Editorial Spesial Ramadhan: Membaca Q.S. al-Baqarah [2]: 183 dalam Karya-Karya Tafsir Klasik (Edisi Jāmi‘ al-Bayān fi Ta’wīl āy al-Qur’ān)

Popularitas Q.S. al-Baqarah [2]/ 183 di bulan Ramadhan tidak bisa dilepaskan dari muatan redaksinya dan konsensus terhadapnya sebagai ayat yang menjadi landasan yuridis terhadap kewajiban puasa. Karya-karya yang mencoba membahas khusus bab Puasa Ramadhan akan memberikan tempat bagi ayat tersebut sebagai sumber dari kewajiban syari’at ini, seperti misalnya karya Maqāshid al-Shaum, yang ditulis oleh Sulthān al-‘Ulamā’ Al-‘Izz ibn Abdissalam (Izz bin Abdissalam, h. 9).

Namun untuk memberikan kesan pengkajian yang berbeda, seri tulisan spesial Ramadhan kali ini akan mengulas ragam interpretasi yang dihadirkan oleh para mufassir klasik terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 183. Pada edisi pertama kali ini, karya monumental Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), Jāmi‘ al-Bayān fi Ta’wīl āy al-Qur’ān akan menjadi pembukanya—diakses melalui aplikasi al-Bāhits al-Qur’ānī. Kira-kira informasi apa saja yang bisa dihimpun dari narasi interpretasi Ibn Jarir al-Thabari?

Bacaan Lainnya

Siapa Orang-orang Beriman?

Sajian informasi pertama yang didapatkan ketika membaca Jāmi‘ al-Bayān ialah pandangan Ibn Jarir tentang siapa itu orang-orang beriman, yā ayyuhā alladzīna āmanū. Ibn Jarir mendefinisikannya dengan redaksi yā ayyuhā alladzīna āmanū bi Allah wa rasūlih wa shaddaqū bihimā wa aqarrū (wahai orang-orang yang telah beriman kepada Allah dan rasulnya serta membenarkan dan mengakui keduanya).

Meskipun tidak ada uraian tambahan yang diberikan Ibn Jarir, namun ada dua hal menarik yang bisa digarisbawahi. Pertama, dalam kasus penggalan ayat ini, Ibn Jarir tidak mendasari argumentasinya pada tradisi/ riwayat dan lebih dekat pada aktivitas eksplorasi kebahasaan. Kedua, dua fragmen verba atau kata kerja dalam redaksi di atas, shaddaqū dan aqarrū, disisipkan oleh Ibn Jarir dengan indikasi adanya penekanan sekaligus perluasan dari definisi tentang iman itu sendiri. Penekanan dan perluasan yang dimaksud ialah bahwa beriman harus diikuti dengan sikap membenarkan dan ikrar atau pengakuan.

Pemahaman Puasa Secara Etimologis

Pasca membahas definisi iman, Ibn Jarir kemudian memaknai penggalan redaksi kutiba ‘alaikum al-shiyām dengan mengganti term kutiba dengan furidha (diwajibkan). Tafsir dengan menginversi suatu kata dengan kata yang serupa maknanya dan lebih umum digunakan bisa dianggap mempermudah pemahaman khususnya bagi audiens yang tidak familiar dengan ragam makna kutiba. Namun ketepatan analisis ini masih harus diuji lebih lanjut.

Beralih pada uraian Ibn Jarir yang mengeksposisi makna shiyām secara etimologis. Ibn Jarir memulainya dengan mendeskripsikan bahwa shiyām merupakan bentuk nomina atau mashdar jika merujuk pada struktur kelas kata dalam bahasa Arab. Untuk membuktikannya, Ibn Jarir membawa dua contoh kalimat, salah satunya: ashūmu ‘anhu shauman wa shiyāman (aku menjaga diriku dari hal itu dengan sebenar-benarnya menjaga). Dari penjelasan ini, terlihat bahwa baik shaum maupun shiyām tidak hanya sama secara makna namun juga dari jenis kelas kata.

Lalu Ibn Jarir memberikan penjelasan lanjutan mengenai makna shiyām secara bahasa. Ia menulis bahwa term shiyām bermakna al-kaff ‘ammā amara Allah bi al-kaff ‘anhu (menahan dari apapun yang Allah perintahkan untuk menahan diri terhadapnya). Pemaknaan ini terkesan sudah masuk pada konsep makna syar’ī meskipun selanjutnya diikuti oleh penjelasan linguistik mengenai makna al-kaff. Sebagaimana dua contoh kalimat yang dibawa oleh Ibn Jarir: shāmat al-khail (kuda itu tertahan), idza kaffat ‘an al-sair (apabila tertahan dari berjalan), serta penggalan Q.S. al-Maryam: 26 innī nadzartu li al-rahmān shaumā, di mana kata shaum di situ dimaknai dengan shamtan ‘an al-kalām (tidak berbicara).

Siapa Kaum Terdahulu?

Ibn Jarir mencatat perdebatan mengenai siapa yang dimaksud dalam redaksi kamā kutiba ‘alā alladzīna min qablikum. Namun sebelumnya, ia memberi makna sederhana terhadap redaksi tersebut dengan menulis: furidha ‘alaikum mitsla alladzī furidha ‘alā alladzīna min qablikum (diwajibkan atas kalian sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian). Lagi-lagi, inversi kutiba dengan furidha.

Beralih pada bagian inti dari perdebatan ini, siapakah kaum terdahulu? Sejatinya ada satu hal lagi yang diperdebatkan yaitu apakah format puasa yang diwajibkan kepada umat Islam sama halnya dengan puasa kaum terdahulu?

Ibn Jarir mendeskripsikan bahwa ada yang berpendapat jika kaum terdahulu yang dimaksud dalam ayat ialah umat Nashrani. Pada bagian pertama ini, Ibn Jarir juga menarasikan bahwa ada yang berpandangan jika format puasa yang diterapkan oleh umat Islam saat ini merupakan adaptasi dari ritual puasa yang telah dijalankan oleh umat Nashrani terdahulu baik dari sisi ketetapan atau aturan yang belaku maupun waktu. Al-tasybīh alladzī syabbaha min ajlih ahadahuma bi shāhibih huwa ittifāquhum fī al-waqt wa al-miqdār alladzī huwa lāzim lanā fardhuh.

Meskipun perlu dicatat bahwa di masa Nashrani pra-Islam, puasa Ramadhan mengalami beberapa transformasi baik dari sisi waktu pelaksanaan maupun bilangan. Ibn Jarir mendokumentasikan informasi historis ini melalui riwayat al-Sya’bi dan al-Suddi. Pada tradisi pertama yang dibawa al-Sya’bi, tercatat bahwa perubahan terjadi karena penentuan waktu puasa tidak lagi merujuk pada bulan melainkan musim (fashl). Keterangan ini diperkuat oleh riwayat al-Suddi yang mengisahkan bahwa puasa dianggap memberatkan bagi umat Nashrani kala itu, selain pada ketentuannya, juga waktunya.

Ibadah puasa Ramadhan dikatakan terjadi secara silih berganti dan bertepatan dengan datangnya musim dingin (syitā’) ataupun musim panas (shaīf). Rasa susah yang sangat dalam mengerjakan puasa baik di musim dingin maupun panas, menyebabkan umat Nashrani berinisiasi untuk menentukan waktu puasa pada musim antara, yang berada di antara dua musim tersebut. Sebagai konsekuensi atas “bid’ah” yang mereka lakukan dan penebusan dosa, maka mereka bersepakat menambah jumlah bilangan puasa sebanyak dua puluh hari sehingga total mereka berpuasa selama lima puluh hari.

Terdapat pendapat berbeda yang menyatakan bahwa kesamaan format antara puasa Islam hari ini dengan Nashrani hanya terjadi jika merujuk pada model awal puasa yang diwajibkan kepada umat Islam. Puasa pada masa awal tersebut dimulai dari waktu Isya’ akhir hingga Isya’ akhir selanjutnya. Dua nama muncul sebagai representasi aktor yang merasakan fase awal puasa saat itu yaitu Abi Qais ibn Shirmah dan Umar ibn Khattab.Namun,tidak didapati keterangan lanjutan di balik penyebutan dua nama ini.

Adapun yang dimaksud waktu Isya’ akhir di sini kemudian ditemui penjelasannya pada riwayat yang dibawa oleh al-Suddi. Dalam narasi tradisi yang dibawanya, dinyatakan bahwa umat Nashrani dahulu diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan, serta diwajibkan selama berpuasa untuk tidak makan, minum, maupun mengumpuli perempuan setelah tidur.

Redaksi ba’da al-naum atau setelah tidur ini membantu untuk memahami waktu Isya’ akhir, yang memberikan pemahaman bahwa batas waktu puasa kala itu dimulai selepas tidur di waktu Isya’ dan berakhir saat waktu Isya’ di hari esoknya tiba. Riwayat dari Rabi’ memperjelas batasan ini dengan menarasikan bahwa puasa dimulai dari ‘atamah sampai ‘atamah. Istilah ‘atamah ini didefinisikan dalam Mu’jam al-Mu’āshirah sebagai waktu bagian Isya’ yang mencakup sepertiga awal malam selepas senja menghilang.Jadi durasi puasa ketika itu hampir 24 jam!

Ahl al-Kitāb menjadi pilihan dari pendapat lainnya yang mencoba memahami frasa alladzīna min qablikum. Hanya satu riwayat yang muncul dalam dokumentasi Ibn Jarir al-Thabari yang berpendapat bahwa kaum terdahulu adalah ahl al-kitab yaitu pada tradisi yang dibawa oleh Mujahid. Selain ahl al-kitāb, terdapat opsi pendapat lain yang mengatakan bahwa dimaksud oleh penggalan ayat tersebut ialah keseluruhan umat manusia. Pandangan ini menarik karena terlepas dari tradisi agama itu sendiri, khususnya tradisi Semitik, jika dibandingkan dengan dua opsi pendapat sebelumnya.

Pendapat ketiga ini berasal dari tradisi yang diriwayatkan oleh Qatadah. Ia menarasikan bahwa (puasa) bulan Ramadhan memang telah diwajibkan kepada manusia sebagaimana juga telah diwajibkan bagi para pendahulunya. Bahkan, Allah telah mewajibkan kepada manusia untuk berpuasa selama tiga hari setiap bulannya sebelum adanya kewajiban Ramadhan. Sekali lagi pendapat ini menarik karena tidak mengaitkan puasa pada sebuah tradisi agama meskipun di sana terdapat redaksi kataba Allah ‘alā al-nās.

Di akhir perdebatan ini, Ibn Jarir atau ia menamai dirinya sendiri dengan Abu Ja’far memberikan sudut pandang pribadinya. Baginya, yang dimaksud alladzīna min qablikum ialah ahl al-kitāb. Rasionalisasinya ialah karena umat yang hadir pasca Ibrahim as. diperintahkan untuk mengikutinya, sebab ia telah Allah jadikan sebagai pemimpin atas manusia (li al-nās imāma) serta pembawa agama yang hanīf dan muslīm. Maka atas dasar itulah mengapa Nabi Muhammad saw. diperintahkan sebagaimana perintah yang diberikan kepada para Nabi terdahulu (Ibrahim as.).

Adapun yang berkaitan dengan kesamaan dalam ritual atau prosesi puasa antara umat Islam saat ini dengan umat sebelumnya, Ibn Jarir berpendapat kesamaan hanya terdapat pada waktu pelaksanaannya. Jadi baik umat Islam saat ini maupun kaum pendahulunya sama-sama diperintahkan atau diberi kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Narasi ini sekaligus menutup pembahasan kaum terdahulu yang menjadi pokok persoalan yang paling banyak mendapatkan ruang eksposisi dalam Jāmi‘ al-Bayān.

La’allakum Tattaqūn

Selain kutiba ‘alā alladzīna min qablikum, redaksi la’allakum tattaqūn biasanya mendapatkan perhatian yang cukup intens jika merujuk pada tulisan-tulisan maupun dakwah populer saat ini yang mencoba memaknai Q.S. al-Baqarah [2]: 183 ini. Namun Ibn Jarir memaknainya dalam koridor yurisprudensi Islam (Fiqh).

Secara spesifik ia menulis bahwa makna la’allakum tattaqūn ialah litattaqū akl al-tha’ām wa syurb al-syarāb wa jimā’ al-nisā’ (supaya kalian menjaga diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri). Lalu dalam narasi yang lebih umum, furidha ‘alaikum al-shaum wa al-kaff ‘ammā takunūn bi tark al-kaff ‘anh mufthirīn, litattaqū mā yufthirukum fī waqt shaumikum (diwajibkan bagi kalian berpuasa dan menahan diri dari apapun yang tidak mampu menahan diri darinya kalian akan dianggap berbuka, supaya kalian menjaga atau menghindari apapun yang bisa membuat kalian berbuka saat masih dalam waktu puasa).

Pendapat yang sama juga didokumentasikan oleh Ibn Jarir, seperti pada tradisi yang diriwayatkan al-Suddi. Namun di akhir narasinya, ada sisipan mitsla mā ittaqū—ya’nī mitsa alladzī ittaqā al-nashārā qablakum (sebagaimana kaum Nashrani dahulu juga bertakwa/ menjaga dirinya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasanya). Dari dua keterangan ini, bisa diilustrasikan jika Ibn Jarir memahami frasa la’allakum tattaqūn selain dalam koridor Fiqh, juga dalam makna terminologis dari takwa itu sendiri, imtitsāl awāmirillah wa ijtināb mwāhih (menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi/ menghindari segenap larangannya).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *