Tafsir Resmi Negara dan Konstruksi Peran Perempuan dalam Islam

Kajian mengenai gender dalam Al-Qur’an telah banyak dilakukan oleh berbagai pemikir, baik di Indonesia maupun di dunia. Salah satu tokoh yang mengkaji isu ini adalah Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumentasi Kesetaraan Gender. Ia berpendapat bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak cukup dikaji dari aspek biologis semata, tetapi juga perlu dianalisis secara non-biologis (gender).

Leila Ahmed dalam Women and Gender in Islam menyatakan bahwa Islam secara unik, spesifik, dan nyata telah memberikan kehormatan kepada wanita dan gender umumnya yang kemudian berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang rumit. Al-Qur’an tidak menafikan adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk mengistimewakan jenis kelamin tertentu. Sejarah mencatat bahwa perempuan mengalami berbagai perubahan kedudukan dari masa ke masa. Faktor sosial, budaya, dan sejarah telah menyebabkan perempuan kehilangan hak-haknya akibat dominasi sistem patriarki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks hak dan kewajiban telah berlangsung dalam waktu yang cukup panjang, tetapi sering kali tidak mencerminkan prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi perempuan.

Bacaan Lainnya

Pada masa sebelum Islam, di berbagai peradaban, kelahiran perempuan sering dianggap sebagai petaka. Hal ini terjadi di berbagai wilayah, baik di Timur maupun di Barat. Perempuan kerap dianggap sebagai beban ekonomi dan sosial, sehingga praktik-praktik diskriminatif, seperti penguburan bayi perempuan hidup-hidup, terjadi secara sistematis. Di Arab pra-Islam, perempuan tidak memiliki kebebasan dalam pernikahan; keputusan pernikahan sepenuhnya berada di tangan wali laki-laki. Mahar yang seharusnya menjadi hak perempuan justru diberikan kepada wali, sehingga pernikahan lebih menyerupai transaksi jual beli daripada ikatan yang berlandaskan hak dan kewajiban yang seimbang.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan Islam. Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi Muhammad, adalah sosok perempuan pertama yang menerima dan meyakini kerasulan Nabi. Ia juga berperan aktif dalam menopang perjuangan dakwah dengan memberikan dukungan moral dan materiil. Penghormatan terhadap perempuan dalam Islam juga tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur’an, seperti dalam Surah Al-Isrâ’ (17:23) yang menekankan pentingnya berbuat baik kepada kedua orang tua, termasuk ibu. Ayat lain, seperti Surah Maryam (19:93), menegaskan bahwa setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah berdasarkan ketakwaan mereka.

Islam hadir sebagai cahaya bagi seluruh umat manusia. Namun, dalam konteks historis dan budaya, pemahaman terhadap teks keagamaan sering kali belum sepenuhnya berpihak pada perempuan. Di Indonesia dan Mesir, misalnya, kajian gender dalam tafsir Al-Qur’an mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sebagai negara dengan tradisi keislaman yang kuat, Indonesia memiliki hubungan erat dengan Timur Tengah dalam aspek keilmuan tafsir. Mesir, yang dikenal sebagai pusat kajian keislaman, telah menjadi destinasi bagi banyak ulama Indonesia dalam memperdalam ilmu agama.

Dalam konteks sejarah modern Indonesia, transformasi peran perempuan terjadi dalam dua periode besar:

Periode sebelum kemerdekaan (awal abad ke-20 – 1945), ketika perempuan mulai berpartisipasi dalam pergerakan nasional.

Periode pasca-kemerdekaan (sejak 1945 – sekarang), ketika kebijakan negara mulai memperhitungkan peran perempuan dalam pembangunan nasional.

Salah satu kebijakan penting terkait gender adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan. Kebijakan ini menekankan bahwa aspek gender harus diintegrasikan dalam seluruh tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga evaluasi.

Pentingnya pendidikan bagi perempuan, sejatinya tidak hanya untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas, namun pendidikan penting dalam meningkatkan kompetensi perempuan dalam ilmu, budaya, dan sosial. Al-Azhar as-Syarîf sebagai lembaga pendidikan sejak seribu tahun, masih terbatas pada laki-laki saja seperti dikirimnya utusan Al-Azhar keluar Mesir pada tahun 1812, dan pengiriman utusan perempuan pertama sekitar tahun 1906. Al-Bi’tsat an-Nisâiyyah yang fenomenal adalah yang melakukan perjalanan ke Inggris pada tahun 1926 yang kembali ke Mesir pasa 1930 sampai 1931 yang berhasil meningkatkan kualitas mereka melalui penghargaan yang didapat selama berada disana. Dan ini merupakan upaya besar dalam meningkatkan peran perempuan di masyarakat dengan beragam keahlian yang dimiliki perempuan.

Kajian tafsir di Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran tafsir dari Timur Tengah. Mesir sebagai negara yang dikenal sebagai pusat kajian keislaman telah menjadi salah satu destinasi tempat belajar banyak ulama di Indonesia.

Lantas, bagaimana produk tafsir resmi dari kedua negara memberikan penjelasan terkait dengan kedudukan Perempuan dalam penafsirannya?

Al-Qur’an dan Tafsirnya adalah salah satu produk tafsir resmi yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Tafsir ini disusun oleh Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam menyediakan tafsir yang standar, mudah dipahami, dan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Al-Muntakhab fî Tafsîr Al-Qur`an al-Karîm merupakan salah satu produk tafsir negara yang diterbitkan oleh Badan Waqaf Mesir, dengan tujuan menyajikan pemahaman Al-Qur’an yang mudah, sistematis, dan tetap berbasis pada sumber-sumber tafsir klasik. Dengan pendekatan ilmiah dan moderatnya, tafsir ini menjadi salah satu referensi penting dalam studi Islam dan pemahaman Al-Qur’an di dunia Islam.

Penafsiran kedudukan perempuan dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya (Indonesia) dan Al-Muntakhab fî Tafsîr al-Qur’an al-Karîm (Mesir), saya bahas dalam 4 aspek utama, yaitu : penciptaan, warisan, rumah tangga, dan kepemimpinan.

Dalam penciptaan perempuan (An-Nisâ’/1), Al-Qur’an dan Tafsirnya menyebutkan bahwa manusia berasal dari jiwa yang satu, yaitu Adam, sesuai dengan ilmu biologi. Sementara itu, Al-Muntakhab menegaskan bahwa seluruh manusia berasal dari satu jiwa, yang kemudian berkembang menjadi keturunan.

Terkait warisan (An-Nisâ’/11-12), Al-Qur’an dan Tafsirnya menjelaskan bahwa laki-laki menerima dua bagian warisan karena bertanggung jawab menafkahi keluarga, sedangkan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Al-Muntakhab menegaskan bahwa sistem warisan Islam didasarkan pada keadilan, menghapus ketidakadilan yang dialami perempuan pada masa jahiliyah.

Dalam rumah tangga (An-Nisâ’/34), Al-Qur’an dan Tafsirnya menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga yang wajib menafkahi istri. Jika terjadi nusyûz, langkah pertama adalah memberikan nasihat, diikuti dengan pemisahan tempat tidur, dan sebagai upaya terakhir, diperbolehkan memukul secara ringan dan tidak menyakitkan. Al-Muntakhab menegaskan bahwa solusi utama dalam konflik rumah tangga adalah nasihat, bukan kekerasan.

Dalam kepemimpinan (An-Naml/23), Al-Qur’an dan Tafsirnya menunjukkan bahwa Ratu Saba’ adalah contoh pemimpin perempuan yang bijaksana dan mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Al-Muntakhab menguatkan pandangan ini dengan menegaskan bahwa perempuan dapat dihormati atas kecerdasan dan kepemimpinannya.

Kesimpulannya, kedua tafsir menunjukkan bahwa Islam memberikan kedudukan terhormat bagi perempuan. Al-Qur’an dan Tafsirnya merepresentasikan tafsir yang peka gender, menegaskan bahwa perbedaan peran tidak boleh dijadikan dasar untuk merendahkan perempuan. Sementara itu, Al-Muntakhab menekankan kesetaraan hak dan kewajiban berdasarkan teks Al-Qur’an, mencerminkan pendekatan yang adil dan seimbang dalam Islam.

Pendekatan tafsir yang dihasilkan oleh lembaga resmi negara, saya coba tawarkan sebagai Tafsir ad-Daulî, memiliki urgensi yang tinggi dalam membentuk pemahaman keagamaan masyarakat. Keberadaannya memberikan legitimasi dan otoritas terhadap nilai-nilai keislaman yang berlaku dalam suatu negara. Selain itu, tafsir ini juga berfungsi sebagai alat untuk mencegah kesalahan dalam pemahaman agama serta memerangi radikalisme dan ekstremisme. Hal ini dilakukan dengan mempromosikan nilai-nilai moral dan membangun identitas keagamaan nasional yang inklusif dan berkeadilan.

Dengan berkembangnya kajian gender dalam tafsir Al-Qur’an, diharapkan pemahaman keagamaan dapat lebih adaptif terhadap perubahan sosial. Kehadiran tafsir yang lebih responsif terhadap isu gender dapat memberikan perspektif yang lebih adil dalam memahami hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam.

Daftar Pustaka

Ahmad, Leila. Women and Gender in Islam, Connecticut: Yale University. 1992.
Khalifah, Ijlal. Al-Harakah An-Nisâiyah al-Hadîtsah: Qishal al-Mar’ah al-Arabiyah Alâ Ardhi Mishr. Kairo: Haiah Ammah, 2009.
Tim Departemen Agama. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina, 2001.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *