Mental Health dalam Al-Quran: Tafsir Ayat untuk Membangun Jiwa yang Tenang

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang kian menggempur jiwa, manusia sering kali terjebak dalam pusaran kecemasan dan ketidakpastian. Kehidupan dunia, dengan segala dinamikanya, menuntut manusia untuk terus bergerak, berpacu dengan waktu dan pekerjaan, dalam menghadapi berbagai ujian yang kadang melebihi daya tahan tubuh. Akibatnya banyak orang yang mengalami depresi.

Menurut data Rikesdas 2018, di Indonesia sekitar 7% permil yang mengalami depresi berat. Terbanyak di Bali, NTB, Yogyakarta, dan Aceh. Sementara orang dewasa berusia 15 tahun ke atas yang mengalami gangguan emosional seperti cemas dan strees didapati 9.8 %, terbanyak diduduki oleh Sulawesi Tengah, Gorontalo, lalu disusul NTT dan Maluku (Widiya, 2019). Tulisan ini bertujuan bagaimana mengatasi strees, kecemasan dan membangun mental health dalam perspektif Al-Quran.

Bacaan Lainnya

Dalam Islam, gangguan kejiwaan sering dikaitkan dengan sifat-sifat buruk atau perilaku tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti ketamakan, dengki, iri hati, kesombongan, dan mudah terpancing emosi. Hasan Muhammad as-Syarqawi dalam kitab Nahw ‘Ilmiah Nafsi (1970) mengelompokkan gangguan jiwa ke dalam sembilan kategori, yakni riya’ (pamer), al-ghadhab (marah), al-ghaflah wan nisyah (kelalaian dan lupa), al-was-wasah (was-was), al-ya’s (frustrasi), tama’ (rakus), al-ghurur (terpedaya), al-ujub (sombong), serta al-hasd wal hiqd (dengki dan iri hati).

Sifat-sifat tercela tersebut dapat dikategorikan sebagai penyakit jiwa karena dalam konsep kesehatan mental (mental hygiene), semua itu sering menjadi indikasi gangguan psikologis (psychoses). Oleh karenanya, seseorang yang mengalami gangguan jiwa kerap menunjukkan sifat-sifat buruk tersebut (Zainuddin, 2020).

Kesalahan dalam Mengatasi Problematika Kejiwaan

94% masyarakat Indonesia mengalami berbagai tingkat kecemasan dan kegelisahan, mulai dari depresi ringan hingga berat (Samain dan Budiharjo, 2020). Kesehatan mental merupakan aspek krusial dalam menciptakan kesejahteraan secara menyeluruh. Saat ini, sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan mental dan perilaku. Negara India mencatat angka tertinggi, yakni 4,5% dari total populasi.

Secara global, satu dari empat individu akan mengalami setidaknya satu gangguan mental sepanjang hidupnya. Jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat, kondisi ini dapat semakin memburuk dan berujung pada dampak negatif bagi keluarga, masyarakat, serta pemerintah (Dumilah Ayuningtyas, dkk, 2018). Dalam penelitian yang sama, menunjukkan bahwa pencegahan yang kerap dilakukan oleh masyarakat setempat adalah dengan cara pemasungan. Pereventif tersebut tentu sangat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Al-Quran.

Menurut tinjauan Psikolog Islam, terciptanya permasalahan kejiwaan dikarenakan nafsu lawwamah dan ammarotun bi as-su’ yang lebih mendominasi dalam kepribadian manusia. Sementara untuk mengaktualisasikan nafsu muthmainnah perlu menghidupkan cahaya ilahiyah dalam setiap komponen diri manusia. Sehingga yang terlihat adalah cerminan kebaikan demi kebaikan pada setiap gerak-geriknya.

Seseorang yang tidak mampu menjaga kesucian jiwanya atau justru semakin mengotorinya, cenderung mengalami gangguan kesehatan mental. Dalam perspektif Islam, sebagaimana dijelaskan oleh M.Ustman Najati, individu dengan kondisi mental yang tidak sehat tercermin dalam kepribadian munafik dan kafir, masing-masing dengan karakteristik khasnya. Kedua tipe kepribadian ini merupakan manifestasi dari dominasi nafs al-lawwamah dan nafs al-amarah bi as-su’ dalam diri seseorang. (Yunita Ma’rufah, 2015).

Konsep Ketenangan Jiwa dalam Al-Qur’an

Ketenangan, ketentaraman, kedamaian, dalam bahasa Arab disebut dengan sakinah yang asal katanya berawal dari sakana, yang artinya secara bahasa adalah tetapnya sesuatu setelah beregerak (Isfahani – Mufradat Alfadh al-Quran, hal. 372). Bila ditelusuri lebih jauh, kata sakinah muncul beberapa kali dalam Al-Quran. Seperti dalam surah Al Fath ayat 4, ayat ini menjelaskan bahwa sakinah adalah anugerah dari Allah yang memperkuat keimanan seseorang dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan.

QS. At-Taubah: 26, sakinah dalam ayat ini dikaitkan dengan ketenangan dan keberanian yang Allah berikan kepada Rasulullah ﷺ dan para sahabat dalam menghadapi tantangan besar. QS. Al-Baqarah: 248, dalam kisah Nabi Musa dan Bani Israil, sakinah disebut sebagai tanda keberkahan dan ketenteraman yang menyertai Tabut (peti perjanjian).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa setiap orang mengalami kecemasan tidak terkecuali para nabi dan rasul. Hanya saja, cara penanggulangannya yang berbeda. Kalau para nabi mereka langsung mendapatkan wahyu dari Allah untuk mengatasi segala problematika mereka. Sementara manusia biasa, butuh keyakinan yang kokoh kepada Allah, ibadah yang ikhlas, serta pola pikir yang benar. Para ulama tafsir telah memberikan penjelasan mendalam tentang bagaimana Al-Qur’an memandu umat untuk meraih ketenangan jiwa.

Ketenangan Melalui Zikir (Mengingat Allah)

Salah satu ayat yang sangat terkenal dalam menggambarkan ketenangan jiwa adalah QS. Ar-Ra’d: 28:“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” Zikir adalah inti dari segala ketenangan. Ia menyebutkan bahwa ingat kepada Allah adalah dengan cara mentaati dan memerhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah maka yang demikian akan menenangkan hati yang gelisah dan memberi kedamaian batin (Tafsir al-Qurtubi, jilid 9 halaman 315).

Ibn Katsir (w. 774 H), menjelaskan bahwa zikrullah bukan sekadar aktivitas lisan, melainkan perenungan mendalam terhadap kebesaran Allah dan ketundukan penuh kepada-Nya. (Tafsir Al-Quran al-‘Azdim, hal. 1013), Al-Baghawi (w. 516 H) menambahkan dalam Ma‘alim at-Tanzil, bahwa hati yang dipenuhi cahaya Al-Quran akan merasakan ketentraman sejati, sebab ia bersandar pada Sang Maha Pengatur, bukan pada rapuhnya dunia. Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) turut menegaskan bahwa manusia yang jauh dari mengingat Allah akan terombang-ambing dalam kekhawatiran, karena ia menggantungkan hatinya pada sesuatu yang fana (Mafatihul Ghaib, hal.1862).

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa kata zikir awalnya berarti pengucapan dengan lisan, kemudian berkembang menjadi makna mengingat. Dalam konteks ayat ini, zikrullah diartikan sebagai menyebut nama Allah yang Maha Agung, yang membawa ketenangan hati. Zikir mencakup kesadaran akan keagungan-Nya, memahami larangan dan perintah-Nya, serta meyakini Allah sebagai penolong dan pelindung (Samain dan Budiharjo 2020).

Hanya dengan mengingat Allah, hati manusia bisa merasakan ketentraman. Sebaliknya, ketika seseorang melupakan Sang Pencipta dan kehilangan pandangan ketuhanannya (God view), hidupnya menjadi kosong dan kehilangan makna. Menjauh dari Allah berarti menghilangkan nilai-nilai keimanan dalam diri.

Tawakal (Berserah Diri kepada Allah)

Dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” At-Thabari mengartikan ayat ini bahwa Allah tidak akan memberikan ujian yang tidak bisa dihadapi oleh hamba-Nya (Tafsir al-Tabari , jilid 6, hal. 130). Hal ini dikuatkan oleh ayat 78, surah Al-Haj, Al-Baqarah ayat 185, At-Taghabun ayat 16, yang kesemuanya itu mengimplikasikan kemudahan dalam berkehidupan ataupun mengerjakan perintah-Nya.

Dengan memahami ini, seorang mukmin yang tawakal (berserah diri) kepada Allah akan merasa tenang dan yakin bahwa segala ujian dan kesulitan dalam hidup sudah ditentukan oleh Allah dengan hikmah tertentu. Imam al-Raghib al-Isfahani juga menjelaskan bahwa tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah, yang akan menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran manusia (al-Mufradat fi Al-Fazhil Al-Quran, hal. 836).

Kesabaran dalam Menghadapi Ujian

Al-Qur’an mengajarkan bahwa ketenangan jiwa datang dari kesabaran dalam menghadapi ujian hidup. Dalam QS. Al-Baqarah: 155-156, Allah berfirman:“Sesungguhnya Kami pasti menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Al-Thabari menjelaskan bahwa kesabaran adalah salah satu jalan utama untuk meraih ketenangan jiwa. Ayat di atas sangat relevan untuk mengatasi berbagai masalah kejiwaan yang biasanya berawal dari ketakutan atau al-khauf (Tafsir Jami al-Bayan an Ta’wili Aayi Al-Quran jilid 5, hal. 220). Seperti fomo, takut lebih diungguli orang lain, takut ditinggal pacar, takut tidak dapat pekerjaan yang layak, dst.

Ulama tafsir lainnya, seperti al-Qurtubi, dalam tafsirnya (jilid 2 hal. 175), ketika berbicara mengenai musibah ayat 156 Al-Baqarah, beliau menjelaskan bahwa setiap hal yang membuat orang mukmin merasa sakit atau tersakiti disebut sebagai musibah. Untuk menghadapi itu mesti dengan kesabaran terutama pada saat goncangan (shadmah) yang pertama. Ketika sudah demikian, maka tumbuhlah keridaan dan ketenangan di dalam jiwa.

Berbaik Sangka kepada Allah

Sikap berbaik sangka kepada Allah juga merupakan cara untuk mendapatkan ketenangan jiwa. Allah berfirman dalam QS. At-Tawbah: 51: “Katakanlah: ‘Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditentukan Allah bagi kami. Dia-lah pelindung kami. Dan hanya kepada Allah lah orang-orang yang beriman bertawakal.”

Berbaik sangka kepada Allah berarti meyakini bahwa setiap ketetapan-Nya adalah yang terbaik, meski terkadang kita tidak memahami hikmahnya. Al-Razi menjelaskan bahwa manusia tidak akan ditimpa kebaikan dan keburukan melainkan sudah ditetapkan ketentuannya di sisi Allah, sehingga berbaik sangka terhadap Allah akan memberikan ketenangan dalam menghadapi segala peristiwa kehidupan (al-Tafsir al-Kabir, jilid 16, hal. 87).

Menghindari Kecemasan dengan Menjaga Hubungan dengan Allah

Ketenangan jiwa juga diperoleh dengan menjauhkan diri dari sifat-sifat negatif seperti kecemasan, keraguan, dan ketakutan yang berlebihan. Ketika seseorang menjaga hubungan dengan Allah melalui ibadah, zikir, dan doa, ia akan terbebas dari perasaan cemas yang menghantui. Hal ini juga ditegaskan dalam QS. Al-Ankabut: 69:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami, Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini menunjukkan bahwa mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengikuti jalan Allah, seperti melawan hawa nafsu, meneladani sunnah nabi, akan diberikan ketenangan dan petunjuk pada setiap langkah mereka. Bahkan di akhir ayat itu menjelaskan bahwa Allah akan membersamai orang-orang baik dengan pertolongan dan ampunan-Nya (Tafsir al-Baghawi, jilid 6, hal. 256).

Membaca Al-Quran dan Memahami Isinya

Dalam perspektif modern, temuan ilmiah memperkuat kebenaran yang disampaikan Al-Quran melalui nabi dan para ulama. Sebuah penelitian yang berjudul Al-Quran sebagai Obat Kesehatan Mental (Al-Rasikh, 2023) menemukan bahwa individu yang rutin membaca Al-Quran akan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit hati, seperti keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan dari kebenaran, dan kecenderungan terhadap keburukan. Selain itu, Al-Quran juga dapat menjadi sarana penyembuhan fisik melalui ruqyah. Lebih dari itu, kitab suci ini merupakan sumber rahmat bagi kaum mukmin yang mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Isra’ [17]: 82 dan QS. Yunus (10): 57.

Mental kita akan jauh lebih sehat tatkala menjadikan Al-Qur’an sebagai pendamping hidup yang tak terpisahkan. Sebab, di dalamnya mengandung kisah inspiratif, pengingat, peringatan, serta berbagai nasihat praktis dan kata-kata bijak. Sebagai firman Allah Swt., Al-Qur’an berfungsi sebagai blueprint kehidupan, memberikan petunjuk dalam menghadapi berbagai tantangan mental seperti depresi, kecemasan, dan kesedihan. Salah satu surah yang memiliki kekuatan menenangkan adalah Surah ad-Dhuha, yang diturunkan untuk menghibur Nabi Muhammad Saw. saat mengalami kecemasan karena tidak menerima wahyu dalam waktu lama. Surah ini juga menjadi sumber harapan bagi orang-orang beriman (Ayun, Qurrata, 2024).

Menjadikan al-Qur’an sebagai sahabat sejati berarti membacanya, menghafalnya, mempelajarinya, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya membawa manfaat bagi kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam arti lain, jauh dari permasalahan kejiwaan seperti cemas, frutasi, takut, khawatir, dan seterusnya.

Ketenangan jiwa dalam Al-Qur’an tidak hanya terkait dengan keadaan psikologis, tetapi juga spiritual. Melalui zikir, tawakal, sabar, berbaik sangka kepada Allah, menjaga hubungan yang kuat dengan Allah serta membaca Al-Quran dapat menjadi jalan untuk meraih ketenangan batin. Ketika seseorang menapaki jalan ini dengan konsep yang disampaikan para ulama di atas, ia akan merasakan kedamaian dalam setiap keadaan, karena ia meyakini bahwa segala yang terjadi adalah bagian dari ketentuan Allah yang terbaik untuk dirinya.

Referensi:

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al -Azhim, Dar Ibnu Hazm, 2000.
Jalaluddin al-Mahalli wa as-Suyuthi, Tafsir al-Imamain al-Jalalain, Dar Ibnu Katsir, tahun 1679.
At-Thabari, Jamiu al-Bayan an Ta’wili Ayi Al-Quran, Maktabah Ibnu Taimiah, Cairo.
Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi Maalimu at-Tanzil, Dar Thayyibah Riyadh, 1411 H.
Muhammad Ar-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatihu al-Ghaib, Darul Fikri Lebanon, 1981.
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami Al-Quran, Dar Alam al-Kutub Riyadh, 2003.
Fahri Hanif Rais Wibowo, Al-Quran Sebagai Obat Kesehatan Mental, Buletin Al-Rasikh, 7 September 2023.
Dumilah Ayungtinias, dkk, Analisis Situasi Kesehatan Mental pada Masyarakat di Indonesia dan Strategi. Penanggulangannya Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, Vol. 9, No. 1, 2018.
Ayun, Qurrota, Tips Menjaga Kesehatan Mental ala Islam, Berdasar Al-Quran, 24 Januari 2024.
Prof. Dr.H.Muhammad Zainuddin M.A, Islam Dan Masalah Kesehatan Jiwa. (t.t.). Uin-Malang.Ac.Id, 21 Mei 2020.
Isfahani – Mufradat Alfadh al-Quran, Uploaded by Mansorr Al Faransy, 2012.
Samain dan Budiharjo, Konsep Kesehatan Mental Dalam Al-Qur’ān Dan Implikasinya Terhadap Adversity Quotient Perspektif Tafsir Al-Misbah, Vol.1, No2, Desember 2020.
Widiya A Radiani, Kesehatan Mental Masa Kini Dan Penanganan Gangguannya Secara Islami, Vol. 3, No.1, 2019.
Yuanita Ma’rufah, Manfaat Shalat Terhadap Kesehatan Mental Dalam Al-Qur’an, Skripsi, 2015.
Dumilah Ayuningtyas, Misnaniarti, Marisa Rayhani, Analisis Situasi Kesehatan Mental pada Masyarakat di Indonesia dan Strategi Penanggulangannya, JIKM, Vol. 9, No.1, 2018.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *