Politik Patriaki Penafsiran Ibnu Katsir (Studi Kasus Surah An-Nisa ayat 34)

Tafsir Al-Qur’an merupakan suatu produk pemikiran manusia. Latar belakang mufassir menentukan bagaimana ia menjelaskan dan menjabarkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pemikiran dan pemahaman yang berbeda-beda. Maka dari itu tafsir bersifat terbuka dan tidak mutlak. Namun teks-teks Al-Qur’an menurut Asma Barlas bersifat polisemik yaitu mengandung banyak makna (Aqib, 2019:150).

Terbukanya suatu ayat akan penafsiran, seringkali timbul polemik di tengah-tengah masyarakat. Ulama-ulama klasik dalam menafsirkan ayat-ayat yang bias gender, mereka cenderung menafsirkannya dengan patriaki. Menempatkan perempuan pada hukum yang rendah. Perempuan dianggap sebagai individu yang lemah, tidak memiliki banyak peluang dan kebebasan. Mereka selalu menempatkan laki-laki pada posisi tertinggi baik dalam lingkup agama, sosial bahkan politik.

Bacaan Lainnya

Patriakisme dalam suatu penafsiran seringkali kita temukan baik dalam tafsir-tafsir klasik maupun modern. Kaum feminisme menggugat persoalan patriaki dalam sebuah penafsiran. Mereka menganggap bahwa agama seringkali menyudutkan kaum perempuan. Mereka juga menilai bahwa keadilan bagi kaum perempuan tidak bisa diimplementasikan dalam setiap sektor, baik agama ataupun sosial.

Peradaban dunia selama beberapa abad kebelakang masih menganggap bahwa perempuan adalah kaum yang terbelakang. Perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan untuk bisa mengatur dan memimpin sebuah peradaban. Akses-akses dan peluang perempuan untuk ikut serta dan andil dalam berpolitik juga cenderung dibatasi oleh sistem peradaban itu sendiri.

Ketimpangan gender dalam kebebasan berpolitik masih menjadi problem hingga masa kini. Penafsiran-penafsiran patriakisme dalam perpolitikan perempuan seringkali kita temukan pada karya-karya tafsir ulama-ulama klasik. Perempuan cenderung dibatasi dan tidak diberi ruang untuk terjun pada politik praktis. Salah satu penafsiran ayat yang bias gender yaitu An-Nisa ayat 34:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum Wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (Wanita) dan karena mereka (laki-laki( telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka Wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Benar”.

Ibnu Katsir (2003:297) secara jelas menempatkan perempuan sebagai manusia yang lemah daripada laki-laki. Perempuan dianggap tidak memiliki ruang dan tempat, baik dalam sektor publik maupun keluarga. Perempuan tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin. Ibnu katsir juga menempatkan bahwa status dan kedudukan laki-laki berada di atas perempuan, sebagai pemimpin, hakim bahkan pendidik bagi perempuan.

Jiwa dan tanggung jawab laki-laki dianggap lebih utama dari pada perempuan. Keutamaan-keutamaan yang dimiliki laki-laki dikarenakan telah menafkahkan harta mereka untuk istrinya. Seorang istri harus menaati semua perintah suami bahkan Ibnu Katsir memperbolehkan seorang suami untuk memukul seorang istri namun dengan catatan tanpa melukai dan sebelumnya telah dinasehati terlebih dahulu (Ibn Katsir, 2003:299).

Secara analisis, penafsiran tersebut cenderung subjektif hanya menguntungkan laki-laki dan terkesan menyudutkan perempuan. Seorang istri hanya dituntut melaksanakan kewajibannya. Padahal, ada beberapa hak seorang istri yang seringkali tidak diberikan oleh seorang suami. Pada beberapa konteks, seringkali ditemukan bahwa yang menanggung nafkah keluarga adalah seorang istri bukan suami.

Untuk menyanggah penafsiran yang patriaki tersebut, Musdah Mulia (2014:14) memberikan statement bahwa perempuan seringkali menjadi objek ketimpangan dan ketidakadilan gender. Hal tersebut terjadi karena pandangan stereotip, marjinalisasi, patriaki masyarakat terhadap perempuan yang sudah membudaya dan menjadi beban yang berat dalam kehidupan sehari-hari perempuan.

Ibnu Katsir juga secara terbuka melarang seorang wanita menjadi seorang pemimpin. Perempuan dianggap tidak mumpuni dalam mengambil kebijakan publik. Perempuan dianggap tidak mampu dalam segi fisik maupun jiwanya untuk melaksanakan tugas-tugas negara. Perempuan cenderung dibatasi dalam akses kebebasan politiknya.

Salah seorang feminis asal India (Mulia, 2011:114) menjabarkan apabila dilihat dari segi asbabun nuzul ayat tersebut bukan berbicara tentang kepemimpinan. Ayat tersebut justru menjelaskan tentang domestic violence atau kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat Arab. Maka dari itu sangat tidak relevan jika ayat tersebut dijadikan justifikasi kapasitas kepemimpinan perempuan.

Kepemimpinan laki-laki dalam penafsiran-penafsiran bias gender dalam ayat ini, dirasionalisasi sebagai situasi ketergantungan perempuan dalam lingkup ekonomi dan keamanan. Padahal secara tegas Islam menempatkan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan laki-laki. Tujuan kewahyuan Al-Qur’an adalah membebaskan manusia dari segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan.

Ibnu Katsir mengatakan bahwa laki-laki merupakan pemimpin kaum perempuan. Mengurusi kaum perempuan, sebagai hakim dan laki-lakilah yang mempunyai kuasa untuk meluruskan apabila perempuan melakukan menyimpangan dari suatu kebenaran. Ibnu Katsir menyempitkan kepada sisi feminis dan kodrati perempuan dalam hak dan kewajibannya dalam rumah tangga (Latifah, 2022:79).

Dalam konteks sistem demokrasi Indonesia yaitu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, penentuan pemimpin pada dasarnya tidak dibatasi oleh gender. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk terjun dalam politik praktis juga sama-sama memiliki hak penuh dalam bersuara dan menyampaikan aspirasinya (Palulungan, 2020:93).

Pemerintah akhirnya memiliki perhatian yang serius terhadap isu kesetaraan gender di Indonesia. Undang-Undang nomor 31 tahun 2002 perempuan diberikan ruang pada keterlibatan politik praktis dengan minimal 30% keterwakilan perempuan (Kiftiyah, 2019:67). Diskriminasi perempuan dan dominasi laki-laki pada demokrasi politik Indonesia diharapkan dapat segera teratasi dengan baik.

Partisipasi politik perempuan pada dasarnya merupakan suatu kesukarelaan untuk bergabung dengan suatu kelompok kaukus perempuan. Kaukus tersebut terdiri atas beberapa unsur yaitu pemerhati politik, aktivis, dosen, parlemen, kader partai politik bahkan pemimpin daerah dan negara (Warjiyati, 2016:2). Partisipasi perempuan pada politik praktis tidak boleh dibatasi.

Penafsiran patriaki Ibnu Katsir disebabkan faktor zaman yang berbeda, dimana dahulu masih minim sekali kaum perempuan yang terjun dan bergelut dalam lingkup politik dan kepemimpinan (Latifah, 2022:81). Kondisi zaman dahulu dimana kegiatan perempuan hanya terbatas dalam lingkup keluarga saja. Perempuan dibatasi bahkan dilarang melakukan dan aktif dalam aktivitas-aktivitas publik.

Pada era peradaban modern, politik patriaki harus segera terselesaikan. Penafsiran patriaki dalam penafsiran ulama-ulama klasik seperti Ibnu Katsir bukanlah suatu kesalahan, namun keniscayaan yang patut untuk dimaklumi. Maka harus adanya reformasi politik perempuan dalam Islam. Pelabelan gender dalam politik sudah tidak relevan diterapkan di era modern.

Ibu Khafifah   Indar Parawansa merupakan salah satu contoh ulama perempuan yang terjun dan aktif dalam politik praktis. Beliau merupakan Gubernur Jawa Timur periode 2018-2023 sekaligus sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdatul Ulama. Sebelum menjadi Gubernur, beliau pernah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial Indonesia pada era periode Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Jokowi.

Khafifah Indar Parawansa masuk dalam jajaran tokoh Muslim Indonesia yang berpengaruh di dunia versi The Muslim 500: The World’s 500 Most Influental Muslims 2022. Keterlibatan perempuan dalam sektor politik di era modern sudah bukan lagi suatu hal yang harus diproblematisasi. Maka penafsiran Ibnu Katsir tidak lagi relevan jika dikaitkan konteks sosial politik Indonesia saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Aqib, Ahmad. (2019). Penafsiran Tauhid Emansiparis dalam Al-Qur’an (UIN Yogyakarta: Al-Fanar Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol. 2 No. 2.

Latifah, Alharira Eisyi. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Mishbah). (STISQ Lampung: Tafahus Jurnal Pengkajian Islam, 2022).

Katsir, Ibnu. (2003). Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar Jilid 2. Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’I.

Kiftiyah, Anifatul. Perempuan dalam Partisipasi Politik di Indonesia. Jurnal Yuridis Vol. 6 No. 2, 2019.

Mulia, Musdah. (2014). Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: PT Elex Media Kompetindo.

Mulia, Musdah. (2011). Muslimah Sejati. Bandung: Penerbit Marja.

Palulungan, Lusia. (2020). Perempuan, Masyarakat Patriaki & Kesetaraan Gender. Makasar: Yayayan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia.

Warjiyati, Sri. Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam. UIN Surabaya: Ad-Daulah Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1, 2016.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *