Poligami Perspektif Ulama Turki: Elmalılı Hamdi Yazır dalam Tafsir Hak Dini Kur’an Dili (Analisis QS. An-Nisa [4]: 3)

Turki adalah negara yang menganut prinsip monogami dan melarang praktik poligami di kalangan warganya. Umumnya, masyarakat mengaitkan poligami dengan hukum Islam. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, praktik poligami telah ada jauh sebelum munculnya hukum Islam. Sebagai contoh, beberapa suku kuno, seperti yang dikenal sebagai “salafiyun” yang mencakup wilayah yang kini menjadi Rusia, Letonia, Cekoslowakia, Yugoslavia, serta sebagian Jerman dan Inggris, telah melakukan praktik poligami. (Dedi Supriyadi & Mustofa, 2011: 81).

Para raja di masa lalu menganggap memiliki banyak istri sebagai sebuah kebanggaan. Hal ini dianggap sebagai simbol status sosial yang tinggi dan menunjukkan tingkat kesejahteraan yang lebih. Banyaknya istri tidak hanya mencerminkan kekuasaan, tetapi juga reputasi serta prestise di mata masyarakat. Raja Nigeria di Afrika misalnya, dikenal memiliki ribuan istri, sementara ada lagi rekor yang luar biasa dicatat oleh seorang raja di Uganda yang memiliki hingga tujuh ribu istri. (Dedi Supriyadi, 2011: 82).

Bacaan Lainnya

Bahkan, sebelum kedatangan Islam, pada masa jahiliyah, perempuan sering diperlakukan sebagai barang rampasan perang dan diperdagangkan. Namun, dengan kedatangan Islam dan diutusnya Nabi Muhammad SAW, hak-hak perempuan mulai diakui dan dihormati. Mereka diberikan hak penuh, termasuk hak untuk mewarisi harta, memiliki kekayaan secara mandiri, dan perlindungan terhadap campur tangan orang lain tanpa izin mereka. (Sakim Abdul Ghani al-Rafi’i, 2002: 105-106).

Kedatangan Islam memberikan martabat lebih kepada perempuan, di mana hukum Islam menetapkan batasan maksimal dalam berpoligami, yaitu empat istri secara bersamaan. Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari laki-laki terhadap perempuan, memastikan adanya keadilan dan perlindungan bagi semua pihak.

Pengaturan mengenai poligami dalam hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an, tepatnya dalam Surat An-Nisa’/4:3. Ayat ini menyatakan bahwa seorang laki-laki diperbolehkan menikahi hingga empat perempuan secara bersamaan. Penjelasan ini juga diperkuat oleh hadis Nabi Muhammad SAW, di mana terdapat kisah seorang bernama Ghilan yang masuk Islam dengan sepuluh istri. Rasulullah SAW menyarankan agar ia memilih hanya empat istri dan menceraikan sisanya. (Dedi Supriyadi & Mustofa, 2011: 128).

Meskipun Al-Qur’an telah menetapkan hukum poligami dengan jelas, penerapannya menunjukkan variasi di berbagai negara. Perbedaan ini mencerminkan konteks budaya, sosial, dan hukum masing-masing negara dalam mengatur praktik poligami. Beberapa negara, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Iran, memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. (Atik Wartini, 2013: 234).

Namun, di negara Turki dan Tunisia, poligami dilarang karena dianggap dapat menyengsarakan perempuan. Kedua negara ini berpendapat bahwa praktik poligami tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam pernikahan. Turki, yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam, adalah negara pertama yang melarang praktik poligami. Kebijakan ini diambil sebagai langkah untuk mendorong kesetaraan gender dan melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berkeluarga. (Dewi Ulfa Lailatul Fitria & Fitri Ariani, 2021: 43).

Sejak tahun 1926, Turki melarang praktik poligami setelah mengadopsi The Swiss Civil Code yang diterapkan pada tahun 1912, yang kemudian menjadi The Turkish Civil Code of 1926. Langkah ini mencerminkan komitmen Turki untuk mempromosikan kesetaraan dalam pernikahan dan melindungi hak-hak perempuan. Seiring dengan perkembangan Republik Turki, sebuah undang-undang baru disusun untuk mengatur hukum keluarga secara lebih spesifik, yaitu The Turkish Family Law of Cyprus yang diberlakukan pada tahun 1951. Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan kerangka hukum yang lebih jelas mengenai hak dan kewajiban dalam keluarga. (Abu Yazid Adnan Quthny, 2016: 15).

Elmalılı Hamdi Yazır: Profil dan Kontribusi

Elmalılı Muhammad Hamdi Yazır adalah salah satu ulama Utsmaniyah terakhir yang hidup pada masa transisi dari kesultanan Turki Utsmani ke Republik Turki. Elmalılı Hamdi Yazır lahir di Elmalı yang merupakan distrik di wilayah Antalya tepatnya di Karyağdı pada tahun 1294/1877. (Elmalılı Muhammad Hamdi Yazır, 1992: VI).

Hamdi Yazır lahir dari pasangan Hoca Numan Efendi dan Fatma Hanım. Hoca Numan Efendi pergi meninggalkan desa Yazır salah satu desa di kota Burdur-Turki sejak kecil dan menetap di Elmalı dan menyelesaikan pendidikannya disana menjadi Kepala Panitera di Pengadilan Şer’iye.

Muhammad Hamdi Yazır Efendi menyelesaikan pendidikan dasar di Elmalı dan menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dikota kelahirannya. Pada tahun 1895, Hamdi Yazır pergi ke Istanbul bersama pamannya Mustafa Efendi guna untuk melanjutkan pendidikannya di Medrese Küçük Ayasofya. Muhammad Yazır menerima ijazah dari gurunya yang bernama Kayserili Muhammad Hamdi Efendi karena telah menyelesaikan pendidikannya di medrese tersebut.

Selama menempuh pendidikan di Istanbul, Yazır tidak hanya fokus kepada pengetahuan agama saja, akan tetapi ia juga mendalami berbagai bidang seperti, seni, sastra dan musik. Hamdi melanjutkan studinya di Mesjid Beyazit dan menerima ijazah dari Hamdi Efendi dalam program studi Bahasa Arab dan Ilmu Agama. Sementara itu Yazır sambil belajar di Mektebi Nuwwab dan menyelesaikan dengan peringkat pertama. (Paksüt, Fatma, 1993: 6).

Seorang pelajar arab yang belajar di Istanbul pernah berkata “Hamdi Yazır sangat fasih dalam bahasa Arab” ia salah mengira bahwa Hamdi Yazır adalah orang Arab. (Paksüt, Fatma, 1993: 6). Yazır tidak puas dengan ilmu bahasa yang didapatkannya, sehingga ia mulai mendalami bahasa barat dengan tujuan untuk memahami dan mengambil manfaat dari pengetahuan mereka, begitu juga ia belajar bahasa Prancis dengan tujuan untuk menerjemahkan teks filsafat kedalam bahasa Turki. Hingga pada tahun 1906, Muhammad Yazır diangkat sebagai dersiam (dosen) di Beyazit Medresesi setingkat dengan Universitas di Istanbul. (Ismer Ersoz, 1994: 170).

Pada tahun 1926 Kementrian Agama memberikan tugas untuk menyelesaikan penulisan tafsirnya dan pada tahun 1938 tafsirnya selesai ditulis. Karya yang monumental tersebut ditulis selama 12 tahun dan diberi nama dengan “Hak Dini Kuran Dili”yang berjumlah 10 jilid.

Tafsir Hak Dini Kuran Dili: Analisis Hamdi Yazır terhadap QS. an-Nisa/4: 3

Poligami dalam Bahasa Arab dikenal sebagai ta’adud al-zawjah (berbilang pasangan). Dalam ajaran Islam, poligami dianggap sebagai tindakan yang dibolehkan atau mubah. Meskipun dalam surat An-Nisa’ ayat 3 terdapat kalimat “fankihu,” yang merupakan bentuk perintah (amr), konteks dari perintah tersebut lebih dimaksudkan untuk mengekspresikan status mubah dari pada sebuah kewajiban (wajib).

M. Quraish Shihab menggaris bawahi bahwa ayat ini tidak menetapkan peraturan baru mengenai poligami, karena praktik poligami sudah dikenal dan dilaksanakan oleh masyarakat serta penganut agama sebelum turunnya ayat ini. Selain itu, ayat ini tidak mewajibkan atau menganjurkan poligami, ia hanya menegaskan bahwa poligami diperbolehkan. Namun, izin tersebut merupakan pintu kecil yang hanya boleh dilalui oleh mereka yang benar-benar membutuhkan, dengan syarat-syarat yang tidak ringan. (M. Quraish Shihab, 2002: 341).

Meskipun hukum Islam memperbolehkan poligami, pelaksanaannya tidaklah sederhana. Poligami sejatinya lebih dianjurkan dalam keadaan atau kondisi darurat. (Beni Ahmad Saebani, 2001: 152). Ketika Elmalılı Hamdi Yazır menafsirkan QS. An-Nisa/4:3 ini ia menjelaskan secara rinci dan panjang lebar dengan menjelaskan beberapa bentuk penafsiran dan riwayat yang terkait hal ini agar bisa dipahami dengan baik.

فانكحوا hitabı ile nikah (evlenme) emri buna bağlanmıştır. Bundan dolayı, bu şartın mânâsını ve bu emrin meydana geliş şeklini iyi anlamak için bu konuda rivâyet yoluyla gelen tefsir şekillerini bilmek gerekir.

Elmalılı Hamdi Yazır didalam tafsirnya mencantumkan paling sedikit enam riwayat salah satu diantaranya yang diriwayatkan oleh Ikrimah berkata: “ada seorang laki-laki Quraisy yang memiliki banyak wanita dan anak yatim. Ia lebih cenderung menggunakan harta anak yatim untuk keperluannya. Oleh karena itu ayat ini turun.

Seorang laki-laki menikahi empat, lima, enam atau sepuluh wanita, dan seorang laki-laki lain berkata, “Mengapa aku tidak menikah seperti si fulan?” Dia mengambil harta anak yatim dan dengan harta itu pula dia menikah. Oleh karena itu, ia dilarang menikahi lebih dari empat orang istri. Fakhruddin ar-Razi mengatakan pendapat ini yang paling mendekati. Seolah-olah Allah SWT menakut-nakuti manusia untuk tidak menikahi banyak wanita karena adanya kemungkinan para wali anak yatim akan merampas harta anak yatim karena kebutuhan nafkah dan pengeluaran yang muncul akibat menikahi banyak wanita.

Namun, preferensi ini dikritik tegas oleh Hamdi Yazır. Karena dengan mengaitkan alasan pelarangan hanya pada ketakutan akan pelanggaran terhadap harta anak yatim, tidak mempertimbangkan jiwa anak yatim dan masalah memperlakukan wanita dengan adil, di sisi lain sebagai alasan yang paling utama.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sebagian dari riwayat-riwayat tersebut menunjukkan alasan turunnya ayat tersebut dan sebagian lagi menunjukkan hikmah dan manfaat dari turunnya ayat tersebut. Hamdi Yazır menegaskan kembali bahwa riwayat dari ‘Aisyah lah yang menunjukkan alasan turunnya ayat ini dengan sangat jelas. (Elmalılı Muhammad Hamdi Yazır, 1992: 509).

Hamdi Yazır secara tidak langsung mengatakan poligami tidak akan mungkin terjadi dikarenakan susahnya seseorang berlaku adil. Tidak takut terhadap ketidakadilan terhadap anak yatim adalah sebuah kekufuran. Hamdi Yazır menjelaskan lebih tegas didalam tafsirnya:
Adalet yapamayacağını bilen bir adam, birden fazla kadınla evlenirse haksızlıktan sakınmadığı için günah kar olur.

Jika seseorang menikahi lebih dari satu wanita dan ia mengetahui bahwa ia tidak mampu berbuat adil, maka ia berdosa karena ketidakadilannya. (Elmalılı Muhammad Hamdi Yazır, 1992: 511).
Dalam konteks ini, keadilan adalah prinsip yang sangat penting, dan setiap orang diharapkan untuk mempertimbangkan tanggung jawabnya sebelum mengambil keputusan untuk berpoligami. Menikahi lebih dari satu wanita tanpa kemampuan untuk memberikan perlakuan yang adil dapat menimbulkan dampak negatif, baik bagi istri maupun bagi diri sendiri.

Lalu apa arti dari perintah فانكحوا? Elmalılı Muhammad Hamdi Yazır membuat pertanyaan dalam tafsirnya. Karena perintah tersebut bermakna wajib secara implikasi, maka Mazhab Zahiriyyah mengatakan bahwa perintah tersebut bermakna wajib, oleh karena itu, pernikahan hukumnya wajib bagi setiap orang yang mampu untuk menikah dan memberikan nafkah.

Sebagian besar ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa menikah itu wajib bagi orang yang mampu memberi nafkah kepada keluarga, dalam kondisi syahwat dan takut berzina. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, hukumnya wajib dalam kasus pelampiasan hasrat seksual. Makruh hukumnya jika dikhawatirkan terjadi ketidakadilan terhadap wanita.

Selain itu, ada juga yang secara eksplisit menyatakan fardhu kifayah menurut mazhab Hanafi, dan tidak diwajibkan kepada setiap orang, tetapi diwajibkan kepada umat secara keseluruhan. Ini berarti bahwa jika seluruh umat meninggalkan pernikahan, mereka akan berdosa. Inilah yang kita pahami dari ayat tersebut. Hamdi Yazır disini terlihat kental dengan mazhabnya yaitu mazhab Hanafi.

Oleh karena itu, merupakan kewajiban untuk membantu mereka yang menikah dengan segala cara. Prosedur pernikahan harus selalu dipermudah, bukan dipersulit. Karena mempersulit pernikahan berarti mempermudah perzinaan. (Elmalılı Muhammad Hamdi Yazır, 1992: 511).

Adapun “menikahi lebih dari satu wanita” Hamdi Yazır berpendapat bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa hal itu makruh, kecuali jika dibolehkan dan mubah, serta dikhawatirkan terjadi ketidakadilan. Namun, ayat tersebut menyatakan bahwa dalam beberapa kasus diperbolehkan dan bahkan wajib untuk menikahi lebih dari satu wanita jika mereka takut terjerumus kepada perzinahan.

مثنى وثلث ورباع menurut pernyataan tersebut, jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat orang (wanita). Karena menurut bahasa, Hamdi Yazır mengibaratkan dengan ungakapan “Bagikan apel-apel ini kepada jama’ah masing-masing dua, tiga, dan empat”. Ketika hal ini dikatakan, dapat dipahami bahwa beberapa orang hanya akan menerima dua apel, beberapa hanya tiga apel dan beberapa hanya empat apel.

Kecuali, beberapa dari sekte Zahiriyah percaya bahwa angka-angka ini adalah angka-angka perkalian. Mereka (kaum zahiri) telah bertindak bertentangan dengan tradisi Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW, para imam mazhab dan ijma’ para mujtahid, karena mereka tidak menerima akal dan tidak menerima ijma’.

Di sisi lain, beberapa Syiah Rafizi telah melangkah lebih jauh dengan mengklaim bahwa angka-angka ini tidak menunjukkan batasan apa pun dan bahwa ungkapan ما طاب لكم من النساء tetap dalam makna umumnya, dan bahwa angka-angka ini, seperti dua, tiga, empat, dan seterusnya, telah memperkuat makna umum ini. Dan mereka hanya mengikuti hawa nafsu dan keinginan egois mereka sendiri.

Daftar Bacaan

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
Dewi Ulfa Lailatul Fitria & Fitri Ariani, Problematika Poligami di Negara Turki. Islamic Law: Jurnal Siyasah, 6.
Elmalılı M. Hamdi, Yazır. Hak Dini Kur’an Dili, Istanbul: Zehraveyn, 1992.
Ersoz, Ismer. “Elmalılı Hamdi Yazır ve Tefsirini Özellikleri” Türkiye Diyanet Vakfi Islam Ansiklopedisi (Istanbul, Türkiye Diyanet Vakfi Yayınları, 1994),
Paksüt, Fatma, “Merhum Dayım Hamdi Yazır”, Elmalılı Muhammed Hamdi Yazır Sempozyumu, (T.D.V Yayınları, Ankara, 1993)
Quthny, Abu Yazid Adnan, Reformasi Hukum Keluarga Islam Turki. INZAH Genggong Journals. 2016.
Saebani, Beni Ahmad, Fiqih Munakahat 2, Bandung, Pustaka Setia, 2001.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Wartini, Atik. Poligami: dari Fiqih hingga Perundang-undangan. Jurnal Studia Islamika Hunafa. Vol. 10. No. 2 Desember 2013.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *