Kitab Safīnatu Kallā Saya’lamūn fī Tafsīri Syaikhinā Maimūn karya Lora Ismail Al-Ascholy yang terbit pada tahun lalu, belakangan diperbincangkan nisbat kepengarangannya (authorship). Persoalan ini bertitik tolak dari munculnya pernyataan yang menyebut bahwa kitab itu adalah ‘karangan langsung’ dari K.H. Maimoen Zubair (Mbah Moen). (Simak videonya di sini). Pernyataan itu terkesan menepikan posisi Al-Ascholy sebagai pengarang sesungguhnya.
Terlepas dari itu, Al-Ascholy dalam mukadimahnya memang telah memaklumatkan bahwa tafsir yang ditulisnya itu hanyalah catatan hasil daras dengan gurunya, Mbah Moen. (Al-’Ascholy, 2023) Dengan kata lain, sejatinya kitab tersebut adalah hasil penafsiran dari Mbah Moen. Kendati demikian, peran kepengarangan Al-Ascholy penting diperhitungkan guna mengantisipasi adanya simplifikasi penisbatan karya tafsir.
Hal ini karena terkadang teks disusun melibatkan lebih dari satu orang. Pelibatan tersebut menimbulkan persoalan mengenai siapakah yang disebut author sebenarnya dari teks itu? Siapakah yang paling bertanggungjawab atas isi teks? Sejauh mana peran masing-masing orang yang terlibat dalam kepengarangan teks?. Kegelisahan itu memicu Gracia mengajukan tawaran kategorisasi teks beserta author-nya. (Gracia, 1996: 91)
Penisbatan serupa sebenarnya bukan kali pertama muncul. Beberapa karya tafsir kerap dinisbatkan pada figur yang lebih masyhur dan berpengaruh. Tafsīr al-Manār misalnya, terkadang lebih dikenal sebagai buah pikir karya Muhammad Abduh ketimbang pengarang aslinya, Rasyid Ridha. Sebagaimana Al-Ascholy, Ridha memang menulis tafsir ini atas dasar hasil daras dari gurunya di Universitas Al-Azhar kala itu, Muhammad Abduh. (Aż-Żahabi, 2000: II, 423)
Contoh lainnya adalah Mafātīḥ al-Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi yang juga sering dikenal dengan “Tafsir Ar-Razi” saja, meski kepengarangannya melibatkan tokoh lain. Demikian pula, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīri ibn ‘Abbās karya Al-Fairuz ‘Abadi lebih familiar dikenal dengan “Tafsir Ibnu ‘Abbas” saja, alih-alih mengenal nama definitif kitab atau nama pengarangnya.
Menurut catatan Haji Khalifah (sejarawan masa Ottoman), Mafātīḥ al-Ghaib tak sepenuhnya karangan Ar-Razi. Pasalnya, Ar-Razi wafat sebelum menyelesaikan tafsirnya sehingga penulisannya dirampungkan oleh dua tokoh lain. (Aż-Żahabi, 2000: I, 207; Khalīfah, 1943: II, 756) Ulasan tentang hal ini pernah penulis singgung di sini.
Beberapa persoalan simplifikasi penisbatan karya tafsir di atas mengilhami lahirnya tulisan ini. Melalui teori tekstualitas Jorge J.E.Gracia, tulisan ini berupaya menegaskan kembali posisi teks serta peran pengarang yang relatif tersamarkan oleh ketokohan figur pengarang lain.
Taksonomi Teks ala Gracia
Dalam The Theory of Textuality, Gracia membagi teks berdasarkan eksistensinya menjadi tiga; teks aktual (actual text), teks yang dimaksudkan (intended text) dan teks ideal (ideal text). Teks aktual, yaitu teks yang saat ini ada atau pernah ada di masa lalu, baik di luar pikiran penulis maupun di dalamnya, meskipun mungkin hanya ada dalam waktu yang singkat di masa lalu. (Gracia, 1995: 74) Dalam hal ini, Gracia membagi lagi teks aktual menjadi tiga.
Teks aktual yang lahir pada masa lalu, masih eksis hingga saat ini, serta terjaga keasliannya karena belum diedit atau diterjemahkan disebut teks historis (historical text). Sementara jika sudah melalui tahap penyuntingan atau penerjemahan, maka disebut teks kontemporer (contemporary text). Adapun jika teks itu pernah ada di masa lalu, namun tidak lagi eksis pada saat ini maka disebut teks antara (intermediary text). Teks antara bisa terlacak melalui informasi yang ada pada teks historis.
Selain teks aktual, Gracia juga mengenalkan teks yang dimaksudkan oleh pengarang (intended text). Menurutnya, teks ini berarti pikiran pengarang yang tak sempat tersampaikan pada pembaca melalui lisan atau tulisan. Hal ini karena keterbatasan bahasa dalam memuat keluasan maksud sebenarnya dari pengarang sehingga maksud tersebut menjadi tereduksi.
Adapun teks ideal (ideal text) berarti salinan dari teks historis yang telah melalui proses penyuntingan atau penerjemahan oleh orang lain. Bagi Gracia, terkadang teks ideal itu justu melenceng dari maksud utama pengarang, meski si penyunting merasa salinan yang dihasilkannya itu lebih akurat dari teks aslinya. Sebaliknya, teks ideal juga dapat melengkapi maksud pengarang yang belum terekspresikan atau mengoreksi kesalahan si pengarang. (Syamsuddin, 2017: 98-100)
Taksonomi Pengarang ala Gracia
Lebih jauh, Gracia juga membagi identitas pengarang (author) menjadi empat. (Gracia, 1996: 93) Pertama, pengarang asli (historical author), yaitu pengarang teks historis. Kedua, pengarang semu-historis (pseudo-historical author), yaitu orang yang diduga memproduksi teks historis, padahal sebenarnya tidak. Biasanya, pengarang semu ini merupakan figur yang ketokohannya telah terakui oleh masyarakat sehingga beberapa orang menisbatkan kepengarangan teks padanya.
Ketiga, pengarang komposit (composite author), yaitu siapapun yang terlibat dalam produksi teks kontemporer. Dalam hal ini, pengarang asli, penyalin dan editor (muhaqqiq) dapat menyandang identitas sebagai pengarang komposit. Keempat, pengarang interpretatif (interpretative author), yaitu penafsir teks kontemporer. Pengarang komposit dan interpretatif berperan menjembatani agar maksud pengarang asli dapat tersampaikan pada pembaca secara akurat, meski upaya ini tak selalu berhasil. (Syamsuddin, 2017: 101-104)
Urgensi Taksonomi Teks dan Author
Kesadaran taksonomi teks sebagaimana tawaran Gracia ini penting diketengahkan sebelum jauh menyelami kandungan karya tafsir tertentu. Hal ini berfungsi agar pembaca dapat membedakan antara ide dari pengarang asli (historical author) dengan ide yang berupa anotasi tambahan dari pengarang komposit/interpretatif.
Melalui perspektif teksonomi teks, Safīnatu Kallā Saya’lamūn fī Tafsīri Syaikhinā Maimūn termasuk teks aktual-kontemporer (contemporary text). Hal ini karena teks itu adalah hasil alih bahasa (menjadi Bahasa Arab) oleh Lora Ismail dari beberapa pengajian tafsir Mbah Moen yang berbahasa Jawa dan Indonesia. Selain itu, teks juga telah melewati proses peyuntingan oleh pihak Penerbit Nahdlatut Turats.
Sementara dalam perspektif teksonomi author, Lora Ismail Al-Ascholy menempati posisi sebagai pengarang historis (historical author). Meski begitu, beliau menisbatkan karya tafsir ini pada sosok K.H. Maimoen Zubair yang berposisi sebagai pengarang semu-historis (pseudo-historical author). Adapun tim editorial dari Penerbit Nahdlatut Turats berposisi sebagai pengarang komposit (composite author).
Jika suatu saat muncul karya lain yang berisi komentar (syarḥ) mengenai kitab Safīnatu Kallā Saya’lamūn fī Tafsīri Syaikhinā Maimūn ini, maka karya itu termasuk teks ideal. Sementara pengarangnya disebut pengarang interpretatif (interpretative author). Begitu juga seterusnya, seandainya muncul komentar atas komentar itu (ḥāsyiyah).
Kesadaran ini nampaknya telah dimiliki oleh beberapa pengarang yang menisbatkan karyanya pada figur lain. Lora Ismail Al-Ascholy dengan elegan menggunakan kata kunci seperti qultu dan qāla syaikhunā guna memudahkan identifikasi antara gagasan pengarang historis dengan anotasi yang tambahan. Kesadaran yang sama hendaknya juga dimiliki oleh pembaca teks guna menghindari penisbatan yang kurang tepat.
Daftar Pustaka:
Al-’Ascholy, M. I. (2023). Safīnatu Kallā Saya’lamūn fī Tafsīri Syaikhinā Maimūn. Bangkalan: Nahdlotut Turots.
Aż-Żahabi, M. Ḥusain. (2000). At-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah Wahbah.
Gracia, J. J. E. (1995). A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology. New York: State University of New York Press.
Gracia, J. J. E. (1996). Texts: Ontological Status, Identity, Author, Audience. New York: State University of New York Press.
Khalīfah, H. (1943). Kasyf al-Ẓunūn ‘an Asāmī al-Kutub wa al-Funūn. Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-’Arabi.
Syamsuddin, S. (2017). Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.