Antara Teks dan Realitas al-Quran dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd

Artikel ini akan berbicara terkait pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd (2010 M), sosok pemikir Islam dari Mesir yang terkenal akan gagasan pembaharuannya dalam studi Islam. Abu Zayd cukup populer di kalangan sarjana Islam, terutama akan pernyataannya yang kontroversial tentang al-Quran yang merupakan produk budaya (muntaj ats-tsaqafi). Pernyataannya tersebut kelak yang akan membawa banyak diskursus sekaligus perdebatan di kalangan para cendekiawan muslim, khususnya mereka yang memfokuskan diri pada studi al-Quran atau studi Hermeneutika al-Quran.

Berangkat dari pernyataan muntaj ats-tsaqafi-nya tersebut (bahwa al-Quran adalah produk budaya) sekurang-kurangnya akan membawa kembali kita pada perdebatan posisi asbâb an-nuzûl di dalam studi ‘Ulûm al-Qur’ân. Mana yang lebih dahulu muncul, asbâb an-nuzûl terlebih dahulu atau ayat terlebih dahulu. Bagi beberapa sarjana muslim kebanyakan, mereka meyakini bahwa asbâb an-nuzûl merupakan ‘penyebab’ diturunkannya suatu ayat.

Bacaan Lainnya

Namun bagi beberapa sarjana muslim lain, seperti ad-Dihlawi (1892 M) dan Bintu Syathi (1998) mereka justru cenderung menghindari menyertakan hubungan kausalitas atau sebab akibat di dalam penurunan wahyu, asbâb an-nuzûl bukan sebab diturunkannya wahyu, mereka meyakinibahwa ayat al-Quran, bagaimanapun akan tetap turun, sekalipun tidak ada asbabun nuzul-nya. Oleh karenanya, asbâb an-nuzûl disini lebih tepat diartikan sebagai kejadian ‘disekitar’ wahyu, dan bukan penyebab kenapa ayat tersebut turun (Syamsuddin, 2022: 32).

Dua pola perdebatan atau perbedaan pandangan seperti ini, nampaknya membawa pada konsekuensi teologis tersendiri, terutama bagaimana posisi al-Quran di dalam Islam.  Namun alih-alih terlalu berfokus pada perdebatan tersebut, bagi Abu Zayd, setidaknya kita mungkin bisa menyepakati bahwa ada relasi yang cukup kuat antara ayat dan asbâb an-nuzûl, atau ayat dengan ‘konteks historisnya’. Hal inilah sebenarnya titik fokus yang mesti ditekankan lebih oleh sarjana muslim hari ini.

Lebih lanjut dari pemikiran asbâb an-nuzûl-nya itu, yang lebih terkenal lagi dari Abu Zayd ialah pemikirannya tentang ‘teks’ dan ‘realitas’. Dua hal yang melekat cukup erat dalam al-Quran. Bagi hamid, dua unsur tersebut merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, pada dasarnya realitas turut memproduksi teks dalam porsi yang cukup besar. Di dalam teks al-Quran sendiri misalnya, turunnya teks al-Qur‘an secara berangsur-angsur merupakan bukti bahwa telah terjadi hubungan dialektika antara teks dengan realitas. Teks merespon realitas dan realitas turut membentuk teks (Abu Zayd, 2014: 12).

Pemikiran Abu Zayd terkait ‘teks’ dan ‘realitas’ ini cukup menarik sebenarnya. meskipun sayangnya, tidak sedikit yang gagal paham akan hal ini, sebagian umat muslim memandang ajakan pembebasan hegemoni teks yang dilakukan Abu Zayd sebagai ajakan untuk meninggalkan al-Qur‘an dan Sunnah. Padahal sesungguhnya semangat yang selalu mengiringi setiap kajian yang dilakukannya ialah mengkaji tradisi, khususnya tradisi keagamaan (turâts ad-dîn) dengan―analisis wacana sebagai perangkat metodologinya (Maula, 2003: vxi-xvii).

Abu Zayd berusaha membongkar karakter kebenaran teks yang, sebenarnya ditentukan oleh konteks sosial, kultur, dan historis. Ia melakukan upaya pembongkaran terhadap struktur wacana melalui penelanjangan terhadap akar-akarnya, yang diupayakan untuk selalu ditutup-tutupi dan diklaim bahwa wacana itu merupakan produk langsung dari teks keagamaan.

Alih-alih memusuhi teks, Abu Zayd justru berupaya memberikan pemahaman yang menyeluruh terhadap teks itu sendiri. Ketika umat muslim ramai-ramai membicarakan dan membanggakan sejarah keemasan Islam (golden age of Islam), dalam pemaparan kaum konservatif, itu diyakini disebabkan para ulama di zaman itu yg memiliki concern yg cukup tinggi terhadap teks. Namun bagi Abu Zayd, itu semua sejatinya kembali pada makna literal teks, dan bukan itu alasan dibalik lahirnya masa keemasan.

Menurutnya, pandangan seperti itu justru tanpa sadar mengingkari tujuan wahyu dan maksud syariat ketika―teks dipisahkan dari realitas. Seperti diketahui dalam ‘Ulûm al-Qur’ân, syariat membentuk dirinya beriringan dengan gerak perkembangan realitas masyarakat Islam. Ia nampaknya memiliki kegelisahan besar terhadap perlakuan umat Islam terhadap teks, yang menurutnya sangat menjauh dari realita sosial. Karena itu, pembaharuan harus didasarkan pada adanya asal yang lama. Akan tetapi asal lama juga bukanlah tradisi yang bersifat tunggal, melainkan beragam, sesuai dengan aneka ragam kekuatan yang memproduksinya.

Pernyataannya membawa pada sebuah diskursus besar pembaharuan bahwa kembali ke masa dulu dalam memahami teks merupakan hal esensial. Namun menyadari bahwa ada satu fakta yg tidak bisa dihindari, yakni konteks historis masa lalu juga sebenarnya memiliki realita budaya yang cukup beragam. Pembaruan semacam itu harus didasarkan pada pengetahuan ilmiah terhadap substansi tradisi, kebudayaan, dan faktor-faktor pembentuknya. Atas dasar itulah, menurut Abu Zayd, substansi peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks, dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas teks sebagai pusatnya dan realita sebagai sesuatu yang turut melingkupinya.

Referensi-referensi :

Maula, M. Jadul, “Kata Pengantar” dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Kritik Wacana Agama (Terj. Khoiron Nahdliyin), Yogyakarta: LKiS, 2003.

Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-Nash Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Maghrib: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 2014.

Syamsuddin, Sahiron, Studi Kritis Atas Metode Penafsiran Bint Al-Shati. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press. 2022.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *