Moderasi Beragama dan Peran Perempuan Di Dalamnya

Problem masyarakat seperti intoleransi, terorisme, perang antar suku, intimidasi kepada kaum dhu‘afā dan mustadh’afīn dan kasus lainnya yang masih marak terjadi di Indonesia merupakan persoalan yang belum terselesaikan. Kelompok lemah selalu menjadi korban atas kelompok kuat. Padahal Indonesia merupakan suatu negara yang dikenal sebagai negara multikultural dengan memiliki beragam suku, agama, etnis, ras, budaya dan bahasa (Juliani, 2002: 41). 

Intoleransi dan radikalisme disebabkan karena kegagalan dalam mengatasi masalah-masalah yang ada bersamaan dengan lingkup modernitas. Gerakan modernisasi yang tinggi seringkali tidak bisa dibendung dengan cara moderat, sehingga menimbulkan sikap ekstrimisme (Amstrong, 2002: 193). Minimnya pemahaman akan teks-teks agama dan sikap individualisme atau merasa diri dan kelompoknya paling benar serta paling kuat juga menjadi faktor penyebab maraknya intoleransi.

Bacaan Lainnya

Pemerintah melalui Kementerian agama memberikan solusi untuk mewujudkan Indonesia yang damai, saling menghormati antar kelompok agama. Solusi tersebut tentunya selaras dengan konsep ideologi negara yaitu Pancasila yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kementerian Agama pada tahun 2019 oleh Mentri Agama saat itu yaitu Lukman Hakim Saifudin memperkenalkan konsep moderasi beragama (Santoso, 2022: 327).

Moderasi atau sikap moderat harus dijadikan sebagai komitmen bersama. Moderasi untuk menjaga keseimbangan yang paripurna dimana setiap orang apapun jenis kelamin, agama, suku, ras, bahasa dan pilihan politinya harus saling menghargai, saling mendengarkan serta saling berdampingan ditengah-tengah perbedaan (Kemenag RI, 2019: vi). Moderasi beragama sebagai solusi atas problem sikap intoleransi dan terorisme dalam agama.

 Khaled Aboe El-fadl menjelaskan bahwasanya istilah moderat merujuk pada teks-teks Al-Qur’an yang memerintahkan kita menjadi umat yang moderat. Nabi sudah mengajarkan kepada kita lewat kebiasaannya yang terekam dalam beberapa hadist, contohnya ketika dalam menentukan dua pilihan yang ekstrim, Nabi selalu memilih jalan tengah (2005: 27). Sedangkan menurut Lukman Hakim Saifuddin, moderasi berarti sedang tidak berlebih-lebihan (Kemenag, 2019: 1).

Ummatan Wasathan

Al-Qur’an mengurai tentang moderasi beragama pada QS. Al-Baqarah ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتُمْ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan terbaik agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu. Kami tidak menetapkan kiblat yang kamu hadapi sebelumnya melainkan untuk mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang akan berpaling ke belakang. Dan sungguh, itu pasti terasa berat kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah kepada manusia benar-benar Maha Pengasih, Maha Penyayang”.

Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya, bahwasanya Allah telah menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan teladan. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak kekiri dan kekanan, suatu hal yang menjadikan manusia untuk bersikap adil dan bijak. Allah menjadikan umat Islam sebagai umat pertengahan agar umat Islam bisa menjadi saksi atas semua perbuatan manusia yang lain yaitu umat-umat yang lain.

Namun juga ada pendapat lain mengenai ummatan wasathan yang memiliki arti pertengahan dalam sudut pandang Tuhan dan dunia, yakni tidak mengingkari wujud Tuhan juga tidak dengan menganut paham politeisme (banyak Tuhan). Pertengahan juga bisa dikatakan sebagai sebuah pandangan umat Islam tentang kehidupan dunia dengan tidak mengingkari dengan menilai maya, antara dunia dan akhirat. Pada akhirnya masyarakat dunia akan kembali merujuk kepada nilai-nilai yang diajarkan Allah bukan suatu aliran-aliran baru yang terus bermunculan (Shihab, 2005: 142).

Realisasi moderat ialah menghormati hak asasi dan pengakuan akan eksistensi agama-agama lain (Maimanah, 2013: 54). Menjunjung tinggi keadilan sesama manusia tanpa memandang status sosial dan agamanya. Tidak ada lagi penekanan kepada kelompok yang dipandang lemah seperti perempuan. Tidak dibenarkan lagi pembatasan dan intimidasi terhadap agama minoritas. Semua sama dimata Tuhan sebagai makhluk Tuhan dan dimata negara sebagai rakyat. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Ajaran agama yang moderat akan menjadikan pemeluknya memiliki sikap yang toleran. Seorang muslim yang moderat harus memiliki wawasan yang luas, terbuka, tidak menutup diri, mudah beradaptasi terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Khususnya dorongan akan konsep keadilan gender. Kemerdekaan atas pengekangan terhadap hak-hak perempuan. Memberikan ruang yang terbuka bagi perempuan tanpa adanya penekanan dari sudut pandang agama maupun budaya.

Moderasi beragama sendiri memiliki konsep dan tujuan yang sama dengan konsep keadilan gender yaitu keadilan yang hakiki dan berimbang (Kemenag, 2019: 19). Al-Qur’an juga membenarkan tentang konsep keadilan dalam moderasi beragama pada QS. An-Nisa 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ

إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Quraish Shihab menjelaskan, ketika memerintahkan untuk mentapkan hukum dengan adil, ayat ini menjelaskan terlebih dahulu tentang perintah menjaga amanat. Hal itu mengisyaratkan bahwa manusia telah dianugrahkan potensi akal secara aktual sejak ia baligh. Tetapi dalam ranah menetapkan hukum bukanlah otoritas dan wewenang setiap orang. Melainkan ada syarat-syarat yang harus terpenuhi antara lain memiliki pengetahuan tentang hukum dan cara menetapkannya yakni menetapkan hukum dengan cara yang adil.

Perintah berlaku adil berlaku untuk seluruh manusia tanpa terkecuali. Dengan demikian, dalam menjaga amanah dan menegakkan keadilan harus dilakukan tanpa membedakan agama, jenis kelamin, keturunan dan ras (2005: 481). Dari penafsiran tersebut bisa kita ambil kesimpulan, bahwa dalam memutuskan suatu ketentuan hukum harus juga mempertimbangan kesejahteraan semua manusia apapun jenis kelamin, suku dan agamanya. Karena sebuah tuntutan berasal dari rasa ketidakadilan suatu kelompok.

Peran Perempuan dalam Moderasi Beragama

Perempuan pada dasarnya memiliki potensi yang sangat besar dalam mewujudkan masyarakat yang toleran di tengah keberagaman yang tinggi. Perempuan juga memiliki kapasitas yang baik dalam mengenalkan konsep-konsep moderasi beragama karena mereka merupakan makhluk sosial yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. s

Secara psikologis, perempuan yang juga berperan sebagai ibu memiliki hubungan yang kuat dan intens dengan anak-anaknya. Seorang ibu sangat mungkin untuk mengembangkan dan mengajarkan sikap-sikap tidak egois, sabar, kasih sayang dan rela berkorban kepada anak-anak mereka (Maimanah, 2013: 55). Perempuan tentu memiliki peran penting dalam pendidikan karakter seorang anak.

Selain sebagai seorang ibu, perempuan juga cenderung lebih mampu menciptakan suasana yang damai dan menghindari suatu konflik. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa perempuan memiliki kecenderungan bekerja sama daripada mendominasi dan lebih cenderung menyukai kedamaian daripada pertikaian. Peran perempuan dalam mewujudkan masyarakat yang toleran dalam beragama menggunakan pendekatan psikologis, bahwasanya mereka dapat mengangkat nilai-nilai kekeluargaan dan keharmonisan.

Namun, perempuan juga bisa memiliki potensi yang sama besarnya untuk menganut dan memahami agama yang radikal dan eksklusif. Perempuan bisa mendorong sikap intoleransi dan fanatisme. Mereka dapat juga menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka (Grele, 1979: 56). Perempuan bisa menjadi objek bahkan subjek ekstrimisme dalam beragama. Maka dari itu, perempuan memiliki potensi yang krusial dalam mewujudkan moderasi beragama.

Konsep keadilan gender sebenarnya mewakili ajaran Islam yang moderat. Meskipun moderasi beragama bukanlah keadaan yang statis, tapi merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat. Memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang baik terhadap agama merupakan syarat penting dalam mewujudkan moderasi beragama. Maka dari itu baik laki-laki maupun perempuan apapun agamanya harus memiliki pemahaman yang baik agar tidak mudah terintervensi oleh pihak-pihak yang membawa ideologi yang tidak sejalan dengan prinsip ideal moderasi beragama.

DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Karen. Islam A Short History: Sepintas Sejarah Islam. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.

Fadl, Khaled Abou El. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Musthofa. Jakarta: SERAMBI, 2005.

Grele, Janet Zullenger. Woman and Future. New York:  MacMillan Publishing Free Press. 1979.

Huriani, Yeni dkk. Moderasi Beragama Penyuluh Perempuan: Konsep dan Implementasi. Bandung: UIN Bandung, 2021.

Husnah, Z., Salman, N.L., Juliani. Moderasi Beragama Perspektif Al-Qur’an sebagai Solusi terhadap Sikap Intoleransi. Al-Mutsla: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman dan Kemasyarakatan Vol. 4 No. 1, 2022.

Kemenag RI. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2019.

Maimanah. Wanita dan Toleransi Beragama (Analisis Psikologis). MU’ADALAH: Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 1 No. 1, 2013.

Santoso, Juli, dkk. Moderasi Beragama di Indonesia: Kajian tentang Toleransi dan Pluralitas di Indonesia. Jurnal Teologi Berita Hidup Vol. 4 No. 2, Maret 2022.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah Vol.1. Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2005.

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah Vol.2. Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2005.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *