Benang Merah Pendekatan Amina Wadud dan Farid Esack

Kritikan terhadap pendekatan penafsiran para tokoh klasik dalam arena pembacaan al-Qur’an, menjadi ruang terbuka yang mengundang lahirnya pemikir modern-kontemporer untuk ikut andil dalam upaya pembaharuan. Di satu sisi kompleksitas dominan para penafsir kitab suci, oleh kalangan laki-laki dianggap mempunyai kecenderungan bias gender dalam projek penafsiran yang dihasilkan.

Upaya yang terus dilakukan dalam merekonstruksi teori-teori penafsiran klasik, mencoba memadukan diskursus keilmuan lain sebagai perangkat yang menyokong teori-teori baru tersebut. Amina Wadud dan Farid Esack menjadi dua tokoh yang mencoba membangun sebuah pendekatan dalam memandang teks al-Qur’an.

Bacaan Lainnya

Amina mengklaim, bahwa sejauh ini produk penafsiran yang didominasi oleh tokoh-tokoh laki-laki sangat menentukan adanya hasil interpretasi yang dilakukan (Amina Wadud: Wanita dalam al-Qur’an, xxii) Upaya interpretasi terhadap al-Qur’an tidak berhasil mengakomodir pengalaman perempuan di dalamnya. Hasilnya, penafsiran cenderung mengarah pada pengesampingan pengalaman perempuan serta tidak dapat merepresentasikan perempuan sebagai subjek yang mempunyai peran. Keterikatan identitas dan budaya patriarkal, berkonsekuensi pada pembacaan yang menjadi sebab akan penafsiran bias gender.

Posisi tersebutlah yang menjadi wilayah Amina untuk melakukan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ia secara tegas menyampaikan, bahwa studi yang dilakukan bukan terletak pada wilayah pembacaan ulang terhadap tafsir, namun meletakan al-Qur’an sebagai objek kajian yang ingin dibaca ulang menggunakan pendekatan pengalaman perempuan.

“Interpretasi terhadap al-Qur’an yang saya lakukan, mungkin akan sangat berlawanan dari hasil pembacaan dan kesimpulan yang selama ini ada. Karena, di sini saya menganalisis ayat-ayat al-Qur’an, bukannya menganalisis tafsir-tafsir…” (Amina: 1994, 4)

Di arah yang berbeda, Farid Esack juga mencoba untuk menuangkan gagasannya.  Tokoh dengan segudang pengalaman “kepahitan” hidup ini yang disebabkan oleh sistem yang menindas, memposisikan al-Qur’an sebagai pendukung perjuangan melawan tirani. Realitas terhadap sebuah sistem yang menindas masyarakat dalam wilayah dan kadar ukuran tertentu, tidak salah jika dijadikan sebagai titik tolak penafsiran. Semangat ini berangkat dari pemahaman lahirnya Islam yang pada historisitasnya, berupaya untuk menghapuskan budaya-budaya yang timpang, menindas, menuju ke arah masyarakat yang egaliter dan humanis. Islam adalah agama kemanusiaan, menjunjung tinggi persamaan hak bagi umat manusia, melalui al-Qur’an lah prinsip-prinsip tersebut terkandung.  

Titik temu pandangan Amina dengan Farid terletak pada latar belakang akan pentingnya mendudukan keberangkatan seorang mufassir untuk menginterpretasikan al-Qur’an. Titik berangkat yang dimaksud adalah berkaitan dengan “pengalaman” seorang penafsir. Amina yang menganggap bahwa, selama ini tafsir-tafsir yang dilakukan oleh sejumlah tokoh tidak mengakomodir pengalaman perempuan, sangatlah berpengaruh pada penafsiran yang dilakukan.

Sedangkan bagi Farid, al-Qur’an dijadikan sebuah jembatan untuk melawan diskriminasi sistem, penindasan ras dan ketimpangan sosial. Al-Qur’an memiliki visi pembebasan, bebas dari superioritas apapun, menuju sistem masyarakat yang mengakui adanya persamaan dan kesalingan untuk hidup setara. (Farid Esack: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme. 32).

Yang lebih menarik lagi, kedua tokoh tersebut secara tegas mengakui adanya keberpihakan yang tidak bisa dilepaskan dari upaya pembacaan pada “teks” (Amina: 4 dan Farid: 85). Kecenderungan akan kesadaran keberpihakan, menjadi satu poin penting yang mengarah kepada keterbukaan dialog di satu sisi dan pengujian secara akademis di sisi yang lain.

Unsur subjektivitas atau keberpihakan pada hasil pembacaan pun, telah mengkristal dalam tradisi historis tafsir. Lahirnya corak atau nuansa produk penafsiran (tafsir klasik), memperlihatkan bahwa sejauh ini subjektifitas lebih mendominasi produk-produk tafsir yang ada, meski hal tersebut tidak banyak diakui dan lebih menempatkan sebagai dinamika penafsiran an sich

Selain itu, kedua tokoh ini memberikan lompatan pemahaman yang menegaskan bahwa konteks lebih dipertimbangkan dibanding kecenderungan wacana atau latar keahlian (pendidikan) yang dimiliki. Hal tersebut bisa berdampak pada hasil pendekatan terhadap al-Qur’an. Meletakkan kesadaran terhadap konteks dan menanggalkan identitas pengetahuan menjadi karakter tersembunyi dan profesional yang lekat bagi kedua tokoh ini. Alih-alih menentang ataupun menolak gagasan yang ditawarkan Amina dan Farid, keduanya secara implisit telah membuka ruang dialog untuk mendiskusikan gagasan dan tawarannya dalam melakukan pendekatan ulang terhadap kitab suci al-Qur’an.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *