Kajian tentang spiritualitas perempuan dalam al-Qur’an ini menarik untuk dibicarakan, karena masih banyak anggapan bahwa perempuan menjadi sumber fitnah dan sumber kerusakan. Konon, perempuan sebagai penyebab jatuhnya manusia dari surga ke bumi, hal ini mengesankan perempuan sebagai penyebab dosa warisan. (Nasaruddin, 2021, 304)
Dalam sebagian literatur kitab hadits juga ditemukan bahwa perempuan dinilai kurang akal dan agamanya (naqisat al-aql wa al-din), dianggap kurang akalnnya sebab persaksian dua perempuan sebanding dengan persaksian satu laki-kaki. Dianggap kurang agamanya karena perempuan mengalami masa menstruasi setiap bulannya sehingga perempuan tidak bisa melakukan ibadah-ibadah yang sifatnya suci, seperi shalat dan puasa.
Jika hadits ini dipahami secara tekstual, tentu akan mengesankan perempuan memiliki kendala intelektual juga spiritual untuk sebanding dengan laki-laki. (Abdul, 2008, 174). Anggapan-anggapan yang terkesan merendahkan perempuan dalam sisi spiritual perlu dibuktikan melalui al-Qur’an sebagai sumber nilai otentik yang tidak diragukan lagi kebenarannya, selain itu perlu juga dibuktikan dengan data sejarah tentang para spiritualis di kalangan kaum perempuan.
Spiritualitas berasal dari kata spirit (ruh), dalam al-Qur’an term yang merujuk kata spirit antara lain adalah rūẖ. Kata rūẖ dengan berbagai ragam artinya terulang sebanyak dua puluh satu kali. Itulah sebabnya dalam bahasa Arab, kata “ruhaniyah” bisa diartikan dengan spiritualitas, dan memang persoalan spiritualitas berhubungan dengan potensi ruhani manusia untuk beriman dan berkomunikasi dengan Tuhan. (Sayyed, 2003, 13.)
Pandangan tersebut memang terkesan mewakili mereka yang percaya kepada Tuhan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak bertuhan atau beragama? Bagi yang tidak bertuhan, spiritualitas bisa diwujudkan dalam bentuk yang lain, misalnya lewat seni, aktifitas sosial, atau aktifitas lain yang bisa dijadikan spirit dalam hidupnya. Bertuhan merupakan elemen inti dari spiritualitas, tapi bertuhan itu sendiri bukan satu-satunya makna spiritualitas dalam pengertian yang luas.
Salah satu dimensi spiritualitas adalah bagaimana seorang menjadikan nilai kebaikan sebagai spirit dalam hidupnya. Al-Qur’an sangat apresiatif terhadap prestasi kebaikan kaum perempuan, tanpa membedakan jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Nahl [16]:97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.
Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa laki-laki maupun perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. Menurut Fakhruddin al-Razi frasa min dzakarin au untsā (baik laki-laki maupun perempuan) dihadirkan untuk menegaskan (ta’kīd) keumumannya dan untuk menghilangkan kesan adanya kekhususan pada ayat tersebut. Ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang berbuat baik, laki-laki maupun perempuan, asalkan beriman akan diberi reward yang sama. (Abdul, 2008, 183)
Perempuan juga diberi apresiasi secara sama dengan laki-laki berkaitan dengan tolong menolong dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan, mencegah perbuatan munkar, dan berkiprah dalam membangun kesalehan spiritual. Sebagaimana hal tersebut diisyaratkan dalam firman Allah, Q.S al-Taubah [9]:71 (redaksi dan terjemah ada di paragraf selanjutnya). Ayat tersebut mengingatkan kita bahwa tegaknya nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan tidak mungkin terjadi tanpa menyertakan keterlibatan kaum perempuan.
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Spiritualitas dalam Islam pada hakikatnya merupakan realisasi dari tauhid dan keimanan. Tujuannya adalah memperoleh sifat-sifat Ilahi dengan cara mencapai kebaikan-kebaikan sempurna. Spiritualitas ini telah menghidupkan masyarakat Islam selama berabad-abad dan melahirkan laki-laki dan perempuan yang jumlahnya tidak terhitung dengan sifat kesucian dan telah mencapai cita-cita eksistensi manusia.
Demikian halnya, kurangnya agama yang dialami perempuan dalam konteks hadits di atas itu terjadi karena ia harus menjalani bagian dari fitrah biologisnya, yakni menstruasi setiap bulannya. Kalaupun perempuan harus meninggalkan shalat karena menstruasi, bukankah hal itu juga dalam rangka mengikuti perintah Allah? Masih terdapat banyak amaliah ibadah selain shalat dan puasa yang dapat dilaksanakan di saat ia menjalani menstruasi, seperti berdoa, bershalawat, bertasbih dan amaliyah sosial lainnya.
Dalam al-Qur’an terdapat banyak kisah teladan penting yang bisa diambil dari tokoh-tokoh perempuan mengenai spiritualitas mereka. Seperti, Aisyah, istri Fir’aun, Maryam, Ratu Balqis dan kisah-kisah lainnya. Misalnya dalam Q.S al-Qashash [28]: 23-27 menggambarkan tentang spiritualitas putri nabi Syuaib, dalam ayat tersebut terdapat nilai-nilai yang dapat kita ambil. (Abdul, 2008, 192). Pertama, kesediaan dua putri Syuaib untuk ikut membantu ayahnya untuk menggembala kambing, meski untuk waktu itu tradisi menggembala kambing mayoritas dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun, demi kebaktian mereka kepada sang ayah, kedua putri Syuaib rela melakukan pekerjaan menggembala kambing.
Kedua, keluhuran akhlak budi pekerti ditujukan melalui sikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri sebagai perempuan). Kedua putri Syuaib tidak mau berdesak-desakan dengan para pengembala laki-laki yang mengambil air minum untuk kambing mereka, keduanya lebih memilih sabar menunggu sampai para penggembala laki-laki tersebut selesai mengambil air minum untuk kambing gembalanya. Pada akhirnya sikap ‘iffah dan sabar kedua putri syuaib justru mengundang simpati nabi Musa untuk menolong keduanya mengambillkan air untuk kambingnya.
Ketiga, sikap malu (istiẖyā’), dalam hal ini menjaga kehormatannya sebagai perempuan. Sikap ini dijumpai saat kedua putri Syuaib berjalan menemui nabi Musa untuk menyampaikan pesan ayahnya bahwa Musa akan diberi upah. Ini adalah pertanda bahwa putri Syuaib sangat menjaga nilai-nilai kehormatannya sebagai perempuan.
Keempat, sikap yang apresiatif terhadap nilai-nilai kebaikan yang dilakukan nabi Musa disaat menolong dirinya memberi minum untuk kambingnya. Mereka menilai bahwa nabi musa adalah pemuda yang memiliki kualitas kepribadian yang kuat dan dapat dipercaya. (Abdul, 2008, 190-192).
Setelah menelusuri beberapa ayat al-Qur’an, terutama kisah putri nabi Syuaib yang menjelaskan tentang persoalan spiritualitas perempuan, maka ada beberapa hal yang bisa disimpulkan. Hal yang paling utama ialah al-Qur’an mendorong umat manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki spiritualitas yang tinggi. Al-Qur’an memberi potensi yang sama terhadap laki-laki dan perempuan untuk meraih prestasi spiritualitas. (Amina, 1999, 15).
Lalu, anggapan yang mengatakan bahwa perempuan kurang secara spiritualitas (naqishat al-din), jangan dijadikan proposisi umum bahwa semua perempuan mesti begitu. Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal baik manusia hanya berdasarkan jenis kelamin. Kemuliaan manusia di sisi Allah semata-mata ditentukan oleh kualitas spiritualitasnya dalam ketakwaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim, Abdul. Spiritalitas Perempuan dalam al-Qur’an, Musawa, Vol. 6, No. 2, Juli 2008.
Nasr, Sayyed Hossein. (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiriitualitas Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: PT Mizan Putaka, 2003), 13.)
Razi, Fakhruddin. Al-Mafatih al-Ghaib dalam Maktabah Syamilah.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’ān (Jakarta: Paramadina, 2001)
Wadud, Amina. Qur’an and Women; Rereading the Sacred Text from a Woman’s Prespective. New York: Oxford University Press. 1999.