Proyek Pemurnian Tafsir ala Ibn Taimiyyah (w. 728 H) Serta Pengaruhnya Hingga Masa Kini

Tidak hanya ritus keagamaan khas masyarakat muslim Nusantara yang menghadapi tantangan gerakan pembaruan dan “pemurnian”, tradisi tafsir Al-Qur’an pun turut mengalaminya. Sosok yang paling berkontribusi dan berpengaruh dalam pemurnian tafsir tidak lain ialah Ibn Taimiyyah (w. 728 H).

Maksud pemurnian tradisi tafsir di sini mirip dengan pemahaman sebagian muslim konservatif modern bahwa ajaran Islam yang murni ialah yang datang dari generasi salaf atau tiga generasi awal Islam yakni Nabi, para Sahabat dan Tābi‘īn. Demikian, begitu pula pemaknaan Al-Qur’an harus dikembalikan kepada tiga generasi tersebut.

Bacaan Lainnya

Tulisan ini akan lebih berbentuk ulasan (review) atas artikel Walid Saleh, Ibn Taymiyya and the Rise of Radical Hermeneutics: An Analysis of An Introduction to the Foundations of Qur’ānic Exegesis.

Pada artikel ini dijelaskan bagaimana risalah singkat Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr bukan hanya sekadar memberikan kaidah langkah-langkah penafsiran, melainkan juga mencoba merombak tradisi tafsir yang sudah mapan di masanya dan membentuk ulang gaya penafsiran Al-Qur’an yang berbeda. Meskipun ringkas, pengaruh karya Ibn Taimiyyah ini tidak dapat diremehkan.

Argumen Pemurnian Tafsir Ibn Taimiyyah

Uṣūl al-Tafsīr mula-mula dibuka dengan bab yang menjelaskan Sahabat beserta Tābi‘īn hanya sekadar memelihara makna Al-Qur’an dan bukan menafsirkannya (fī ‘Ināyah al-Ṣaḥābah wa al-Tābi‘īn fī Ma’ān al-Qur’ān) (Taimiyyah, 1980).

Ibn Taimiyyah menjadikan bab ini sebagaimana dikomentari Walid Saleh sebagai tulang punggung keseluruhan risalahnya (Saleh, 2010). Ibn Taimiyyah mengandaikan Nabi Muhammad Saw., tidak sekadar mendiktekan redaksi Al-Qur’an kepada para Sahabatnya tetapi juga sekaligus menjelaskan makna Al-Qur’an kepada mereka.

Argumen ini Ibn Taimiyyah kokohkan dengan mengutip ayat Al-Qur’an (li tubayyina li al-nās, al-Naḥl [16]: 44) serta beberapa hadis mengenai bagaimana para Sahabat mempelajari Al-Qur’an dari Nabi secara bertahap, sedikit demi sedikit bahkan diriwayatkan seorang Ibn ‘Umar menghafal surah al-Baqarah beberapa tahun lamanya.

Bahkan, tidak hanya makna Al-Qur’an yang dipelajari Sahabat dari Nabi tetapi juga sekaligus pengamalannya. Seolah hal yang ingin ditegaskan oleh Ibn Taimiyyah adalah para Sahabat tidak serta merta memahami Al-Qur’an, mereka butuh bimbingan dari Nabi untuk mengetahui makna serta pengamalan Al-Qur’an (Taimiyyah, 1980).

Oleh sebab itu, lanjut Ibn Taimiyyah, perbedaan pendapat di kalangan Sahabat mengenai tafsir Al-Qur’an relatif sedikit. Begitu pula perbedaan di kalangan Tābi‘īn, meski jika dibandingkan dengan para Sahabat perbedaan mereka soal tafsir Al-Qur’an itu lebih banyak akan tetapi, bila dibandingkan dengan generasi setelahnya, sedikit sekali perbedaan tafsir di kalangan Tābi‘īn.

Menarik untuk diperhatikan pernyataan Ibn Taimiyyah yang mengatakan semakin mulianya suatu zaman, itu diiringi semakin banyak kesepakatan dan keselarasan bukan semakin maraknya perbedaan (Taimiyyah, 1980).

Sejurus kemudian Ibn Taimiyyah mengutip riwayat mengenai sebagian Tābi‘īn yang bertalaki keseluruhan Al-Qur’an kepada Sahabat Nabi. Di antaranya Mujāhid bin Jabr (w. 104 H) yang mengatakan, “Aku suguhkan mushaf kepada Ibn ‘Abbas, pada setiap ayat aku berhenti dan bertanya kepadanya.”

Tidak heran bila Sufyān al-Tsaurī (161 H) berkata, “Jika datang kepadamu tafsir dari Mujāhid, maka itu telah cukup bagimu.” Tafsir Mujāhid, lanjut Ibn Taimiyyah menjadi pegangan para ahli ilmu seperti al-Syāfi‘ī (w. 204 H), al-Bukhārī (w. 256 H), dan Aḥmad bin Ḥanbal (w. 241 H) (Taimiyyah, 1980).

Kerja Ibn Taimiyyah yang mengakarkan pemaknaan Al-Qur’an hanya kepada Nabi, Sahabat dan Tābi‘īn, setidaknya menurut Walid Saleh menyalahi cara pandang umum penafsiran pada masa itu. Pembatasan akar pemaknaan Ibn Taimiyyah pada tiga generasi ini oleh Walid Saleh diistilahkan sebagai radical hermeneutik (hermeneutika radikal) yang menolak sama sekali segala metode penafsiran kecuali yang telah dirumuskan sendiri oleh Ibn Taimiyyah yaitu melalui riwayat yang terhubung kepada generasi salaf: Nabi, Sahabat, Tābi‘īn (Saleh, 2010).

Berdasarkan argumen yang telah Ibn Taimiyyah bangun, ia kemudian menyusun secara hierarkis urutan penafsiran paling sahih. Menurutnya, penafsiran paling sahih adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain atau sekarang populer dikenal tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān.

Kemudian bila penjelasan ayat tidak ditemukan, kita dapat merujuknya ke Sunnah, bila masih tidak ditemukan, beralih kepada tafsir para Sahabat, dan jika masih tidak didapat, hal terakhir yang bisa dilakukan adalah mencarinya dalam tafsir Tābi‘īn (Taimiyyah, 1980).

Tidak berhenti di sana, pada bagian akhir risalahnya, Ibn Taimiyyah tidak memberikan sedikit pun ruang bagi penafsiran dengan rasio (bi al-ra’y). Beberapa hadis populer mengenai ancaman bagi penafsir Al-Qur’an bi al-ra’y dimunculkan pada bagian ini. Dirinya juga tidak ketinggalan menilai beberapa karya tafsir sebelumnya dan mengunggulkan tafsir riwayat seperti al-Ṭabarī (w. 310 H), menilai rendah tafsir al-Tsa’labī (w. 427 H) dan mencela tafsir al-Zamakhsyarī (w. 538 H).

Kritik Uṣūl al-Tafsīr Ibn Taimiyyah

Tidak perlu menunggu waktu lama sampai hadirnya kritik terhadap Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr milik Ibn Taimiyyah. Hal ini bagi Walid Saleh tidak mengejutkan karena pendapat Ibn Taimiyyah kala itu hanya sebatas pendapat marjinal, pinggiran dan bukan pandangan tafsir saat itu yang lebih memilih jalan ensiklopedis, membuka berbagai kemungkinan pemaknaan terhadap Al-Qur’an (Saleh, 2010).

Tebukti, rekan sezamannya, Abū Ḥayyān al-Andalusī (w. 745 H) mempertanyakan pembatasan tafsir hanya pada riwayat dari tiga generasi yang dilakukan oleh Ibn Taimiyyah dalam pendahuluan karya tafsirnya al-Baḥr al-Muhīṭ.

Mengacu pada pendahuluan al-Baḥr al-Muhīṭ, cara pandang Abū Ḥayyān dan Ibn Taimiyyah tampak bertolak belakang. Menurut Abū Ḥayyān, bagaimana mungkin penafsiran hanya didasarkan pada riwayat dari Tābi‘īn sedangkan kenyataannya, terdapat banyak pertentangan, pembatalan satu sama lain dalam penafsiran mereka.

Abū Ḥayyān juga mengkritik pendapat Ibn Taimiyyah yang menggambarkan seolah Sahabat menanyakan setiap detail makna Al-Qur’an kepada Nabi Muḥammad Saw., padahal seperti diketahui, generasi Sahabat adalah generasi paling fasih dalam berbahasa Arab sehingga ketika Al-Qur’an turun tentu mereka secara umum langsung memahaminya tanpa penjelasan Nabi (al-Andalusī, 2000).

Pendapat ini dikuatkan Abū Ḥayyān dengan mengutip hadis sahih dari Sahabat ‘Alī. Riwayat tersebut dikutip secara singkat oleh Abū Ḥayyān, agar lebih jelas, saya kutipkan hadis yang semakna berdasarkan redaksi dari al-Bukhārī:
…عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَلْ عِنْدَكُمْ كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللَّهِ أَوْ فَهْمٌ أُعْطِيَهُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ…
Dari Abu Juhaifah berkata, “Aku bertanya kepada ‘Ali bin Abu Thalib, “Apakah kalian memiliki kitab?” ia menjawab, “Tidak, kecuali kitābullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim…” (HR. al-Bukhārī)

Perhatikan kata yang ditebalkan di atas, ini bagi Abū Ḥayyān sudah cukup untuk memperlihatkan kekeliruan Ibn Taimiyyah. Kutipan hadis tersebut mengisyaratkan tafsir Sahabat tidak sepenuhnya berasal dari Nabi, tetapi dapat berasal dari pemahaman mendalam mereka.

Setelah selesai dengan kritik singkatnya, Abū Ḥayyān menawarkan langkah penafsiran yang menurutnya penting, yaitu pemahaman mendalam pada bahasa Arab (al-Andalusī, 2000). Sudah pasti langkah ini tidak diamini oleh hermeneutika radikal Ibn Taimiyyah.

Lebih jauh, menurut Walid Saleh Ibn Taimiyyah dalam risalahnya dinilai gagal menunjukkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an secara konkret. Juga, Ibn Taimiyyah dianggap tak bisa membuktikan bahwa Nabi Muhammad menafsirkan keseluruhan Al-Qur’an secara detail kepada para Sahabat (Saleh, 2010).

Pengaruh Uṣūl al-Tafsīr, Dulu, Hingga Kini
Walau sebagai pendapat pinggiran, terang Saleh, pengaruh Ibn Taimiyyah tidak bisa diremehkan begitu saja. Risalah singkat itu berkontribusi dalam melahirkan karya tafsir yang relatif berbeda namun dapat bersaing dengan tafsir arustama. Sebut saja tafsir muridnya sendiri, Ibn Katsīr (w. 774 H).

Dalam pandangan Saleh, meski tafsir Ibn Katsīr masih memuat komentar tata bahasa dan serangkaian pendapat pribadi yang tidak berbasis riwayat, setidaknya tafsir tersebut berupaya mengaplikasikan pemikiran gurunya tersebut (Saleh, 2010).

Hal ini terlihat dari penukilan muatan dua bab terakhir Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr secara apa adanya dalam pendahuluan tafsir Ibn Katsīr (Katsīr, 1998). Ini mengisyaratkan, Ibn Katsīr mempertimbangkan secara serius pemikiran gurunya itu soal penafsiran Al-Qur’an yang ideal.

Belum habis dua abad, masih menurut Saleh, hermeneutik radikal ala Ibn Taimiyyah mewujud dalam karya tafsir al-Suyūṭī (w. 911 H), al-Durr al-Mantsūr. Tafsir tersebut tampak polos, tanpa kajian tata bahasa, bahkan tanpa komentar sama sekali. Tafsir tersebut betul-betul kumpulan riwayat dari generasi salaf (Saleh, 2010).

Namun, bukan berarti dalam tafsir tersebut tidak ada ijtihad sama sekali. Seperti diungkap oleh Burge, paling tidak pendapat pribadi al-Suyūṭī tersamarkan dalam riwayat yang dimunculkannya (Burge, 2015).

Tetapi, bagi saya, perlu ada catatan khusus terhadap pendapat Walid Saleh mengenai pengaruh Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr terhadap al-Durr al-Mantsūr. Sebagian dari karya tafsir al-Suyūṭī mungkin sesuai dengan tafsir ideal dalam bayangan Ibn Taimiyyah, yakni kerja mufasir hanyalah memverifikasi apakah makna tafsir itu datang dari generasi Salaf atau tidak, tanpa berkomentar atas pemaknaan Al-Qur’an.

Masalahnya, al-Suyūṭī sama sekali tidak memilah mana riwayat yang sahih dari yang ḍa‘īf (lemah) atau bahkan palsu. Kiranya, pada bagian ini tafsir al-Suyūṭī tidak mengindahkan konsep ideal tafsir Ibn Taimiyyah yang juga menuntut kualitas riwayat.

Perlu ditekankan pula, konsep pemurnian Ibn Taimiyyah dampaknya masih terasa hingga kini. Bahkan pengaruhnya melampaui diskusi tafsir. Sebagian kelompok muslim hari ini masih ada yang memandang ajaran Islam yang murni hanya pemahaman Islam generasi salaf, tidak lebih, tidak kurang.

Daftar Bacaan
Al-Andalusī, A. Ḥ. (2000). al-Baḥr al-Muḥiṭ. Beirut: Dār al-Fikr.
Al-Bukhārī. (2001). Ṣaḥih al-Bukhārī. Mesir: al-Ṭab‘ah al-Sulṭāniyyah.
Burge, S.R. (2015).“Scattered Pearls: Exploring al-Suyūṭī’s Hermeneutics and Use of Sources in al-Durr al-Manthūr fī’ al-Tafsīr bi’ al-Ma’thūr”, Journal of the Royal Asiatic Society 24, pp. 251-296.
Ibn Katsīr. (1998). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Taimiyyah. (1980). Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr. Beirut: Dār Maktabah al-Ḥāyah.
Saleh, Walid. (2010). “Ibn Taymiyya and the Rise of Radical Hermeneutics: An Analysis of an Introduction to the Foundations of Qurʾānic Exegesis”, In Yossef Rapoport & Shahab Ahmed (eds.), Ibn Taymiyya and His Times. Oup Pakistan. pp. 123-162.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *