehingga membuat sumber daya alam tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia.

Pada kondisi seperti ini, childfree sejalan dengan hifzh an-nasl dalam keluarga, yaitu berupa penjagaan hak dan kewajiban bagi setiap anggota keluarga. Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi penjagaan, termasuk menjaga hak-hak nggota keluarga. Salah satu hak yang perlu dipenuhi adalah hak ekonomi.

Jika dalam Al-Qur’an dicontohkan dengan kewajiban ibu untuk menyusui anak dan Ayah untuk memenuhi kebutuhan selama masa penyusuan, maka dalam hal ini memastikan anggota keluarga khususnya keturunan selanjutnya untuk bisa menikmati sumber daya alam. Aspek lain dari hifzh an-nasl dalam keluarga yang sejalan dengan keputusan childfree karena alasan lingkungan adalah tidak meninggalkan keturunan yang lemah.

Jika dalam Al-Qur’an bentuk penjagaannya berupa larangan untuk menikah dengan keluarga dekat agar menghindari cacat karena gen, maka dalam hal ini berupa memastikan keturunan tersedia bahan untuk dikelola demi memenuhi kebutuhannya.

Ketiga, ekonomi sebagai alasan dalam memilih childfree. Ekonomi adalah alasan utama bagi banyak pasangan untuk tidak memiliki anak. Generasi muda yang belum menikah juga khawatir bahwa mereka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan akan memberatkan pernikahan mereka di masa depan.

Faktanya, biaya hidup anak sangat tinggi. Biaya untuk perawatan bayi, biaya lahiran, kebutuhan untuk bayi, dan biaya untuk pendidikan masa depan anak adalah serangkaian biaya yang harus disiapkan. Karena itu, banyak pasangan menganggap tidak memiliki anak sebagai solusi untuk masalah keuangan mereka. Karena kematangan keuangan sangat penting ketika memiliki anak.

Sebagaimana dalam memulai keluarga dibutuhkan bukan hanya siap secara fisik dan psikis, tetapi juga siap secara materi. Hal ini termasuk dari bagian hifzh al-mâl yang diartikan sebagai kesiapan untuk mengelola ekonomi agar hak-hak dalam keluarga dapat terpenuhi, dalam hal ini hak anak. Oleh karena itu, mereka yang memutuskan untuk childfree karena alasan ketidaksiapan secara ekonomi bukan saja termasuk hifzh al-nasl, tetapi juga termasuk hifzh al-mâl.

Empat dimensi dibuat oleh BKKBN dan kementerian PPPA Indonesia untuk mengukur ketahanan keluarga dalam hal ekonomi ini. Dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Status kepemilikan rumah, apakah itu milik sendiri, kontrak, sewa, atau rumah dinas; 2. Pendapatan per-kapita keluarga, dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan meningkatkan kesejahteraan keluarga; 3. Kemampuan untuk membayar pendidikan anak di usia sekolah dan usia lanjut; dan 4. Jaminan keluarga berupa kesehatan dan asuransi keluarga. Jika keempat ini terpenuhi, maka aspek hifzh al-mâl dalam keluarga juga terpenuhi. Jika hifzh al-mâl dapat terjaga, maka aspek hifzh an-nasl juga dapat terpenuhi.

Meskipun childfree dengan berbagai motifnya mengandung maqâshid al-syarî’ah, akan tetapi ditekankan bahwa childfree bukan menjadi pilihan yang dianjurkan dengan tetap mempertimbangkan kesiapan untuk memiliki anak dan diikuti dengan usaha untuk memperbaiki motif tersebut. Seperti dalam hal psikologi untuk berusaha mendapatkan dampingan ahli, alasan lingkungan dengan berusaha menjaga lingkungan tetap kondusif untuk keturunan selanjutnya, serta alasan ekonomi dengan tetap berusaha mencari rezeki yang halal dan bisa menjadikan anak sebagai semangat untuk meningkatkan ekonomi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *