Kajian al-Qur’an telah berkembang pesat dari masa ke masa dengan berbagai pendekatan yang semakin variatif. Salah satu pendekatan kontemporer yang menarik perhatian akademisi adalah kajian Living Qur’an yang berfokus pada bagaimana teks al-Qur’an itu hidup dan diterapkan dalam masyarakat.
Kajian Living the Qur’an atau the Living Qur’an (selanjutnya disingkat LQ) adalah istilah umum untuk penelitian yang berhubungan dengan respon masyarakat terhadap teks al-Qur’an (Syamsudin, 2007: xiv).
Dalam konteks ini, ada dua tokoh penting yang berkontribusi besar dalam perkembangan kajian LQ di Indonesia yakni Ahmad Rafiq dan Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah. Keduanya bukan hanya turut merumuskan konsep, tetapi juga melakukan penelitian lapangan untuk menggali bagaimana teks al-Qur’an mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat Muslim. Artikel sederhana ini akan membahas perkembangan pemikiran keduanya serta kontribusi mereka terhadap kajian LQ di Indonesia.
Ahmad Rafiq dan Awal Mula Kajian Living Qur’an
Ahmad Rafiq dikenal sebagai salah satu pionir dalam pengembangan kajian LQ di Indonesia. Sebagai seorang akademisi di bidang studi tafsir, Rafiq memperkenalkan konsep LQ sebagai cara untuk memahami dinamika al-Qur’an di tengah masyarakat.
Pendekatan ini berbeda dengan tafsir al-Qur’an yang menitikberatkan pada makna teks secara tekstual. Sebaliknya, pendekatan LQ melihat bagaimana teks suci ini dihidupkan oleh masyarakat dalam praktik sehari-hari, baik dalam bentuk ritual, budaya, maupun hukum.
Dalam pandangan Rafiq, LQ merupakan cerminan dari interaksi dinamis antara teks suci dan konteks sosial masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai kitab bacaan atau hukum, tetapi juga sebagai panduan yang membentuk norma-norma sosial.
Salah satu contoh yang sering dikemukakan oleh Rafiq adalah penggunaan ayat-ayat al-Qur’an dalam berbagai ritus sosial budaya, seperti dalam upacara pernikahan, kelahiran, atau bahkan kematian. Penerapan ayat-ayat al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari adalah fokus utama kajian LQ.
Selain memperkenalkan konsep ini, Ahmad Rafiq dalam disertasinya yang berjudul “The Reception of the Qur’an in Indonesia (2014)” membawa semangat dan gebrakan dalam menyusun kajian LQ di tengah komunitas berbahasa non-Arab. Ia memodifikasi pendekatan fenomenologi Wilfred Cantwell Smith untuk merespon masyarakat muslim modern dalam menghidupkan al-Qur’an.
Penelitian ini mengungkap fenomena al-Qur’an dipraktikkan dalam kelompok masyarakat di Indonesia, khususnya di Banjarmasin. Hasilnya, ia menemukan bahwa pemahaman dan penerapan al-Qur’an sangat kontekstual dan sering kali disesuaikan dengan tradisi lokal sejak proses kelahiran hingga kematian manusia (Rafiq, 2014).
Dalam pandangan Rafiq, al-Qur’an ibarat koin yang memiliki dua sisi. Ia mampu untuk memberikan dimensi informatif dan performatif. Yang pertama mengacu pada proses umat Islam membaca teks al-Qur’an dan memahami maknanya, dan yang kedua berkaitan dengan munculnya tindakan tertentu dari hasil pembacaan awal (Dewi, 2018: 200).
Misalnya tafsir Surah Al-Fatihah atau surah-surah al-Qur’an lainnya menunjukkan fungsi informatif al-Qur’an yang memiliki beragam makna. Di sisi lain, fenomena praktik dan tindakan spesifik untuk tujuan tertentu dapat dikaitkan dengan fungsi performatif teks (Rafiq, 2021: 477).
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah dan Pengembangan Kajian Living Qur’an
Di sisi lain, Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah melanjutkan dan mengembangkan kajian yang telah dirintis oleh Rafiq. Hasbillah dikenal dengan pendekatannya yang lebih sistematis dalam memetakan bagaimana teks al-Qur’an bisa ditelusuri dalam landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang memengaruhi perubahan dan perilaku sosial umat Islam.
Ia juga memberikan kontribusi dalam memperkaya kajian metodologi penelitian dalam LQ, terutama dengan menambahkan elemen-elemen sosiologis dan antropologis yang lebih mendalam. Hasbillah menekankan pentingnya memahami konteks lokal dalam kajian LQ.
Kontribusinya dalam kajian Living Qur’an-Hadis (LQH) melalui karyanya yang berjudul “Ilmu Living Qur’an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.” Hasbillah menekankan pentingnya Qur’an dan hadis sebagai sumber otoritatif dalam mengatur norma kehidupan masyarakat Muslim, sekaligus merespons kesalahan dalam pemahaman al-Qur’an.
Ia mempromosikan LQH sebagai cara bagi akademisi untuk menyebarkan ajaran Nabi dan mencegah distorsi dalam penerapan nilai-nilai Qur’an di masyarakat. Karya ini juga menciptakan posisi Hasbillah sebagai otoritas baru dalam studi LQ, mendorong pembaca untuk mempertimbangkan pemikirannya dalam konteks kajian sosial-budaya yang melibatkan al-Qur’an maupun hadis di dalamnya.
Hasbillah juga menjelaskan makna “Living” sebagai sesuatu yang hidup dan usaha untuk menghidupkan. Kajian LQ fokus pada memahami fenomena al-Qur’an dalam praktik sehari-hari dan bertujuan untuk menggali pengetahuan yang mendalam tentang budaya dan perilaku yang terinspirasi oleh al-Qur’an (‘Ubaydi, 2019).
Kontribusi Keduanya dalam Living Qur’an
Kontribusi Ahmad Rafiq dan Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah dalam kajian LQ sangat signifikan, terutama dalam membuka ruang diskusi akademis tentang bagaimana teks al-Qur’an dihidupi di luar konteks tafsir formal. Mereka tidak hanya berperan dalam merumuskan teori, tetapi juga melakukan penelitian lapangan yang menunjukkan betapa kaya dan beragamnya penerapan al-Qur’an di masyarakat.
Rafiq memperkenalkan ide bahwa al-Qur’an bukan hanya teks yang harus dipahami secara literal, tetapi juga teks yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia menyoroti bahwa masyarakat sering kali menciptakan interpretasi-interpretasi baru dari teks ini yang tetap relevan dengan kehidupan mereka.
Sementara itu, Hasbillah memberikan kontribusi dalam hal metodologi bahwa ilmu LQ merupakan kajian yang mengaitkan al-Qur’an dengan realitas kehidupan masyarakat, yang bisa ditelusuri hingga masa Rasul. Untuk membuktikan bahwa LQ sebagai disiplin ilmu, ia menjelaskan epistemologinya, memposisikan LQ dalam rumpun Ulumul Qur’an, serta menguraikan karakter, paradigma, dan model-model kajian LQ.
Selain itu, Hasbillah juga membagi kajian ilmu LQ menjadi dua objek: material dan formal. Objek material mencakup perwujudan al-Qur’an dalam bentuk non-teks seperti perilaku manusia, sedangkan objek formal meliputi perspektif menyeluruh tentang perwujudan ayat al-Qur’an dalam konteks sosiologi, seni, budaya, sains, dan psikologi.
Catatan Akhir
Ahmad Rafiq dan Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah telah memberikan sumbangan yang berharga dalam pengembangan kajian LQ di Indonesia. Rafiq, sebagai pionir, telah membuka jalan dengan memperkenalkan konsep ini dan melakukan penelitian tentang bagaimana al-Qur’an yang memiliki dua fungsi dapat hidup dalam masyarakat.
Sementara Hasbillah melanjutkan dan memperkaya kajian ini dengan pendekatan metodologis yang lebih mendalam, serta menyoroti pentingnya memahami konteks lokal dan sejarah terhadap interaksi masyarakat dengan al-Qur’an. Kedua tokoh ini telah menunjukkan bahwa al-Qur’an bukan sekadar teks suci yang dibaca dan ditafsirkan, tetapi juga teks yang terus berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari.
Pendekatan LQ memberikan cara pandang baru dalam memahami hubungan antara teks dan masyarakat yang menjadikan kajian al-Qur’an semakin relevan di era modern. Dengan demikian, kajian LQ tidak hanya memperkaya khazanah akademis, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih luas tentang peran al-Qur’an dalam kehidupan umat Muslim.
Bahan Bacaan
Dewi, Subkhani Kusuma. 2018. “Fungsi Performatif dan Informatif Living Hadis dalam Perspektif Sosiologi Reflektif.” Jurnal Living Hadis 2 (2): 179.
Rafiq, Ahmad. 2014. “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community.” The Temple University.
———. 2021. “Living Qur’an: Its Texts and Practices in the Functions of the Scripture.” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis 22 (2): 469–84.
Syamsudin, Sahiron. 2007. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadits. Yogyakarta: Teras.
’Ubaydi, Ahmad Hasbillah. 2019. Ilmu Living Quran-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan Aksologi. Tangerang: Maktabah Darus-sunnah.