Hikayat mengenai bentuk bumi memiliki periodesisasi yang cukup panjang. Perdebatan sengit dimulai dari peradaban Babilonia bahkan hingga hari ini. Perbedaan hasil analisis oleh para ahli dipengaruhi latar belakang mereka masing-masing. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang ada hari ini adalah sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi. Paling tidak, dari sekian perbedaan mengenai bentuk bumi dapat disimpulkan menjadi 2 teori dasar, yaitu Geosentris dan Heliosentris. Penganut teori Geosentris meyakini bahwa bentuk bumi adalah datar, sedangkan penganut Heliosentris meyakini bahwa bentuk bumi adalah bulat.
Literatur Islam membenarkan pernyataan tersebut, sebagian mufasir menyimpulkan bahwa bentuk bumi adalah datar sebagaimana nash al-Qur’an. Namun, sebagian tidak memahami demikian. Diperlukan perangkat disiplin ilmu lain untuk menyimpulkan hukum dari al-Qur’an, kendatipun pengetahuan mengenai bentuk bumi dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara eksplisit. Kitab suci umat Islam tersebut hanya menyinggung tentang sifat atau gaya yang dimiliki oleh bumi dengan sekian term yang digambarkan dengan hamparan atau bentangan.
Istilah dan Ayat Bumi dalam Al-Qur’an
Muhammad Fu’ad al-Baqi’ dalam kitabnya al-Mu’jam al-Mufahraz li Alfāzh al-Qur’ān menguraikan bahwa term bumi disebutkan paling tidak sebanyak 461 kali dalam al-Qur’an (Abu Fuad, 1936). Dalam konteks ini, semua lafaz bumi tidak dibarengi dengan bentuknya, akan tetapi secara umum lafaz tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua gambaran umum. Gambaran yang dimaksud adalah nash al-Qur’an yang memiliki arti hamparan atau bentangan dan nash al-Qur’an yang berarti (seperti) datar (Ulviatun, 2019: 20).
Perselisihan faham antar mufasir adalah fenomena yang tidak bisa dihindari. Imam Ahmad al-Shawi dalam kitab beliau Hāsyiah al Shāwī menguraikan bahwa perselisihan antara mufasir yang meyakini bahwa bumi adalah datar sebagaimana nash al-Qur’an adalah golongan ulama’ ahli syar’i. Metode penafsiran yang diterapkan adalah memahami ayat atau nash lainya secara tekstual saja dan tegas dalam hal tersebut. Sedangkan, ulama’ yang menafsirkan bahwa bentuk bumi bulat adalah golongan ulama’ ahli hay’ah (ilmu Falaq) (Ahmad, t. t: 416)
Komparasi Tafsir Klasik dan Tafsir Kontemporer dalam Interpretasi Ayat-Ayat Bentuk Bumi
Ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki indikasi tentang bentuk bumi tidaklah sedikit, ayat-ayat tersebut dapat diketahui melalui beberapa term seperti madda, firāsya, mihāda, bisātha, sathẖa, dan lain sebagainya. Makna dari term-term tersebut memiliki kesamaan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain. Dalam hal ini, penulis mengutip beberapa makna dari suatu term pada ayat-ayat al-Qur’an yang acap kali diselisihi paham oleh para mufasir,
“Artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu…” Q. S Al-Baqarah [2]:22.
Salah satu mufasir klasik yang hidup pada masa 1100 M-1200 M sekaligus dikenal dengan sulthān al Mutakallimīn ialah Imam Fakhrudin al-Razi. Beliau terkenal dengan banyak disiplin ilmu yang dikuasainya. Beliau juga meninggalkan banyak karya dalam berbagai fann ilmu. Akan tetapi, beliau sangat identik dengan kitab tafsirnya Mafātīẖ al-Ghayb. Interpretasi beliau mengenai term firāsya pada ayat di datas apat dikelompokkan menjadi 3 poin penting,
Pertama, sifat bumi adalah tenang. Dia semestinya tidak berubah dan tidak berevolusi. Apabila bumi berubah bentuk/berevolusi, maka makhluk akan kehilangan tempat tinggal sehingga tidak bisa dijadikan tempat tinggal.
Kedua, rupa bumi adalah tidak keras seperti pohon, karena bergerak dan beristirahat pada tempat yang kaku (keras) bisa melukai tubuh. Bumi juga tidak diperkenankan lunak dan lembut seperti air sehingga menjadikan sukar untuk bergerak seperti halnya kaki yang terendam air.
Ketiga, tekstur bumi mestinya tidak terlalu lembut dan transparan. Pasalnya, sebuah benda yang transparan mustahil menyimpan sinar matahari, sehingga tidak ada kehangatan dan tidak bisa untuk dijadikan tempat tinggal (al-Razi, 1993: 133).
Pandangan tersebut serupa dengan mufasir klasik sebelum Imam Fakhrudin al-Razi seperti Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al Biruni (973 M) dalam kitab tafsirnya al-Qānūn al-Mas’ūdi. Beliau menegaskan bahwa bentuk bumi adalah bulat (kurawiyyah). Lebih penting dari itu, beliau mengemukakan sekian hujjah bahwa bentuk bumi bukanlah datar, seperti wujud dari siang dan malam yang terus berganti, musim yang berbeda, pergerakan serta wujud planet-planet, dan fenomena gerhana matahari. Ujarnya, fenomena gerhana matahari adalah bukti empiris bahwa bentuk bumi ialah bulat (Raihan, 1954: 31).
Bertolak paham dengan pandangan tersebut, Abdurrahman Jalaludin al-Mahalli dalam kitab beliau Tafsīr Jalālain menyatakan dengan tegas bahwa makna term suthiẖat (dihamparkan) pada Q. S al Ghasiyah[88]:20 adalah apa adanya seperti yang tercantum dalam ayat tersebut. Maksudnya, bentuk bumi adalah datar. Tegasnya, bentuk bumi tidaklah bulat sebagiamana pendapat ulama’ ahli hay’ah (ilmu Falaq). Sebagaimana diuraikan di atas, perbedaan hasil interpretasi antar ulama’ adalah sesuatu yang biasa dan lumrah (Jalaludin, t. t: 805).
Tidak cukup sampai di sini, salah satu mufasir kontemporer juga ikut rembug berkomentar yaitu Muhammmad Rasyid bin Ridha (1865 M). Dalam kitab Tafsīr al Manār, Rasyid Ridha menegaskan bahwa makna dari term firāsya serupa dengan makna term mihāda yaitu mendatarkan atau membentangkan bumi. Jelasnya, makna firāsya dalam ayat tersebut berarti bumi sebagai tempat yang layak untuk beristirahat dan bekerja. Sang Pencipta membuat bumi untuk tempat istirahat sekaligus agar manusia mampu mengambil manfaat sebanyak mungkin dari dataran atau bentangan tersebut (Rasyid, 1973: 153).
Kutipan para mufasir yang diuraikan di atas tidak lain adalah hasil interpretasi para pewaris Nabi yang telah mendahului kita. Sebagai penguat sekian pendapat di atas, penulis juga mengutip pendapat para mufasir yang masih membersamai kita, yaitu KH Misbah Musthafa dan Muhammad Quraish Shihab. KH Misbah Musthafa, atau lebih dikenal dengan Gus Mus dalam kitab tafsir beliau al Iklīl Fī Ma’āny al Tanzīl menjelaskan makna term madadnāha sebagai “Ndawaake ingsun ing bumi”, atau term tersebut menguraikan sifat bumi yang luas bukan datar (Musthafa, t. t: 3171)
Adapun Muhammad Quraish Shihab dengan karya monumental beliau Tafsir al-Misbah menafsirkan term firāsya sebagai sifat bumi adalah bumi dijadikan terhampar tidak selalu bahwa ia diciptakan demikian. Bumi itu berbentuk bulat seperti telur. Pendapat ini ialah hal ilmiah yang mustahil dibantah. Dibentangkannya bumi tidak menentang kebulatannya. Ia menciptakan bumi berbentuk bulat guna menunjukkan kekuasaan-Nya. Kemudian Ia membentuk bumi yang bulat tersebut menjadi datar (terhampar) agar manusia apabila bergerak ke manapun akan melihatnya terhampar. Hal tersebut dimaksudkan Allah Swt supaya mendapat manfaat sebanyak mungkin dari bentuk bulat tersebut (Quraish, 2005: 11)
Daftar Pustaka
Abu Raiḥan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni, al-Qa<nu<n al- Mas’u<di, Beirut: ad-Da<ira<t al-Ma’rifa<t al-Utsma<nia, 1954
Ahmad Al-Shawy, H{a<syiah al Shāwī, Beirut: Da<r ibn Asha<bah
Jalaludin al Mahalli, Tafsi<r al Jala<lain, Kairo: Da<r Al H{adi<th
M Quraish Shihab, Al- Mis{ba<h{: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Pelita Hati, 2005
Misbah Musthafa, al Ikli<l fi< Ma’a<ni< al Tanzi<l, Surabaya: al Ihsan
Muhammad al Razi Fahrudin, Tafs<r al Fakhr al Ra<z al Musytahir bi al Tafsi<r al-Kabi<r wa Mafa<tih{ al-Ghaib, Beirut: Da<r al Fikr, 1993
Muhammad Rasyi<d Ridho, Tafsi<r al-Mana<r, Beirut: Da<r al- Ma’rifah: 1973
Ulviatin Ni’mah, Bentuk, Pergerakan, dan Gravitasi Bumi Menurut al-Qurthubi dalam Kitab al Ja<mi’ li Ah{ka<mi al Qu<r’a<ni dan al-Biruni dalam Kitab al Qa<nu<n al Mas’u<di, Tesis, UIN Suan Ampel Surabaya, 2019