Model Pembelajaran Al-Qur’ān: Jamī‘ah Al-Qur’ān di Iran dan Refleksi Bagi Pendidikan al-Qur’ān di Indonesia

Model Pembelajaran al-Qur’ān melalui Jamī‘ah Al-Qur’ān di Iran dipelopori oleh Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I yang menjadi inspirasi bagi ayahnya Sayyid Muhammad Mahdi Thabathaba’I untuk mendirikan Jamī‘ah Al-Qur’ān (1998), sekolah penghafal al-Qur’ān anak-anak yang amat populer di Iran. Ia dilahirkan di kota Qum Iran pada tahun 1991. Lahir pada tanggal 16 Februari tahun 1991 di kota Qom, sekitar135 kilometer dari Teheran, Ibu Kota Iran.

Sejak berusia amat belia, ia dianugerahi Allah swt sebuah kemampuan luar biasa, sebab dapat menghafal seluruh isi al-Qur’ān pada usia 5 tahun. Ia juga bisa menerjemahkan arti setiap ayat ke dalam bahasa ibunya (bahasa Persia), memahami makna ayat-ayat tersebut dan bisa menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan sehari-hari. Bahkan ia mampu mengetahui dengan pasti di halaman berapa letak suatu ayat, di baris ke berapa, di kiri atau di kanan halaman al-Qur’ān.

Bacaan Lainnya

Ia disebut-sebut sebagai orang hebat abad 20. Bahkan tahun 1998, bocah yang baru berusia 7 tahun ini mendapat gelar “Doktor Honoris Causa” dalam bidang “Science of The Retention of The Holy Qur’ān” dari Hijaz College Islamic University Birmingham Inggris. Kehebatan Husein memang fenomenal. Karenanya tidak mengherankan fenomena Husein ini membangkitkan semangat histeria pada masyarakat Iran dan kawasan Timur Tengah lainnya.

Selama ini, masyarakat Iran,  kita hanya mengetahui lewat buku-buku sejarah bahwa ulama zaman dahulu sudah mampu menghafal al-Qur’ān pada usia dini. Sekarang mereka dapat menyaksikan sendiri, hal itu dapat terwujud sekarang lewat sosok Husein. Maka Sayyid Muhammad Mahdi pun mendirikan sebuah sekolah hafalan al-Qur’ān bagi anak-anak.

Jamī‘ah Al-Qur’ān adalah hasil dari jerih payahnya menimba ilmu di berbagai tempat yang  didirikan pertama kali di jantung kota Qum, dekat rumahnya, tidak lama setelah Husein meraih gelar “Doktor HC”. Sekolah ini menjadi sangat terkenal di seantero Iran, tentu saja karena keberadaan “the amazing child” sebagai ikonnya. Bagi sang ayah, pendirian sekolah ini merupakan parameter untuk mengukur efektifitas metode pembelajaran hafalan al-Qur’ān yang ia temukan bagi anak-anak lain.

Metode yang diterapkan dalam pembelajaran al-Qur’ān di sekolah ini adalah metode isyarat tangan yang dipadukan dengan metode bermain (demonstrasi) dan metode cerita bergambar. Metode isyarat tangan digunakan dalam melafalkan kata per kata ayat al-Qur’ān. Misalnya, ketika mengajarkan ayat tentang kebersihan “wallahu yuḥibbul mutaṭahhirin” (QS. 9: 108), maka anak diajak melafalkannya dengan memperagakan isyarat tangan.

Guru melafalkan “Wa” sambil mengayunkan tangan setengah lingkaran membentuk isyarat kata “wa” (artinya “dan”) yang diikuti anak-anak. “Allahu” sambil menunjukkan telunjuk ke atas (bermakna Allah). “Yuḥibbu” diisyaratkan dengan kedua tangan seolah-olah memeluk sesuatu (bermakna mencintai). “Muttahhirin” diisyaratkan dengan memperagakan gerakan orang yang sedang menggosok-gosok tangan ketika mandi (bermakna orang-orang yang bersih).

Begitu seterusnya dengan diikuti oleh anak-anak. Selanjutnya kata-kata pada ayat tadi diganti dengan arti kata sambil memperagakan isyarat tangan. Dalam bahasa Indonesia, ayat tersebut dapat diartikan dengan “dan” (tangan membentuk setengah lingkaran), Allah (menunjukkan ke atas), mencintai (tangan seolah-olah memeluk sesuatu), orang-orang yang bersih (lengan tangan dogosok-gosok seperti mandi).

Metode isyarat tangan diatas dipadukan dengan metode bermain. Dengan bermain, anak-anak diajak mengulang-ulang ayat tersebut sampai hafal. Cara bermain, misalnya, bila jumlahnya 10 anak, sediakan 9 kursi berderet lalu anak-anak berlomba duduk di kursi, sehingga pasti ada satu anak yang tidak kebagian. Anak yang tidak kebagian kursi diperintah untuk membaca ayat dan artinya, tentu saja sambil memperagakan isyarat tangan.

Metode isyarat tangan juga dapat dipadukan dengan cerita bergambar. Misalnya guru menyiapkan gambar anak yang sedang bermaafan dengan temannya kemudian bercerita. Selesai bercerita, guru mengajarkan ayat tentang perdamaian “waṣṣulhu khair” (QS. An-Nisā’: 128). “wa” (dan) sambil mengayunkan tangan membentuk setengah lingkaran, “ulhu”(perdamaian) sambil memperagakan saling menjabat kedua tangan, dan “khair”(baik) sambil mengacungkan jempol.

Dengan model pembelajaran di atas, anak-anak diperkenalkan dengan dunia al-Qur’ān yang menyenangkan sambil menghayati makna al-Qur’ān serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’ān bukan lagi sekedar huruf-huruf dengan bentuk dan bunyi yang asing bagi anak-anak. Belajar al-Qur’ān bukan lagi dengan memaksa anak membaca huruf-huruf asing dengan doktrin ,”harus karena kamu beragama Islam”.

Dalam proses pembelajaran, Jamī‘ah Al-Qur’ān sangat memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, motivasi belajar al-Qur’ān adalah untuk mendapat ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar al-Qur’ān idealnya adalah hamilil quran, lafzan wa ma’nan wa ‘amalan, membaca al-Qur’ān dengan tajwid yang benar, memahami maknanya serta menerapkannya dalam keseharian anak didik.

Belajar al-Qur’ān  adalah menyimpan kata demi kata “surat cinta” Sang Kekasih di benak dan hati kita. Kedua, tidak memaksa anak untuk hafal al-Qur’ān . Karena terobsesi untuk menjadikan anak kita menjadi anak yang “hebat”, sebagian pendidik dan orang tua kadang lupa bahwa proses pembelajaran tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa kemauan dan kesadaran anak didik. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip selanjutnya, yakni ketiga, melakukan kegiatan yang menyenangkan (joyfull).

Untuk menjauhkan dari pemaksaan namun pada saat yang sama tetap memotivasi anak agar menyukai belajar al-Qur’ān  adalah dengan melakukan kegiatan belajar yang menyenangkan. Keempat, belajar al-Qur’ān  dari ayat-ayat yang mudah dipahami dan diterapkan, misalnya ayat tentang berbuat baik pada orang tua, ucapkan salam, menjaga kebersihan.

Kelima, keteladanan. Ayah Husein mengatakan: “bila orang tua menginginkan anaknya menjadi pencinta al-Qur’ān  dan lebih lagi penghafal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah orang tua harus mencintai al-Qur’ān terlebih dahulu dan rajin mambaca al-Qur’ān  di rumah”.

Penerapan Model Pembelajaran Jamī‘ah Al-Qur’ān di Indonesia: Sebuah Refleksi

Model pembelajaran yang menarik bagi anak-anak seperti di atas, tentu saja sangat menantang bagi kita di Indonesia. Apalagi model pembelajaran ini sangat aplicable dan menggunakan hampir seluruh kecerdasan. Howard Gardner mengemukakan multiple intelligences pada tahun 1983. Intinya ia menyatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya intelectual quotient (IQ) belaka.

Manusia memiliki kecerdasan majemuk, yakni kecerdasan bahasa, logika matematik, musikal, kinestetis tubuh, spasial, naturalis, interpersonal, dan intrapersonal]. Tentu saja, kerja sama antara pendidik, orang tua dan lingkungan sangat penting dalam penerapannya di Indonesia. Rumah Quran di Bandung telah beberapa tahun menerapkan model ini. Dalam catatannya, kendala yang dihadapi adalah lingkungan yang kurang kondusif dalam pembelajaran Qurani.

Kurangnya keteladanan orang tua di rumah dan pengaruh negatif media massa terutama televisi yang nyaris tanpa kendali. Akhirnya kita berharap akan muncul Husein-Husein baru di Indonesia. Anak-anak kita, cahaya-cahaya di akhirat, yang mampu mambaca al-Qur’ān, memahami maknanya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan utama metode Rumah Qurani adalah mengajar anak mengenal al-Qur’ān secara menyenangkan dan komprehensif sehingga insya Allah tercipta generasi yang cinta al-Qur’ān dan berakhlak Qurani. Ada beberapa langkah dalam mengajarkan al-Qur’ān. Langkah pertama, selalu memberi motivasi yang benar kepada mereka. Langkah kedua, mulailah dengan pengajaran ayat-ayat yang sederhana dan mudah diaplikasikan anak dalam kehidupan sehari-hari. Langkah ini bertujuan antara lain untuk membuat anak familiar dengan bunyi-bunyi bahasa Arab yang tentu awalnya terasa asing bagi mereka. Dengan kata lain, mereka akan menyadari bahwa ayat al-Qur’ān adalah sesuatu yang ‘hidup’ dalam keseharian, bukan ‘mantra-mantra aneh’.

Adapun pilihan topik-topik ayat lain yang konsepnya mudah diaplikasikan kepada anak-anak, yaitu; Pertama ayat kebersihan badan “wallahu yuh}ibbul mutat}ahhirin” (Q.S. 9:108). Kedua, kebersihan baju “wa ṡiyābaka faṭahhir” (Q.S. 74:4). Ketiga, mengenai berhias/ berpenampilan rapi kalau ke masjid “…. khużū zīnatakum ‘inda kulli masjid….” (Q.S. 7: 31). Ketiga, tentang mendirikan sholat “wa aqimiṣ-ṣalāta liżikrī” (Q.S. 20:14). Keempat, bertkaitan dengan bekerjasama dengan teman dalam kebaikan “…… wa ta‘āwanū ‘alal-birri wat-taqwā……”  (Q.S. 5:2).

Langkah ketiga, lakukan proses menghafal dengan suasana yang menyenangkan dan komprehensif. Bila mengikuti metode aslinya (yaitu menggunakan metode Rumah Qurani), tentu saja diperlukan pelatihan terlebih dahulu. Namun, untuk sementara, kita bisa mencoba sebatas kemampuan kita saja seperti halnya beberapa hal setelah ini. Pertama, memahamkan kepada anak makna ayat yang sedang dihafal dengan menggunakan isyarat tangan. Misalnya ketika mengajarkan surat Al-Ikhlaṣ: Qul huwallāhu aḥad (artinya: katakanlah) dengan memberikan isyarat tangan menunjuk ke mulut huwal (artinya: Dia), lalu jari telunjuk menunjuk ke atas lāhu (artinya: Allah), serta jari telunjuk menunjuk ke atas aḥad (artinya: satu) dengan tangan menunjukkan bilangan satu.

Kedua, apabila penggunaan isyarat tangan sulit dilakukan (karena memang untuk itu, kita harus menguasai minimalnya, sedikit, bahasa Arab), kita bisa menyiasatinya dengan menjelaskan makna ayat melalui gambar (seperti langkah kedua di atas) atau melalui dongeng. Misalnya, “Anakku, coba lihat di sekitarmu, ada pohon, gunung, langit, bunga, kupu-kupu…tahukah engkau siapa yang menciptakan semua itu? Alam semesta ini diciptakan oleh Allah yang Satu. Qul huwal-Laahu Ahad. Allah itu Satu dan seterusnya. Coba gunakan alat-alat bantu, misalnya VCD Quran yang banyak tersedia di pasaran.

Ketiga, mengadakan ice breaking agar anak tidak merasa bosan. Misalnya, ayah-ibu-Ahmad secara bergantian menyebut ayat yang sedang dihafal. Ayah ayat pertama, lalu Ibu ayat kedua, lalu Ahmad ayat ketiga, lalu kembali ke Ayah, dan sebagainya. Ayah dan Ibu bisa saja berpura-pura lupa, lalu mendapat hukuman.

Langkah keempat, berikan keteladanan, karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keteladanan memiliki peran signifikan dalam pengajaran. Langkah kelima: berilah anak hadiah dengan mengintruksikan kepada anak, jika dia sudah mengumpulkan 10 tanda bintang (misalnya), dia akan mendapat hadiah buku cerita (atau apa saja sesuai kemampuan). Hadiah sangat berpengaruh besar kepada psikologis anak. Dia akan mendapatkan kenangan indah dari proses menghafal al-Qur’ān dan insya Allah, kecintaan kepada al-Qur’ān pun tumbuh dalam dadanya.

Referensi

Hoerr, Thomas R.. Buku Kerja Multiple Intelligences. Terj: Ary Nilandari, Bandung: Penerbit Kaifa, 2007, Cet. I.

Sulaeman, Dina Y. Wonderfull profile of Husein Tabatabai, Doktor Cilik, Hafal dan Paham Al-Qur’ān , Jakarta: Pustaka IIMAN, 2007, cet.I

http://www.rumahpohonku.net/. Diakses pada 17 April 2023, pada pukul 12:00

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *