Pembaharuan Islam di Mesir: Membuka Ulang Catatan Historis Harun Nasution

Apa itu pembaharuan dalam Islam? Harun Nasution (1919-1998) menyamakan pembaharuan dengan modernisasi. Maka, pembaharuan bagi Nasution adalah
“Pikiran, aliran, gerakan atau usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern.”

Singkatnya, pembaharuan dalam Islam artinya “menyesuaikan ajaran-ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan falsafah modern.” Namun perlu diingat bahwa ajaran Islam ada yang mutlak maka tidak boleh diubah, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Adapun yang bisa diubah adalah ajaran yang tidak mutlak, yaitu penafsiran-penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Hadis.

Bacaan Lainnya

Nasution menulis satu bab tentang pembaharuan dalam Islam, yaitu bab terakhir dalam bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Nasution, 1985: 91-112). Di dalamnya, Nasution membahas Pembaharuan dalam Islam di berbagai daerah atau negara. Di antara yang ia bahas adalah pembaharuan di Usmani – Turki, Arabia, Mesir, India dan Indonesia.

Pembaharuan-pembaharuan ini juga berimplikasi dalam hal politik. Pembaharuan di kerajaan Usmani melahirkan Republik Turki tahun 1923. Pembaharuan di Arabia berkontribusi besar pada kerajaan Arab Saudi sejak abad ke 18. Pembaharuan di Mesir mendorong Negara Mesir yang merdeka tahun 1922. Pembaharuan di India melahirkan Negara Islam Pakistan tahun 1947. Pembaharuan di Indonesia juga berperan besar dalam rangka kemerdekaan Negara Indonesia tahun 1945. Tentunya, perjuangan dan pembaharuan terjadi sebelum tahun-tahun tersebut.

Pembaharuan dalam Islam di Indonesia lebih banyak dipengaruhi pembaharuan di Mesir. Di antara penyebabnya adalah karena pemikiran di Mesir ditulis dalam Bahasa Arab, dan Universitas al-Azhar yang ada di Mesir adalah pusat studi umat Islam pada masa-masa ini termasuk umat Islam dari Indonesia.

Awal Mula Pembaharuan di Mesir

Menurut catatan Nasution, pembaharuan di Mesir ditimbulkan pertama kali oleh ekspedisi Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte (1769-1821). Bonaparte mendarat di Mesir pada tanggal 2 Juli 1798. Ia tidak hanya membawa tentara, melainkan juga 1000 masyarakat sipil, 160 ahli ilmu pengetahuan, 2 set percetakan Latin, Arab dan Yunani, serta alat-alat ilmu pengetahuan. Bonarparte juga mendirikan Institut d’Egypte, satu lembaga ilmiah yang membahas ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan politik, serta sastra dan kesenian. Karena menyadari ketertinggalannya dari peradaban Eropa yang dibawa oleh Bonaparte, masyarakat Muslim di Mesir mulai mengusahakan pembaharuan.

Pada masa selanjutnya, di bawah pimpinan Muhammad Ali Pasha (1769-1849), perwira Turki di Mesir, didirikan sekolah-sekolah untuk mengejar ketertinggalan di Mesir. Di antara sekolah yang didirikan adalah sekolah militer pada tahun 1815, sekolah teknik pada tahun 1816, sekolah kedokteran pada tahun 1827, sekolah pertambangan pada tahun 1834, sekolah pertanian pada tahun 1836 dan sekolah penerjemah pada tahun 1836. Di antara tokoh pada masa ini adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873). Al-Tahtawi adalah pelajar dan imam yang dikirim ke Paris, Prancis pada tahun 1826. Sepulangnya ke Mesir, al-Tahtawi menjadi kepala sekolah penerjemah.

Artinya, pembaharuan di Mesir sudah dimulai dan terjadi pada awal abad ke 19. Pada masa pembaharuan ini, lahirlah Muhammad Abduh (1849-1905), tokoh pembaharu yang sangat berpengaruh di Mesir dan banyak negara Islam lainnya. Abduh berguru kepada Jamaluddin al-Afgani (1838-1897) seorang pembaharu juga yang bergerak di berbagai daerah atau negara Islam pada masanya. Di antara daerah atau negara yang ia diami adalah Afganistan, Indonesia, Iran, Mesir dan Kerajaan Usmani.

Bersama Abduh, al-Afgani mengeluarkan majalah al-‘Urwah al-Wuṡqā (Maret – Oktober 1884). Pikiran-pikiran dalam al-‘Urwah al-Wuṡqā ini banyak berpengaruh pada pembaharuan dalam Islam di berbagai daerah atau negara yang banyak berpenduduk Muslim.

Selanjutnya, Abduh mempunyai murid yang sangat dekat dan terpengaruh olehnya, yaitu Muhammad Rasyid Rida (1865-1935). Berdasarkan pemikiran-pemikiran Abduh, Rida mengeluarkan majalah al-Manār (1898-1934) dan Tafsir Al-Qur’an al-Manār.

Tiga tokoh ini (al-Afgani, Abduh dan Rida) adalah tokoh kunci pembaharuan dalam Islam di Mesir. Pemikiran-pemikiran tentang pembaharuan tiga tokoh tersebut bisa diakses dalam tiga karya tulis yang telah disebutkan, yaitu majalah al-‘Urwah al-Wuṡqā, majalah al-Manār dan tafsir Al-Qur’an al-Manār.

Pemikiran Pembaharuan di Mesir dari Tiga Tokoh Kunci

Menurut al-Afgani, umat Muslim pada masa itu sedang mundur dan tertinggal. Kemunduran dan ketertinggalan tersebut disebabkan oleh karena umat Muslim meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya; umat Muslim telah dipengaruhi oleh sifat statis; umat Muslim terlalu kuat berpegang pada taklid, hanya ikut-ikutan saja; umat Muslim terlalu bersikap fatalistis sehingga tidak terlalu terdorong untuk bergerak maju secara mandiri; umat Islam telah meninggalkan akhlak yang tinggi; dan umat Islam telah melupakan ilmu pengetahuan.

Maka, bagi al-Afgani, sistem pemerintahan absolut di daerah-daerah Muslim pada masa itu perlu diubah dengan sistem syura atau musyawarah. Kesatuan umat Muslim perlu diwujudkan kembali, dan bagi al-Afgani, Barat yang adalah penjajah adalah musuh umat Muslim, maka harus dilawan.
Selanjutnya, Abduh turut menyumbangkan pemikiran-pemikirannya sebagai solusi atas kemunduran dan ketertinggalan umat Muslim pada masa itu. Menurut Abduh, umat Muslim harus kembali kepada ajaran Islam sejati, yaitu ajaran yang dipraktikkan di zaman klasik. Ijtihad harus dihidupkan kembali. Bagi Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Maka, wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal.

Abduh menentang sifat jumud atau statis, yaitu berhenti berpikir dan berusaha. Maka, umat Islam harus dinamis. Seakan menafsirkan pikiran al-Afgani bahwa Barat adalah musuh, permusuhan itu karena perilaku penjajahan mereka. Adapun ilmu pengetahuan modern yang telah mereka hasilkan, maka Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern tersebut. Maka, perlu dimasukkan mata pelajaran-mata pelajaran ilmu pengetahuan modern dalam madrasah-madrasah umat Muslim.

Melanjutkan pemikiran Abduh, Rida mengumandangkan agar umat Muslim menganut Islam yang murni, yaitu apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sama seperti Abduh dan al-Afgani, bagi Rida, ajaran Islam tidak membawa kepada kepasifan, tetapi sebaliknya kepada dinamisme dalam ijtihad. Sama dengan Abduh, bagi Rida, peradaban Barat tidak bertentangan dengan Islam. Karena, peradaban Barat sekarang berasal dari peradaban Islam zaman klasik. Maka, umat Muslim harus mau menerima peradaban itu. Tidak hanya itu, menurut Rida, pembaharuan juga harus memasuki lapangan fikih.

DAFTAR PUSTAKA
al-Afgānī, Jamāl al-Dīn, dan Muḥammad ’Abduh. Al-‘Urwah al-Wuṡqā lā Infiṣāma lahā. Bairūt, 1328.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Vol. II. II vol. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1985.
Riḍā, Muḥammad Rasyīd. Al-Manār. Miṣr, 1315.
———. Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm, terkenal dengan nama Tafsīr al-Manār. Al-Qāhirah, Miṣr: Dār al-Manār, 1366.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *