Salah satu argumen paling kuat sekaligus paling lemah dari kelompok radikal teroris yang berlandaskan kepada Kitab Suci adalah bahwa hukum Tuhan harus ditegakkan. Ada tiga ayat yang termasyhur untuk itu yaitu: QS. al-Maidah/5: 44, 45, dan 47. Namun, baik penafsiran kelompok radikal teroris maupun penentangnya, tetap saja semata-mata penafsiran yang tidak pernah lepas dari konteksnya dan juga dari kepentingan-kepentingan penafsirnya. Karena itu, tulisan ini lebih menekankan diri kepada pertarungan konteks daripada pertarungan penafsiran teks.
Bagi kelompok radikal teroris, segala hal seperti dasar negara (Pancasila dan UUD 1945) dan sistem pemerintahan (demokrasi) harus dihancurkan dan para penganutnya harus dimusnahkan. Argumen ini disebut paling kuat karena memang secara harfiah, teks peneguhan hukum Tuhan memang ada di dalam Kitab Suci. Untuk memahami teks itu tidak secara tekstual harus diadakan jalan memutar. Argumen tersebut disebut paling lemah karena pendapat mereka tidak lebih daripada pemahaman manusia juga karena mereka adalah manusia. Mereka hanya tidak mampu membedakan mana pendapat mereka dan mana Kitab Suci.
Terlepas dari adanya kecenderungan untuk bersikap destruktif atas nama agama sebagaimana dilakukan kelompok radikal teroris, peran agama di ruang publik memang tidak mungkin dihindari. Cukup lama memang peran agama seperti tenggelam. Salah satu yang patut diduga sebagai penyebabnya adalah karena oleh modernitas, agama dianggap bagian dari masa lalu yang perlu ditinggalkan karena hanya akan menghambat kemajuan. Modernitas yang mengandalkan rasionalisme dan empirisme memang hampir-hampir tidak memberi ruang bagi agama untuk berkembang. Konsekuensinya, di dalam sistem pemerintahan yang berkembang pun, agama tidak memiliki peran yang berarti, termasuk demokrasi.
Untuk beberapa lama, peran agama yang terpinggirkan itu dianggap biasa saja. Modernitas memang melahirkan yang namanya grand narrative (metanarrative)atau narasi besar, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jean François Lyotard (Peter Gratton, 2023). Modernitas termasuk grand narrative karena dengan mudahnya segala hal yang tidak modern dianggap terkebelakang. Saat sesuatu, sekelompok orang, atau sebuah sistem menganggap diri modern, maka segala hal selainnya pasti dinilai kurang. Misalnya, dengan angkuh negara-negara Barat, termasuk Amerika mengklaim diri sebagai modern dan maju sakaligus menghakimi selain mereka sebagai terkebelakang karena tidak modern; padahal bisa saja memang ada kemajuan di sana dalam satu hal tetapi ada juga kemajuan di sini dalam hal lain.
Belakangan, grand narrative mendapatkan tantangan kuat oleh yang bernama micronarrative (narasi renik). Suara agama yang sebelumnya didesak oleh modernitas, mulai memunculkan dirinya. Jürgen Habermas termasuk orang yang menegaskan peran agama yang tidak bisa dinafikan. Bahkan peran agama tidak perlu diperhadapkan dan dipertentangkan dengan demokrasi. Bagi Habermas suara hati umat beragama yang berasal dari kekuatan religius dapat menjadi kekuatan yang kritis terhadap kekuatan tiranis dan ketidakadilan sosial (F. Budi Hardiman, 2015: 19).
Suara-suara renik akhirnya mendapatkan ruang untuk berpendapat dan berekspresi, bukan hanya suara agama, termasuk suara-suara yang tidak disukai oleh agama, seperti LGBTQ. Terlepas dari itu, agama mendapatkan panggung yang cukup besar. Di Indonesia, panggung besar untuk agama sangat mudah terlihat. Di dalam buku Conservative Turn: Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme disebutkan bahwa konservatisme Islam di Indonesia menunjukkan trend peningkatan setelah masa reformasi (Martin van Bruinessen, 2014). Penerapan perda-perda syariah hingga Islamisme radikal di Solo bisa menjadi contoh.
Kehadiran agama di ruang publik bisa dipahami sebagai micronarrative di hadapan grand narrative negara demokrasi sekuler. Karena itu, peran agama menjadi sangat penting di masyarakat postsekuler. Di Indonesia, kehadiran itu mempunyai sejarahnya sendiri yang mengakar sejak awal terbentuknya negara ini atau di masa sebelum dan sesudah Proklamasi 1945. Meskipun, tidak bisa dinafikan pengaruh dari ideologi transnasional. Masa reformasi seakan-akan menjadi pembentukan ulang negara ini sehingga kembali memberikan momentum bagi kehadiran agama di ruang publik untuk bersama-sama memberi makna.
Bisa disebutkan bahwa sejak awal masa reformasi di tahun 1998 hingga kini, momentum agama mendapatkan panggung sudah cukup lama dan memberikan rasa jenuh tersendiri digelayuti pertanyaan apakah agama bisa benar-benar bermanfaat bagi kehidupan bernegara sebagai sebuah sistem? Lama-kelamaan sepertinya panggung agama sudah mulai kehilangan momentum. Gerakan keagamaan tidak cukup meraup simpati publik, bahkan dari publik beragama itu sendiri.
Salah satu yang patut diduga menjadi biang kerok hilangnya momentum agama adalah kelompok radikal teroris yang memanfaatkan momentum tersebut dengan cara kekerasan. Akibatnya, peran agama sebagai micronarrative yang sesungguhnya adalah sebagai altenatif kekuatan yang kritis terhadap kekuatan tiranis dan ketidakadilan sosial, malah menjadi kekuatan yang tiranis dan tidak adil itu sendiri, bahkan destruktif. Gaya mereka yang semata-mata memandang realitas lewat kacamata teks-teks Kitab Suci tidak akan mendapatkan tempat di ruang publik. Perlu dicatat, bukan teks-teks Kitab Suci yang tidak mendapatkan tempat, tetapi pembacaan tekstual terhadap teks tersebut yang tidak mendapatkan tempat.
Para pendiri bangsa di masa lalu memang adalah orang-orang yang sangat cerdas hingga mampu melihat masa depan Indonesia dengan begitu jelas. Para pendiri bangsa itu adalah para ulama sekaligus cendekiawan bersama para cendekiawan murni. Para ulama memahami bahwa masyarakat Indonesia memang religius, tetapi mereka juga adalah masyarakat yang berbudaya Indonesia yang beragam. Para cendekiawan memahami bahwa masyarakat Indonesia memang berbudaya yang beragam tetapi juga adalah masyarakat yang religius. Karena itu, para ulama dan para cendekiawan sepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara karena Pancasila adalah rumusan yang religius dan juga modern. Jadi, narasi besar modenitas sebagai tempat dan tanggal lahirnya rumusan Pancasila diakomodasi dengan baik tetapi narasi renik berupa religiusitas dan multikulralitas juga diakomodasi.
Sejarah terbentuknya Pancasila adalah sejarah rumusan relasi agama dan negara. Golongan nasionalis atau kebangsaan sekuler berdebat tajam dengan golongan kebangsaan Islam. Jadi, Pancasila adalah produk tawar-menawar antara dua kekuatan tersebut. Karena itu, Pancasila adalah sekuler sekaligus religius. Padanya gran narrative dan micronarrative bergandengan tangan dengan mesra.
Yudi Latif di dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila menyatakan bahwa memang tampak statis karena tidak mungkin mengurangi atau menambah sila-silanya, bahkan mengubah kata per katanya. Namun, sesungguhnya Pancasila cukup dinamis dan senantiasa membuka diri bagi proses pengisian dan penafsiran baru dengan syarat memerhatikan semangat dasar yang ada di dalamnya dan keterkaitan antarsila (Yudi Latif, 2011: 609-613).
Yudi Latif juga menyebutkan beberapa fitrah Pancasila yang—jika bisa disebut—terdengar seperti sangat khas Islam, yaitu: fitrah “menuhan”, fitrah semangat kekeluargaan, fitrah semangat keikhlasan dan ketulusan, fitrah semangat pengabdian dan tanggung jawab, fitrah semangat menghasilkan yang terbaik, fitrah semangat keadilan dan kemanusiaan, dan fitrah semangat kejuangan.[]
Ketika kelompok radikal teroris menyasar Pancasila untuk diganti dengan selera mereka, sesungguhnya itu adalah langkah yang cerdas sekaligus strategis karena Pancasila itulah yang mampu memberikan jalan tengah (moderat, wasathiyah) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengganti Pancasila, maka hilanglah sudah ruang bersama dan tersisa ruang untuk hanya satu agama.