Penafsiran Ibnu Asyur terhadap Ayat-Ayat Relasi Agama

Tafsir al-Qur’an kerap kali dipahami sebagai interpretasi kalam Tuhan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan realitas sosial mufassir. Secara implisit, konsepsi tersebut memosisikan penafsiran al-Qur’an seolah-olah lahir di ruang hampa. Tak dapat dinafikan bahwa makna al-Qur’an sangat dalam sehingga segala upaya untuk memahaminya adalah refleksi satu tetes di lautan makna. Sebagaimana firman Allah: “Seandainya setiap pohon di bumi menjadi pena yang diisi oleh laut, dan tujuh laut lagi, niscaya tidak akan pernah habis kalimat-kalimat Allah” (QS. Fathir [31]: 27).

Namun, mengabaikan hasil penafsiran dari konteks sosio-historis-politik mufassirnya, maka kecil peluang—bahkan mustahil—dapat memahami hasil penafsiran tersebut secara komprehensif (Sirry, 2016: 198). Dengan demikian, penting untuk menelusuri dan melacak hubungan penafsir dengan teks al-Qur’an dan konteks yang melingkupinya. Tanpa memperhatikan konteks ini, peran al-Qur’an dan pengaruhnya terhadap kehidupan tidak akan berhasil, alias gagal.

Bacaan Lainnya

Tulisan ini menunjukkan pengaruh konteks sosial-politik Ibnu Asyur yang turut mewarnai penafsirannya dalam magnum opus-nya kitab Al-Tahrir wa Al-Tanwir. Beliau terkenal sebagai tokoh reformis sekaligus revivalis Tunisia atas kontribusi pemikiran dan gagasannya. Penulis tertarik untuk mengungkap sejauh mana Ibnu Asyur telah menempa dan ditempa oleh pemahamannya tentang al-Qur’an.

Sebab mufassir modern biasanya membaca teks al-Qur’an dalam bingkai kebutuhan kontemporer yang sesuai dengan konteks saat itu. Hal semacam ini dapat dikategorikan sebagai politisasi tafsir yang berarti membaca teks untuk mencari konsep-konsep politik kontemporer dengan model-model penggunaan bahasa politik (Nuruddin dkk, 2019: 354).

Biografi Ibnu Asyur

Nama lengkapnya ialah Muhammad al-Tahir bin Muhammad bin Muhammad al-Tahir bin Muhammad bin Muhammad al-Syaziliy bin Abd al-Qadir Ibn Muhammad Ibn ‘Asyur. Ia lahir di kota Marasi, pinggiran ibu kota Tunisia pada September 1879 M atau Jumadil Ula 1296 H, dan wafat pada hari Ahad, 12 Oktober 1973 M atau 13 Rajab 1393 H. Ayah Ibnu Asyur berasal dari keluarga yang terpandang dari Andalusia yang pindah ke Maroko dan akhirnya menetap di Tunisia.

Ibnu ‘Asyur memulai pendidikannya dengan belajar Al-Qur’an di sekitar daerah tempat tinggalnya sejak usia 6 tahun. Setelah itu ia menghafal matan al-Jurumiyyah dan mempelajari bahasa Perancis. Kemudian pada usia 14 tahun ia melanjukan studinya di Masjid Jami’ Zaitunah. Selama 7 tahun, ia mempelajari banyak hal, seperti ilmu syari’ah, bahasa Arab, hadis, sejarah dan lain-lain. Pada tahun 1899, ia berhasil meraih gelar sarjana. Kemudian 3 tahun berselang, tepatnya tahun 1903, ia mengabdikan diri sebagai pengajar dalam bidang agama di almamaternya (Asyur, 1425: 7).

Secara umum, Ibnu ‘Asyur hidup di dalam dua fase yang berbeda, dimana fase pertama, yaitu era kolonialisme Perancis atas Tunisia dari tahun 1881-1956. Pada fase pertama kehidupannya, Ibnu ‘Asyur banyak menyaksikan beragam peristiwa besar, misalnya melemahnya imperium Turki Usmani.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis Eropa untuk menjajah negara-negara Islam di Timur Tengah, termasuk Tunisia, tempat kelahiran dan perkembangan hidupnya. Kolonialisme menuntut rakyat Tunisia untuk berjuang bangkit dari keterpurukan.

Fase kedua ialah kehidupan Ibnu Asyur pasca kemerdekaan. Pada fase ini ia mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya dalam bidang pendidikan. Ibnu Asyur dikenal dengan gagasan briliannya, yakni maqashid syariah yang menjadikannya sebagai salah satu tokoh utama reformasi dirasat al-Islamiyyah di Tunisia.

Sebelum Ibnu Asyur, gerakan reformasi di bidang pendidikan telah dilakukan oleh beberapa tokoh seperti Khairuddin Basya lewat perbaikan konstitusi dan mendirikan sekolah al-Shadiqiyah pada tahun 1862, dan Basir Safar melalui gerakan pembaharuan pendidikan pada tahun 1896 dengan membangun sekolah al-Khalduniyah.

Ibnu Asyur menulis sebuah buku bertajuk Alaysa al-Subh bi Qarib yang mengkritik sistem pendidikan dan menyerukan perubahan kurikulum di al-Zaitunah. Gerakan reformasi itu mencakup bidang pendidikan, seperti ilmu al-Qur’an, tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, falsafah dan matematika.

Semasa hidupnya, Ibnu ‘Asyur menduduki beberapa jabatan penting, di antaranya; ketua anggota Majlis al-Auqaf, ketua Qadi Maliki di Majlis al-Syari’, mufti, Syaikh Universitas Zaytouna, Syaikh al-Islam al-Maliki, rektor Universitas Zaytouna, dan anggota Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah.

Di tengah kesibukannya, Ibnu ‘Asyur dikenal sebagai ulama yang cukup produktif menulis. Di antara karya-karya beliau adalah Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Ushul al-Nizam al-Ijtima’i fi al-Islam, Alaisa al-Subhu bi Qarib, Al-Waqf wa Atsaruhu fi al-Islam, dan Kasyfu al-Mughta min al-Ma’ani wa al-Alfaz al-Waqi’ah fi al-Muwatta’.

Penafsiran Ibnu Asyur Terkait Relasi Beragama

Meski terkenal dengan gagasan reformasi di Tunisia, namun dalam hal penafsiran al-Qur’an, Ibnu ‘Asyur tampak cenderung tradisionalis, eksklusif, dan konservatif. Terkait relasi agama, penafsiran Ibnu ‘Asyur cenderung eksklusif terhadap non-muslim. Misalnya persoalan musyawarah dalam QS. Ali Imran [3]: 159, ia menafsirkan bahwa musyawarah dilakukan dalam segala hal untuk terciptanya kemaslahatan, baik pada tataran keluarga, kelompok maupun masyarakat. Masalah-masalah yang dimusyawarahkan pun haruslah sesuatu yang belum ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Ibnu ‘Asyur menambahkan bahwa, ada tiga syarat ketika hendak melakukan musyawarah. Pertama, musyawarah dilaksanakan oleh orang-orang yang memahami dalil-dalil tentang hukum suatu perkara, dalam hal ini yang dimaksud adalah ulama. Kedua, musyawarah dilakukan bersama dengan orang yang punya perhatian yang sama terhadap masalah tersebut. Sebagaimana potongan ayat wa amruhum syura bainahum. Ibnu ‘Asyur memahami ungkapan bainahum adalah orang yang memprioritaskan masalah yang sama. Dengan kata lain, pihak-pihak yang ikut musyawarah haruslah orang-orang yang dipandang berkepentingan dan berpihak kepada pihak yang mengajak musyawarah. Ketiga, hanya berlaku bagi sesama muslim. Konsekuensinya non-muslim tidak pantas dimintai bantuan dalam bermusyawarah (Asyur, 1984: 146-147).

Kategori tersebut mengindikasikan bahwa Ibnu ‘Asyur memandang musyawarah hanya pada ranah sesama muslim. Ia mengabaikan peran non-muslim dalam musyawarah, karena tidak mungkin non-muslim berpihak pada urusan kemaslahatan umat Islam.

Secara umum, dari sudut pandang asbab al-nuzul ayat di atas merupakan rangkaian sikap umum para sahabat Anshor. Baik sebelum atau setelah masuk Islam, musyawarah telah menjadi tradisi mereka (Asyur, 1984: 112). Namun, pada konteks musyawarah ini terlihat Ibnu ‘Asyur membuat tabir antara muslim dan non-muslim dengan tujuan perlindungan atas eksistensi Islam.

Ibnu ‘Asyur tidak setuju persatuan dan kerja sama dengan non-muslim. Penolakan Ibnu ‘Asyur atas keterlibatan pihak non-muslim dalam musyawarah adalah suatu ikhtiar untuk melindungi kepentingan Islam. Menurutnya, jika non-muslim terlibat bebas dalam musyawarah, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas dan kepentingan umat Islam. Selain itu, juga dapat menjadi ancaman jika dilibatkan dalam musyawarah.

Cita-cita politik Ibnu ‘Asyur juga menunjukkan politik identitas Islam. Hal ini tergambar pada ungkapan-ungkapannya tentang politik, seperti al-Jami’ah al-Islamiyyah, Daulah al-Ummah, Siyasah al-Ummah, dan lain sebagainya. Istilah Daulah al-Ummah merepresentasikan perspektif politik Ibnu ‘Asyur yang mengupayakan ‘Islam dominan’ atau ‘Islam menang’. Konsep ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kendali Utsmani atau keturunan Bay terhadap wilayah Tunisia. Apalagi, keluarga Ibnu ‘Asyur telah lama menjadi bagian dari penguasa Turki di Tunisia. Oleh karenanya, tak heran jika kemudian pandangannya terkait politik senantiasa bernapaskan dominasi yang mengatasnamakan Islam (Asyur, 2010: 127).

Hal ini tampaknya juga menjadi orientasi politiknya dalam rangka penegakan negara dengan konsep khilafah. Gagasan politik Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan Hasan al-Banna yang memakai sistem Islam dalam bernegara. Khilafah adalah sistem koordinatif, namun secara parsial masing-masing negara harus menerapkan sistem Islam terlebih dahulu secara baik.

Dalam persoalan memilih pemimpin, Ibnu ‘Asyur juga terkesan eksklusif. Pada penafsiran QS. al-Maidah [5]: 54, Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa tidak boleh mengangkat seorang pemimpin dari golongan Yahudi dan Nasrani karena perbedaan agama. Bahkan orang yang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin dapat menyebabkan seseorang murtad (Asyur, 1984: 235-236).

Selain itu, dalam menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 120, ia mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan peringatan agar umat Islam tidak tergoda dan terpikat dengan ajakan kaum Yahudi dan Nasrani (Asyur, 1984: 693). Dari sini terlihat bahwa baik penafsiran maupun sikap politik, Ibnu ‘Asyur sangat konservatif, ekslusif, dan ideologis.

Namun di ayat-ayat lain yang berkaitan dengan relasi agama seperti QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9, Ibnu ‘Asyur cenderung inklusif dalam penafsirannya. Secara eksplisit ayat tersebut mengandung larangan menjadikan musuh Allah sebagai teman. Ibnu ‘Asyur memahami bahwa perintah memerangi orang-orang kafir (non-muslim) yang dijelaskan oleh ayat-ayat lain dapat menimbulkan kesan bahwa semua non-muslim harus ditentang.

Untuk meluruskan persoalan tersebut, ayat di atas menguraikan prinsip-prinsip dasar hubungan interaksi antara muslim dan non-muslim. Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa tafsir ayat tersebut membahas sebab diharamkannya berbuat baik kepada non-muslim adalah karena permusuhan dan perang agama. Adapun golongan non-muslim yang memerangi atau mengusir kaum muslimin dari negerinya, maka berbuat baik kepada mereka adalah suatu hal baik (Nuruddin dkk, 2019: 365).

Dengan demikian, perubahan penafsiran Ibnu ‘Asyur yang cenderung eksklusif dan intoleran dilatarbelakangi oleh politik identitas yang ditampilkannya, baik sebagai cendekiawan, rektor Zaitunah, mufti, maupun politisi. Penafsiran Ibnu ‘Asyur terkait relasi beragama sangat dipengaruhi oleh kontruksi sosial politik di Tunisia.

Keterlibatan langsung Ibnu ‘Asyur dalam pertarungan antara penguasa Perancis dengan rakyat Tunisia sebelum merdeka, dan pergulataan antara ulama dan rezim penguasa turut mewarnai penafsirannya terhadap al-Qur’an. Intinya, Ibnu Asyur bersikap reformis demi kebangkitan dan kemajuan peradaban Islam. Namun di sisi lain, penafsirannya yang condong kearah konservatif dan eksklusif disebabkan oleh perlawanannya terhadap kolonialisme Perancis dan sekularisme rezim penguasa.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Asyur, Muhammad Tahir, Al-Tahrir wa Al-Tanwir (Tunis: Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr, 1984)
Ibnu Asyur, Muhammad Tahir, Ushul al-Nizam al-Ijtima’I fi al-Islam (Tunis: Dar al-Salam, 2010)
Ibnu Asyur, Muhammad Tahir, Kasyfu al-Mughatta min al-Ma’ani wa Alfazh al-Waqiah fi al-Muwatta (Beirut: Dar Muassasah Manbu’ li al-Tauzi’, 1425 H)
Nuruddin, Amiur, dkk, “Relationship of Interfaith in Tunisia (Critical Study of Ibn ‘Ashur Tafsir w. 1973),” Budapest International Research and Critics Institute-Journal Vol. 2, No. 1 (2019)
Sirry, Mun’im, What Modern About Modern Tafsir? A Closer Look at Hamka’s Tafsir al-Azhar, dalam The Qur’an in the Malay-Indonesian World, ed. Majid Danesghar, Peter G. Riddle, and Andrew Rippin (London and New York: Routledge, 2016)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *