Setidaknya terdapat dua ayat populer dalam Al-Qur’an yang selalu dikaitkan dengan diskursus hijab, yaitu Surah al-Nūr/24: 31 dan al-Aḥzāb/33: 59. Dalam surah pertama diidentifikasi dengan kata “خمر” yang diterjemahkan degan “kain kerudung” versi Al-Qur’an Kemenag atau “tutup kepala yang panjang” versi Quraish Shihab (2021, 527).
Sementara pada surah kedua direpresentasikan oleh kata “جلابيب” yang berasal dari kata “جلباب”. Kementerian Agama menerjemahkannya dengan “jilbab”, yang diberi keterangan dengan “sejenis baju kurung yang longgar yang dapat menutup kepala, wajah, dan dada”.
Sedangkan Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan adanya berbagai perdebatan terkait pemaknaan kata tersebut. Salah satunya mengutip pendapat Ibn ‘Asyur, yang dipahami dengan pakaian yang lebih kecil dari jubah namun lebih besar dari kerudung penutup wajah, yang diletakkan di atas kepala dan terulur dari pipi hingga ke bahu dan belakangnya (Shihab, 2021: 534).
Kosa kata Al-Qur’an yang bersifat polisemik, termasuk pada ayat tentang hijab ini, menimbulkan dua perdebatan secara umum, yakni terkait bagian-bagian apa saja yang harus ditutupi oleh hijab dan terkait kedudukan ayat itu sendiri. Poin kedua ini misalnya ada yang memahaminya sebagai ayat penetapan hukum/tasyrī’ dan ada pula yang memahaminya sebatas ayat yang bersifat ajaran/ta’līm (Mustaqim, 2010: 277).
Narasi lainnya disampaikan oleh Quraish Shihab, bahwa redaksi perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak semuanya bermakna perintah, kadang kala hanya berupa sebuah anjuran. Pemahaman ini muncul berhubungan dengan konteks Surah al-Aḥzāb/33: 59, di mana hijab merupakan bagian dari adat-istiadat bangsa Arab kala itu dan tidak elok jika dipaksakan bagi kaum lainnya dengan mengatasnamakan agama (Shihab, 2021: 532-534).
Tampaknya pendapat inilah yang dipegang oleh Shihab dalam membaca redaksi perintah yang terdapat pada Surah al-Nūr/24: 31 dan al-Aḥzāb/33: 59. Perdebatan wacana hijab yang diuraikan ini masih berorientasi pada teks atau redaksi ayat Al-Qur’an terkait. Sekalipun terdapat upaya untuk melihat konteks ayat, akan tetapi akar perdebatannya selalu dimulai dengan pemahaman terhadap dua ayat di atas.
Leila Ahmed, seorang feminis asal Mesir, dalam magnum opusnya Women and Gender in Islam (1992), menemukan fakta menarik dalam panggung sejarah feminisme awal terkait wacana hijab. Penelusuran historis yang dilakukan oleh Ahmed mengungkapkan bahwa perdebatan wacana hijab pada abad ke-19 inheren dengan bangsa kolonial Inggris yang menjajah Mesir kala itu. Kolonialisme Barat ini memunculkan premis-premis terkait hijab dan perempuan Mesir, yang disebut-sebut sebagai penyebab inferioritas bangsa Arab tersebut sehingga dapat terjajah.
Sebagai bentuk perlawanan dan ketidakterimaan terhadap pernyataan ini, muncul berbagai respon dari kaum Muslim Mesir, khususnya para pejuang hak-hak perempuan. Inilah yang akan diuraikan selanjutnya dalam tulisan ini berdasarkan temuan Leila Ahmed. Ada sederetan nama feminis yang muncul dalam dekade ini. Penulis akan mengambil beberapa tokoh yang menjadi tonggak utama dalam arus perdebatan wacana hijab di masa feminis awal ini, dimulai dari Qasim Amin (1863-1908), Huda Sya’rawi (1879-1947), Malak Hifni Nassif (1886-1918), dan posisi Leila Ahmed sendiri dalam perdebatan ini.
Wacana Hijab: Kolonial Barat Vs Feminisme Mesir
Dalam catatan sejarah, Inggris diketahui telah menduduki Mesir sebagai wilayah jajahannya pada tahun 1882. Salah satu fokus ekspansinya ialah pada ranah pendidikan, yang mengakibatkan melemahnya banyak pendidikan terhadap anak-anak, termasuk anak perempuan.
Sementara itu juga muncul nama Muhammad ‘Abduh (1849-1905) beserta sang guru, Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), yang terus memperjuangkan pembaharuan melalui pendidikan, terkhususnya bagi kaum perempuan. Berbagai upaya dilakukan agar pendidikan dapat diakses lebih luas, salah satunya dengan mendirikan bangunan sekolah-sekolah melalui berbagai yayasan.
Gagasan pembaharuan yang dibawa oleh ‘Abduh, sebagai intelektual pembaharu yang paling berpengaruh, dikatakan oleh Ahmed sebagai pembaharuan yang tidak begitu kontroversial di tengah masyarakat, sehingga sekolah-sekolah terus didirikan pada dekade tersebut.
Namun pembaharuan kontroversial yang paling bersejarah justru ditandai dengan lahirnya buku Taḥrīr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) karya Qasim Amin (1863-1908) pada tahun 1899. Pasalnya, buku ini berdiri di atas tesis bahwa transformasi sosial hanya dapat dilakukan di tengah masyarakat Mesir manakala adat-istiadat yang telah dipegang berabad-abad itu dapat ditinggalkan, khususnya penekanan pada penghapusan hijab (Ahmed, 2000: 193).
Amin melancarkan kritikannya terhadap hijab ini didasarkan pada premis-premis yang disampaikan oleh bangsa kolonialisme Barat yang sedang menjajahnya, Inggris. Mereka menyampaikan bahwa bangsa Mesir dapat dijajah dikarenakan inferioritas bangsa tersebut, yang dapat dilihat melalui hijab yang digunakan oleh para perempuannya. Hijab dianggap sebagai simbol penindasan dan penghalang kebebasan kaum perempuan.
Gagasan-gagasan yang dimunculkan oleh Amin dalam karyanya ini memicu perpecahan di kalangan intelektual Muslim lainnya yang mempunyai perhatian besar terhadap isu perempuan dan pendidikan. Ada yang setuju dan ada pula yang menolaknya.
Huda Sya’rawi (1879-1947), seorang aktivis feminisme Mesir yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh sahabat Perancisnya, berada di barisan Amin dalam menanggapi isu hijab ini. Ia sepakat bahwa hijab merupakan hambatan kemajuan bagi perempuan-perempuan Mesir, sehingga dikatakan ia juga turut menanggalkan hijabnya kala itu.
Amin dan Sya’rawi gencar menyerukan upaya pembebasan dan kemajuan bagi masyarakat Mesir melalui westernisasi terhadap kebudayaan-kebudayaan yang telah melekat layaknya hijab. Berbeda dengan Malak Hifni Nassif (1886-1918), seorang feminis yang juga tergugah untuk mengomentari karya Amin, berdiri sebagai pihak oposisi.
Nassif menentang adanya seruan untuk penanggalan hijab terhadap perempuan Mesir. Hal ini bukan berarti karena ia memegang alasan konservatif–layaknya pendapat tentang kewajiban berhijab—melainkan pemahamannya yang lebih luas akan ragam dominasi laki-laki kontemporer melalui wacana hijab yang dikonstruksi oleh laki-laki sendiri (Ahmed, 2000:243).
Terdapat dua argumen yang disorot oleh Leila Ahmed terkait penolakan pelepasan hijab bagi Nassif: 1) hijab sudah menjadi budaya yang sudah lama berlaku bagi perempuan Mesir, sehingga sebaiknya tidak dipaksa untuk buru-buru menanggalaknnya, dan 2) berdasarkan pengamatannya terhadap berbagai perempuan Mesir, ia melihat bahwa yang menanggalkan hijab merupakan kalangan kelas atas yang sama sekali tidak termotivasi untuk pembebasan dan kemajuan, melainkan ketertarikan akan style dan fashion busana Eropa.
Oleh karenanya, Nassif menegaskan bahwa perdebatan terkait hijab bukanlah sebuah hal yang bijaksana sebagai solusi kemajuan, melainkan pentingnya pendidikan dan perbaikan moral-lah yang semestinya menjadi fokus para intelektual. Ia menentang dengan lantang akan pendiktean kaum laki-laki terhadap apa yang harus dipakai dan ditinggalkan oleh kaum perempuan (Ahmed, 2000: 245).
Kritik Leila Ahmed terkait Polemik Hijab
Dalam penelusuran historisitas feminisme awal, yang dipusatkan di Mesir sebagai yang berperan penting dalam transformasi sosial, Ahmed mengungkapkan bahwa makna dan konotasi hijab pada abad ke-19 merupakan hasil dari premis-premis yang dikeluarkan oleh bangsa kolonial Barat.
Tanpa sadar bangsa kolonial tersebut mendiktekan wacana-wacana patriarki yang berkaitan dengan tujuan politik tertentu terhadap masyarakat pribumi Mesir. Bagi siapapun yang terjebak melalui wacana hijab tersebut, ia akan mengadopsi budaya-budaya Barat dan meninggalkan hijab sebagai budaya lokal. Hal ini persis sebagaimana yang dilakukan oleh Amin dan Sya’rawi.
Alih-alih melakukan perlawanan terhadap bangsa kolonial, penganggalan hijab yang mereka dukung justru telah membuat mereka termakan oleh dominasi bangsa kolonial itu sendiri. Ahmed melancarkan kritikan terhadap pemikiran Amin yang dinilai terlalu berlebihan dalam memuji budaya Barat sebagai patokan peradaban yang maju dan lebih beradab dibandingkan Islam.
Ia juga menolak pernyataan bahwa Amin merupakan bapak feminisme pertama Mesir. Baginya, Amin hanyalah seorang anak dari bangsa kolonial, yang mengganti pemikiran patriarki model laki-laki Islam dengan patriarki model laki-laki Barat. Ia tampaknya lebih cenderung pada pendapat Nassif, yang dalam beberapa pemaparannya memberikan pujian terhadap pemikiran kritis dan bijaksana yang disampaikan oleh Nassif.
Hijab hanyalah sebuah transformasi secara simbolis, bukan substansial. Maka Ahmed sepakat bahwa urusan hijab bukanlah hal yang seharusnya diperdebatkan, melainkan upaya-upaya kemajuan melalui pendidikan yang tersebar luas, agar dapat dirasakan oleh kaum perempuan secara luas. Hak untuk menggunakan dan menanggalkan hijab sepenuhnya berada pada pilihan perempuan sendiri, bukan atas dikte kaum laki-laki Islam maupun Barat.
Bahan Bacaan
Ahmed, Leila. Wanita & Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan Modern. Terj. M.S. Nasrulloh, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. Jakarta: Lentera, 2000.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbāẖ: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2021.