Birrul Walidain Perspektif Bisri Mustofa (Kajian dalam Tafsir al-Ibrîz, Ngudi Susila dan Mitra Sejati)

Pendidikan Islam merupakan sarana utama dalam mentransformasi pengetahuan dan akhlak individu sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Orang tua, sebagai pendidik pertama dan utama, memiliki tanggung jawab yang besar dalam pembentukan karakter anak. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengorbanan mereka (Mushthafa, 2013: 7).

Perkembangan zaman yang pesat membawa perubahan signifikan pada perilaku individu, terutama generasi muda. Salah satu fenomena yang mengkhawatirkan adalah menurunnya sikap hormat dan patuh anak terhadap orang tua. Tindakan seperti membantah, mengabaikan, bahkan melakukan kekerasan terhadap orang tua semakin sering terjadi. Padahal, dalam berbagai ajaran agama Islam, birrul walidain merupakan kewajiban yang sangat ditekankan (Juwita, 2020: 87-102).

Bacaan Lainnya

Banyak orang salah kaprah tentang arti birrul walidain. Tindakan yang bertentangan dengan agama seringkali dibenarkan dengan alasan berbakti. Misalnya, anak yang dipaksa orang tuanya untuk meminta bantuan kepada orang yang sudah meninggal, padahal hal ini bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman dan penerapan birrul walidain yang benar sangatlah penting (Zaki, 2021: 2). Dengan demikian artikel ini berusaha untuk memahami pandangan Bisri Mustofa tentang pentingnya birrul walidain dan implikasinya bagi kehidupan sehari-hari.

Biografi Singkat Bisri Mustofa

Bisri Mustofa dengan nama kecil Mashadi merupakan ulama kelahiran Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915. Beliau merupakan putra dari Zainal Mustofa dan Chodijah (Achmad Zainal Huda, 2005:8). Beliau dikenal sebagai seorang mufassir ulung dan wafat pada 17 Februari 1977 di Semarang akibat penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan paru-paru (Syaiful Amin Ghofur, 2008: 216).

Perjalanan intelektualnya dimulai dari pesantren-pesantren di tanah air, seperti Kajen dan Kasingan di bawah bimbingan Kiai Kholil, serta Tebuireng di bawah asuhan Hasyim Asyari. Kemudian melanjutkan studi di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama secara langsung dari ulama-ulama besar. Pendidikan yang beliau terima menjadi dasar untuk kemudian menjadi seorang ulama yang berpengaruh dan produktif (Achmad Zainal Huda, 2005:14-17).

Bisri hidup dalam tiga era yang berbeda yaitu pada masa penjajahan, kepemimpinan Soekarno, dan Orde Baru. Beliau tidak hanya menjadi seorang ulama, tetapi juga aktif dalam berbagai bidang seperti dakwah, pendidikan, politik, dan ekonomi. Kemampuannya menyatukan berbagai golongan membuatnya menjadi sosok yang sangat dihormati (Achmad Zainal Huda, 2005:24-58).

Bisri Mustofa adalah seorang penulis produktif yang karya-karyanya mencakup berbagai aspek keagamaan. Beliau menggunakan berbagai bahasa dalam menulis, termasuk bahasa Jawa dan Indonesia, baik dengan huruf Arab pegon maupun Latin. Salah satu karya Bisri Mustofa yang fenomenal dalam bidang Tafsir, yaitu tafsir al-Ibrîz. Kemudian di antara karya beliau di bidang akhlak, yaitu Ngudi Susila dan Mitro Sejati (Mafri Amir, 2013: 130).

Karakteristik Tafsir al-Ibrîz

Tafsir al-Ibrîz terdiri dari 30 juz dan ditulis menggunakan bahasa Jawa Pegon dengan tingkat yang bervariasi antara ngoko dan krama. Sistematika penulisan dalam al-Ibrîz mempunyai struktur yang jelas, meliputi terjemahan kata per kata, terjemahan tafsir, informasi tambahan, dan pengantar surah. Latar belakang penulisan al-Ibrîz sebagai respon terhadap kebutuhan masyarakat Jawa, khususnya mereka yang tinggal di pedesaan, untuk memahami Al-Qur’an dengan lebih baik. Pada pendahuluan dijelaskan bahwa Tafsir al-Ibrîz merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir Baidhawi, dan Tafsir Khazin. (Bisri, t.th.: 1-2).

Meskipun Bisri tidak memberikan informasi mengenai kapan Tafsir al-Ibrîz ditulis. Namun, dalam penutup kitab disebutkan bahwa tafsir ini selesai ditulis pada hari Kamis tanggal 28 Januari 1960 M (Bisri, t.th.: 2270). Pemilihan nama “al-Ibrîz” yang berarti “emas murni” dalam bahasa Yunani mengindikasikan harapan Bisri agar tafsir ini menjadi karya yang bernilai tinggi dan abadi (Louis: t.th: 1). Metode penafsiran al- Ibrîz dengan menggabungkan metode bi al-ma’tsûr dan bi al-ra’yi. Corak penafsirannya menggabungkan aspek fikih, tasawuf, dan sosial-kemasyarakatan.

Karakteristik Ngudi Susila

Ngudi Susila merupakan karya sastra yang memuat syair-syair tentang pendidikan akhlak. Dulu, kitab ini digunakan sebagai media pembelajaran di pesantren-pesantren di Jawa. Dengan menggunakan Jawa Pegon, kitab ini menyajikan materi-materi pendidikan karakter secara menarik melalui bentuk syair. Kitab ini terdiri dari 16 halaman, 160 baris bait syair, dan 8 bab mencakup berbagai aspek kehidupan anak, mulai dari tata krama hingga pembentukan karakter yang luhur.

Karakteristik Mitra Sejati

Kitab Mitra Sejati adalah kumpulan syair yang membahas tentang budi pekerti yang baik. Ditulis dengan menggunakan Jawa Pegon. Kitab ini dari 8 halaman, 109 baris bait syair dan 21 bab yang menyajikan panduan praktis tentang tata krama dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Isi kitab ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, mulai dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan masyarakat. Tujuan penulisnya adalah untuk membentuk karakter individu yang berakhlak mulia.

Birrul Walidain Perspektif Bisri Mustofa

Konsep birrul walidain dalam Islam menekankan pentingnya hubungan anak dengan orang tua. Birrul walidain bukan hanya tentang menghargai jasa orang tua, tapi juga mewajibkan kita untuk mengabdi dan berbakti kepada mereka dengan sungguh-sungguh. Al-Qur’an menjelaskan secara rinci mengenai pentingnya berbakti kepada orang tua. Misalnya ayat Al-Qur’an dalam QS. Al-Isrâ’/17: 23-24.

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓااِلَّآاِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآاَوْ كِلٰهُمَافَلَاتَقُلْ لَّهُمَآاُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَاوَقُلْ لَّهُمَاقَوْلًاكَرِيْمًا ٢٣ وَاخْفِضْ لَهُمَاجَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ ٢٤

Bisri menjelaskan dalam Tafsir al-Ibriz bahwa ayat ini memerintahkan untuk menyembah Allah dan berbuat baik terhadap orang tua. Kewajiban merawat orang tua yang telah lanjut usia menjadi tanggung jawab anak. Selain itu berisi larangan agar tidak berkata kasar dan membentaknya. Sebaiknya dengan mengucapkan kata-kata yang baik. Ayat ini juga memerintahkan agar rendah hati terhadap orang tua, dan agar mendoakan dan memohon ampunan untuk keduanya (Bisri, t.th.: 839-840).

Selaras dengan pendapat Bisri dalam Kitab Ngudi Susila dalam syairnya bahwa harus mencintai ibu yang telah merawat dari kecil dan kepada ayah juga harus menyayanginya. Perintah untuk bersikap rendah hati kepada orang tua. Misal ketika orang tua duduk di bawah, maka sebagai anak tidak boleh duduk di tempat yang lebih tinggi, ketika lewat di depannya maka harus mengucap permisi dan membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan.

Menurut Bisri ketika berbicara harus menggunakan tutur kata yang halus, pelan namun jelas. Ketika orang tua sedang tidur jangan ramai, sekalipun sedang membaca maka harus memelankan suara. Ketika orang tua sedang memberi nasihat, lebih baik diam jangan ikut marah dan menggerutu. Apabila hendak pergi kemanapun agar pamit kepada orang tua, mengucap salam dan menerima berapapun uang saku yang diberi oleh orang tua (Bisri, t.th.: 1-5).

Begitu juga firman Allah dalam QS. Luqmân/31 : 14-15 yang membahas mengenai birrul walidain.
وَوَصَّيْنَاالْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْلِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ ١٤ وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَالَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَاتُطِعْهُمَاوَصَاحِبْهُمَافِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ١٥

Bisri dalam Tafsir al-Ibrîz menjelaskan kewajiban berbakti kepada orang tua. Beliau menyoroti jasa seorang ibu yang begitu besar dalam mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya. Sebagai bentuk balasan, Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua dan bersyukur kepada-Nya. Lebih lanjut, Bisri menjelaskan bahwa mendirikan salat lima waktu dan mendoakan orang tua setelah salat merupakan implementasi nyata dari perintah berbakti kepada orang tua.

Bisri menjelaskan bahwa ketaatan kepada orang tua memiliki batasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan perintah Allah. Apabila orang tua menyuruh melakukan perbuatan syirik, maka anak tidak boleh menaatinya. Namun, kewajiban berbuat baik kepada orang tua tetap harus dijalankan. Beliau juga menegaskan pentingnya mengikuti jalan orang-orang yang bertakwa, karena pada akhirnya setiap individu akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di hadapan Allah. (Bisri, t.th.: 1409-1411)

Dalam Syair Ngudi Susila Bisri menjelaskan apabila ibu dan ayah kerepotan maka sebagai anak bantulah, jangan keras kepala. Ketika orang tua memerintah segera kerjakan dan jangan membantah, membentak, dan menantang. Misal setelah salat bantulah orang tua dengan menyapu rumah. Perintah orang tua wajib dikerjakan, selagi perintah tersebut bukan perintah untuk menyekutukan Allah dan berbuat jahat (Bisri, t.th.: 2-4).

Selaras dengan karya yang lainnya yaitu Mitra Sejati yang juga membahas mengenai birrul walidain. Dalam syairnya ia menegaskan pentingnya sikap seorang anak kepada ayahnya. Ayah sebagai kepala rumah tangga yang patut untuk dihormati dan sebagai seorang anak wajib berbakti kepadanya. Selain itu, ayah merupakan seseorang yang mencari nafkah untuk kebutuhan anaknya. Semangat serta perjuangannya mencerminkan bentuk kasih sayang terhadap anaknya.

Dalam Mitra Sejati Bisri juga mengungkapkan pentingnya sikap seorang anak kepada ibunya. Ibu dianggap sebagai seorang yang berharga karena telah mengandung selama sembilan bulan, memberi asi, merawat, membesarkan dan menjaga anaknya dengan penuh kasih sayang. Oleh sebab itu, sebagai anak tidak boleh melawan seorang ibu (Bisri, t.th.: 2-3).

Referensi

Al-’Adawi, Mushthafa bin. Fikih Birrul Walidain: Menjemput Surga Dengan Bakti Orang Tua. Solo: Al-Qowam, 2013.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Tangerang Selatan: Madzhab Ciputat, 2013.
Ghofur, Syaiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008.
Huda, Achmad Zainal. Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah Bisri Mustofa. Yogyakarta: Lkis, 2005.
Sari, Juwita Puspita dkk. “Konsep Birrul Walidain dan Implikasinya Dalam Membentuk Karakter Peserta Didik.” Jurnal PAI Raden Fatah, Vol. 2, No. 1, 2020.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi Al-Lughah. Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah, t.th.
Mustofa, Bisri. Al-Ibrîz Li Ma’rifah Tafsîr Al-Qur’an al-‘Azîz bi al-Lughah al-Jâwiyah. Kudus: Menara Kudus, t.th.
___________. Mitra Sejati Nerangake ing Bab Budi Pekerti. Surabaya: Maktabah Ahmad bin Muhammad Nabahan wa Waladaihi, t.th
___________. Syi’ir Ngudi Susila Suka Pitedah Kanthi Terwila. Kudus: Menara Kudus, t.th.
Rakhmawan, Zaki. Ayah Ibumu Pintu Surgamu. Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi‘i, 2021.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *