Q.S. al-Nisa’/4:3 dan 129 menyinggung praktik perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu istri. Praktik ini lazim disebut dengan poligami, namun istilah yang lebih tepat adalah poligini. Poligami merupakan praktik seseorang, baik laki-laki maupun perempuan yang memeiliki pasangan lebih dari satu. Sementara poligini memiliki definisi yang lebih spesifik, yaitu seorang laki-laki yang memiliki pasangan lebih dari satu (Napel, 1996: 125, 133, 248).
Praktik ini kemudian melahirkan beberapa problem empiris dan teoretis yang menjadikan penulis tertarik untuk mengelaborasi lebih lanjut. Penulis tidak mengelaborasi semua permasalahan yang telah disebutkan, namun lebih fokus pada masalah teoretisnya saja, khususnya penafsiran al-Qur’an atas Q.S. 4: 3 dan 129 dalam karya tafsîr modern. Selain itu, penulis juga membatasi karya tafsîr modern yang menjadi objek kajian pada penelitian ini.
Beberapa karya tafsîr modern dari abad dua puluh yang prnulis pilih sebagai objek penelitian ini yaitu: 1. Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha; 2. Fî zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Quthb; 3. al-Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-ZUhayli; 4. Tafsîr al-Azhâr karya Hamka; 5. Tafsîr al-Mishbâh karya Quraish Shihab.
Salah satu argumentasi penulis untuk memilih karya-karya ini adalah karena kelima karya tersebut telah tersebar luas dan dapat dianggap sebagai representasi karya tafsîr abad dua puluh. Hal ini berdasarkan fakta bahwa semua karya tafsîr tersebut telah diterbitkan dalam beberapa edisi, dan dua di antaranya, yaitu Fî zhilâl al-Qur’ân dan al-Tafsîr al-Munîr, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa (Jansen, 1997: 51) (Tamam, 2023). Argumentasi lain penulis dalam memilih kelima karya ini yaitu tidak banyak penelitian yang dilakukan tentang tafsîr dan isu gender dalam karya tafsîr modern berbahasa non-Arab.
Untuk melihat bagaimana interaksi isu gender dalam karya tafsîr modern pada Q.S. 4: 3 dan 129, penulis menggunakan dua pertanyaan analisis untuk menemukannya. Pertama, bagaimana ragam argumentasi penafsiran Q.S. 4: 3 dan 129 dalam karya-karya tafsîr modern yang dipilih? Kedua, sejauh mana interaksi isu gender dalam karya tafsîr modern yang dipilihpada Q.S. 4: 3 dan 129?
Ragam Argumentasi Penafsiran Mufasir Modern atas Q.S. 4:3 dan 129 Penafsiran ayat poligini (Q.S. al-Nisa’/4: 3 dan 129) dalam karya tafsîr modern tidak hanya berisi penjelasan makna ayat saja, melainkan terdapat beberapa hal yang selalu didiskusikan di dalamnya. Tiga poin selalu dibicarakan dalam semua karya tafsîr modern yang menjadi objek penelitian ini. Pertama, produk hukum yang dapat diambil dari kedua ayat ini. Kedua, pembicaraan tentang potensi kemaslahatan praktik poligini. Ketiga, penjelasan tentang sejarah pernikahan Nabi dan istrinya (Abduh dan Ridha, 1948) (Quthb, 1968) (al-Zuhayli, 2003) (Hamka, 2001) (Shihab, 2002). Diskusi tentang beberapa poin yang telah disebutkan umumnya memiliki dua tendensi besar, yaitu menanggapi kritik Barat terhadap Islam terkait dengan praktik poligini serta menanggapi fenomena penyimpangan praktik poligini yang dilakukan oleh umat Islam saat ini.
Beberapa mufasir memasukkan beberapa poin penjelasan tambahan selain ketiga poin yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya, Abduh, Zuhaylî, dan Shihab menjelaskan kaidah bahasa yang terkandung dalam ayat ini (Abduh dan Ridha, 1948: 347-350, 375) (Zuhaylî, 2003: 564-565, 568). Dari lima karya tafsîr modern yang diteliti, karya Quthb, Hamka, dan Shihab mendiskusikan isu perbudakan di dalamnya (Quthb, 1968: 583) (Hamka, 2001:1064-1065) (Shihab, 2002: 339-340). Selain pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya, seluruh karya tafsîr modern, kecuali Tafsîr al-Mishbâh, menampilkan riwayat dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi berdoa kepada Allah agar dia tidak dihukum karena kecenderungannya kepada salah satu istri yang dinikahinya (Abduh dan Ridha, 1948: 349) (Quthb, 1968: 582) (al-Zuhayli, 2003: 569) (Hamka, 2001: 1456).
Interaksi Isu Gender dalam Karya Tafsîr Modern atas Q.S. 4:3 dan 129 Berdasarkan uraian penafsiran ayat poligini (Q.S. 4:3 dan 129) dalam karya tafsîr modern pada paragraf sebelumnya, argumentasi yang ditampilkan dalam menafsirkan ayat ini menunjukkan adanya interaksi dengan modernitas – di mana isu gender menjadi bagian darinya – yang sedang berlangsung. Hal ini terlihat dari bagaimana para mufasir pada era modern mengaitkan beberapa fenomena serta isu pada masa modern dalam membangun argumentasi mereka.
Konteks modernitas yang dimaksud adalah kritik Barat kepada Islam terkait isu kemanusiaan dan perlakuan Islam terhadap perempuan, khususnya pada praktik poligini. Argumentasi ini didasarkan pada konten penafsiran mereka, yang baik secara eksplisit maupun implisit, menunjukkan hal tersebut.
Dalam isu perbudakan misalnya, beberapa mufasir, seperti Quthb, Hamka, dan Shihab merasa perlu menjelaskan persoalan ini dalam karya tafsîr mereka. Ketiganya sepakat bahwa Q.S. 4:3 yang menyinggung masalah perbudakan tidak menunjukkan sama sekali bahwa Islam mendukung praktik tersebut, namun justru menutup rapat keran perbudakan serta menghapuskannya secara bertahap, salah satunya melalui jalur perkawinan (Quthb, 1968: 583) (Hamka, 2001:1064-1065) (Shihab, 2002: 339-340).
Sementara itu, dalam menjelaskan rasionalisasi kebolehan praktik poligini, para mufasir pada era modern dengan tegas menyatakan bahwa Islam datang tidak untuk melembagakan praktik poligini, melainkan untuk meregulasinya dengan ketat. Hal ini tampak dari karya-karya mereka yang merekam fenomena penyalahgunaan kebolehan praktik poligini oleh umat Islam masa kini (Abduh dan Ridha, 1948: 349, 357) (Quthb, 1968: 582) (al-Zuhayli, 2003: 576) (Hamka, 2001: 1074). Tidak hanya itu, para mufasir era modern merasa perlu memberikan rasionalisasi atas kebolehan praktik poligini sebagai respons atas kritik Barat terhadap Islam.
Dalam menjabarkan rasionalisasi kebolehan praktik poligini, setidaknya dapat ditemukan tiga argumentasi yang paling sering muncul: 1. Jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki; 2. Perbedaan fitrah laki-laki dan perempuan; 3. Istri tidak dapat menunaikan kewajiban kepada suami karena sakit berlarut-larut atau mandul. Semua argumentasi ini dilengkapi dengan ilustrasi yang menggambarkan praktik poligini dapat menghalangi kemudaratan yang akan menimpa laki-laki maupun perempuan dengan mengaitkannya dengan ilmu sains maupun sosial humaniora (Abduh dan Ridha, 1948) (Quthb, 1968) (al-Zuhayli, 2003) (Hamka, 2001) (Shihab, 2002).
Adapun penjelasan mengenai praktik poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad para mufasir era modern menyatakan bahwa hal itu dilakukan sama sekali bukan karena nafsu semata, melainkan karena tujuan-tujuan lain yang lebih mulia, seperti menolong janda-janda rentan atau sebagai medium dakwah Islam (Abduh dan Ridha, 1948: 370-374) (al-Zuhayli, 2003: 577-579) (Hamka, 2001: 1076-1095) (Shihab, 2002: 342-344). Di antara karya tafsîr modern yang diteliti, Tafsir al-Azhâr menampilkan argumentasi mengapa praktik poligini Nabi Muhammad perlu dijelaskan. Hamka merasa kritik Barat terhadap Islam atas praktik poligini tidak hanya ditujukan pada umat Islam saat ini saja, tapi juga pada praktik poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad (Hamka, 2001: 1077).
Isu Gender yang Tidak Dibahas dalam Karya Tafsîr Modern atas Q.S. 4:3 dan 129
Argumentasi para mufasir era modern yang muncul dalam penafsiran mereka atas Q.S. al-Nisa’/4: 3, sekilas tampak komprehensif dan telah mencakup beragam isu gender yang berkembang. Namun, berdasarkan pengamatan atas hasil penafsiran mereka, terdapat sedikitnya dua isu gender yang luput dari perhatian mereka saat membangun argumentasi mengapa Islam mengizinkan praktik poligini.
Pertama, dalam mendeskripsikan perbedaan fitrah antara laki-laki dan perempuan, terlepas dari potensi kemaslahatan yang dapat diraih, tampak menjadikan perempuan hanya sebagai objek seksual semata, dimana ketika perempuan tidak dapat memenuhi kebutuhan atau tujuan laki-laki, maka laki-laki boleh menikah lagi untuk mencapai tujuannya.
Kedua, Ridha yang mengembangkan gagasan perbedaan fitrah laki-laki dan perempuan ke ranah peran mereka dalam rumah tangga, mengabaikan isu domestikasi peran perempuan yang juga banyak dibahas pada era modern. Meksipun gagasan ini tidak ditemui dalam beberapa karya tafsîr modern sesudahnya, namun tidak ada juga yang mendiskusikan ulang gagasan ini.
Referensi
‘Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridhâ. Tafsîr al-Manâr Juz 4. Kairo: Dâr al-Manâr, 1948.
Hamka, Tafsîr al-Azhar Jilid 2. Singapura: Pustaka Nasional, 2001.
Jansen, J.J.G. The Dual Nature of Islamic Fundamentalism. New York: Cornell University Press, 1997.
Napel, Hen ten. Kamus Teologi Inggris Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Quthb, Sayyid. Fî Zhilâl al-Qur’an Juz 1, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1968.
Shihab, Quraish. Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
al-Zuhaylî, Wahbah. al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj Juz 2. Damaskus: 2003.