Silsilah Persoalan Menjelang milennium ketiga adalah era di mana kelompok keagamaan tampak lebih vokal dan lebih terlihat. Modernitas yang seakan-akan tidak memberi ruang bagi agama pada kurun waktu yang cukup lama seperti tidak lagi mampu menutup keran suara-suara agama untuk memperdengarkan dirinya. Kebebasan yang ditawarkan oleh modernitas adalah salah satu pemantik untuk lahirnya yang anti terhadap modernitas itu sendiri.
Di dalam Islam, hal itu bisa berarti dua hal yang berbeda arah, entah negatif atau positif, dan tulisan ini tidak hendak menghakiminya. Namun, yang pasti kedua arah tersebut sama-sama merupakan perayaan kembalinya konservatisme. Kedua arah tersebut adalah: pertama, puritanisme Islam dan kedua, modernisme Islam.
Baik puritanisme Islam maupun modernisme Islam adalah respons terhadap modernitas Barat yang hadir. Saat menganalisis tentang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Greg Fealy menyebutkan bahwa ada gelombang ketidakpercayaan kepada metanarasi modernitas yang menggilas narasi-narasi kecil di berbagai tempat dan waktu. Bagi HTI, Muslim adalah korban eksploitasi dan penindasan lewat modernitas dengan segala turunannya yang mereka ekspor ke wilayah-wilayah Islam (Fealy, 2007: 162) Jadi, modernitas melahirkan puritanisme Islam. Bisa disebut sebagai antitesis, tetapi bisa pula sebagai peniru modernitas dengan metanarasinya lalu diisi dengan muatan berbeda. Era puritanisme Islam ini muncul sekitar tahun 1970-an.
Arah kedua adalah modernisme Islam. Karena tulisan ini adalah tentang isu kesetaraan hak perempuan, maka langsung saja contohnya adalah para feminis Muslim. Miriam Cooke menyebut mereka sebagai kelompok yang mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang peran dan tanggung jawab baru perempuan tanpa mengorbankan norma-norma tradisional yang disetujui oleh agama (Cooke, 2001: vii) Memang Cooke menyebut bahwa para feminis Muslim ini nantinya berseberangan dan otoritas konservatif, tetapi dengan tetap memerlukan legitimasi dari norma-norma tradisional, maka sesungguhnya para feminis Muslim itu tetap konservatif, meski tidak sama persis dengan puritanisme, tetapi ada cukup banyak kesamaannya.
Kesetaraan Hak Perempuan Sebagai Alien Dalam tulisannya yang membeberkan hubungan paradoks antara modernitas dengan Hak Asasi Manusia (HAM), Christopher Brooks tetap mengakui bahwa HAM adalah bentuk kemenangan modernitas, jika bukan pencapaian tertingginya (Brooks, 2021). F. Budi Hardiman mencatat bahwa modernitas adalah pergerseran dari teosentrisme ke antroposentrisme. Muaranya adalah penghargaan terhadap rasionalitas, kemajuan sains dan industri, lahirnya demokrasi dan HAM, serta sekularisme (Hardiman, 2019: 1).
HAM lalu menjadi landasan utama bagi upaya kesetaraan hak perempuan. UN Women, sebuah entitas PBB yang didedikasikan untuk mencapai kesetaraan hak perempuan dan pemberdayaan perempuan, pernah menegaskan hal itu dalam sebuah peper yang diterbitkan pada tahun 2015 (Fredman dan Goldblatt, 2015). Jadi, begitu jelas hubungan antara modernitas, HAM, dan upaya kesetaraan hak perempuan. Bagi umat Islam, persoalannya menjadi tidak sederhana. Kesetaraan hak perempuan adalah makhluk asing, sebagaimana HAM dan modernitas. Kesemuanya tidak lahir dari rahim peradaban Islam.
Khaled Abou El Fadl mencatat tersendatnya agenda HAM, termasuk upaya kesetaraan hak perempuan, salah satunya disebabkan oleh kolonialisme. Trauma kolonialisme membuat gagasan HAM tidak lebih daripada “misi memperadabkan” di era kolonial (El Fadl, 2022: 311). Kolonialisme memang adalah salah satu era paling menyakitkan bagi umat Islam setelah invasi Mongol. Jika invasi Mongol hanya menghancurkan peradaban Islam tetapi tidak mengubahnya, kolonialisme berlangsung sangat lama dan sangat luas hingga bekasnya pun masih terasa hingga saat ini.
Jika kolonialisme adalah trauma yang mengendap di dalam bawah sadar, maka puritanisme adalah respons dalam bentuk kasat. Pada tingkat yang lebih jauh adalah radikalisme. El Fadl menyebut puritanisme sebagai upaya untuk menjadi mandiri secara kultural dari Barat.
Menggugat HAM dan Kesetaraan Hak Perempuan Terlepas dari kenyataan adanya kolonialisme yang mengakibatkan trauma mendalam bagi umat Islam hingga melahirkan puritanisme, ada yang mengendap di alam bawah sadar umat Islam yang mungkin jauh lebih kuat daripada pengaruh kolonialisme dan puritanisme. Hal itu adalah hak manusia di hadapan hak Allah Swt. Apakah manusia memiliki hak secara esensial? Jika punya, bukankah itu berhadapan langsung dengan hak Allah Swt?
Jika pertanyaan di atas diajukan kepada kaum puritan, jawabannya pasti menyatakan bahwa manusia tidak memiliki secara esensial. Hanya Allah Swt yang punya. Jika pertanyaan yang sama diajukan kepada kaum modernis, maka jawabannya sedikit ambigu. Upaya mereka untuk mengitrodusir HAM dan kesetaraan hak perempuan menampakkan bahwa mereka mengakui manusia memiliki hak secara esensial. Namun kecenderungan terus-menerus untuk mengonfirmasi pandangan mereka kepada tradisi Islam, termasuk Al-Qur`an, menampakkan bahwa mereka adalah kaum puritan dalam bentuk berbeda.
Amina Wadud menunjukkan keheranannya bagaimana etos intelektual Islam berkembang tampa memberikan perhatian jelas kepada suara perempuan, padahal, menurutnya, Al-Qur`an cukup bisa diterapkan secara logis dan adil dalam kehidupan manusia di era apa pun (Wadud, 1999). Bahkan seorang Amina Wadud masih memerlukan tradisi Islam untuk mengesahkan pemikirannya. Apakah itu semata-mata konsekuensi bahwa Amina Wadud masih beriman atau ada yang lebih laten daripada itu?
Jika ukuran dari modernitas adalah peralihan dari teosentrisme kepada antroposentrisme, maka pada Amina Wadud tampak ada peralihan tersebut, tetapi masih setengah-setengah atau terengah-engah.
Kebutuhannya untuk tetap mencari legitimasi dari tradisi Islam membuatnya seperti itu. Dia tidak lebih daripada bentuk lain dari konservatisme. Dalam hal ini, kaum puritan jauh lebih tegas menentukan posisi duduknya.
Baik kaum puritan maupun Amina Wadud sama-sama berada di dalam, menurut istilah Leonard Binder, hermeneutika otentisitas (Binder, 2001: 424). Binder mengajukan dua pertanyaan yang dalam tulisan ini hendak diajukan kepada Amina Wadud. Pertama, apakah Islam memiliki kendala berat dalam melaksanakan modernisasi dan pembangunan. Kedua, apakah Islam memiliki tatanan sosial yang sangat berbeda dan jauh lebih baik dibanding yang ditawarkan oleh teori pembangunan Barat.
Untuk pertanyaan pertama, bagi Wadud, barangkali, tidak ada kendala berat yang ringan ada. Kendalanya adalah bahwa Islam memiliki tradisi, termasuk Al-Qur`an, yang dominan dan harus menjadi rujukan. Untuk pertanyaan kedua, Islam mungkin tidak memiliki tatanan sosial yang saat ini sebagai alternatif teori pembangunan Barat, tetapi Islam memiliki konsep ideal yang ada di dalam tradisi Islam, termasuk Al-Qur`an.
Barangkali jawaban imajiner dari Wadud itu cukup berbeda dengan jawaban dari kaum puritan, tetapi sangat mudah untuk mengatakan bahwa baik Wadud maupun kaum puritan sama-sama konservatif. Barangkali pula, modenitas itu memiliki sisi konservatifnya sendiri sehingga lawannya juga adalah harus konservatisme. Betapa tidak konservatif. Modernitas sesungguhnya adalah pengukuhan identitas, yaitu identitas manusia berfikir warisan Rene Descartes yang mengeksklusi selainnya menjadi sekadar objek, baik itu alam maupun manusia lain.[]
Bahan Bacaan
Binder, Leonard, Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideolog-ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Brooks, Christopher, “Being Human, Human Rights dan Modernity”, dalam https://www.iasdurham.org/wp-content/uploads/2021/03/Brooks_Being-Human-Human-Rights-and-Modernity.pdf
Cooke, Miriam, Women Claim Islam, London: Routledge, 2001
El Fadl, Khaled Abou, “Komitmen Hak Asasi Manusia dalam Islam Modern, dalam Cekli S. Pratiwi, Lena Larsen, dkk (eds.). HAM & Syariat: Sebuah Kajian, Bandung: Mizan, 2022
Fealy, Greg, “Hizbut Tahrir in Indonesia: Seeking Total Islamic Identity”, dalam Shahram Akbarzaeh dan Fethi Mansouri, Islam dan Political Violence: Muslim Diaspora and Radicalism in the West, London: Tauris Academic Studies, 2007
Fredman, Sandra dan Beth Goldblatt, “Gender Equality and Human Rights”, dalam https://www.unwomen.org/sites/default/files/Headquarters/Attachments/Sections/Library/Publications/2015/Goldblatt-Fin.pdf.
Hardiman, F. Budi, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2019
Wadud, Amina, Qur`an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman`s Perspective, New York: Oxford University Press, 1999.